Minggu, 09 Maret 2014

Li Na, Tenis dan Bulu Tangkis

Li Na, Tenis dan Bulu Tangkis

Apa yang dilakukan dan telah terjadi sekarang akan berdampak besar pada masa yang akan datang. Hal itu mungkin yang bisa dipetik dari kisah hidup Li Na, satu-satunya petenis Asia yang mampu menjadi juara nomor tunggal grand slam, bahkan hingga dua kali sejauh ini sepanjang karirnya.
Gambar
copyright : AP
Li Na lahir di Wuhan, 26 Februari 1982 dan pada bulan berikutnya Zhang Ailing berhasil memenangkan turnamen bulu tangkis All England usai mengalahkan Li Lingwei, 11-4, 11-6 dalam partai All Chinese Final. Itu adalah kali pertama tunggal putri asal Cina mampu memenangi turnamen All England setelah pada tahun sebelumnya Cina resmi masuk menjadi anggota IBF.
Sebuah peristiwa olahraga besar tercatat dalam sejarah Cina. Dan menariknya, torehan Zhang Ailing itu seolah hanya merupakan awalan karena pada periode 1982-1989 Cina tercatat meraih enam gelar juara tunggal putri dan mempersembahkan empat All Chinese Final. Hanya pada tahun 1985 dan 1986 lah Cina gagal meraih gelar juara meski tetap menempatkan wakilnya di babak final.
Seperti yang sudah disebut di atas, apa yang dilakukan dan terjadi sekarang akan berdampak besar pada masa yang akan datang. Bisa dibayangkan situasi di Cina ketika itu (pada tahun 1980-an), kepopuleran bulu tangkis pastinya menanjak seiring tenarnya nama-nama seperti Zhang Ailing, Li Lingwei, dan Han Aiping. Itu baru dari satu turnamen All England saja. Belum lagi dari kisah keberhasilan Tim Cina meraih Piala Uber pada tahun 1984, 1986, dan 1988 yang pasti semakin melambungkan popularitas atlet dan olahraga bulu tangkis. Makin lengkap pula cerita itu dengan fakta bahwa tunggal putri Cina selalu menjadi juara dunia pada periode 1983-1991.
Karena itu akhirnya menjadi wajar ketika orang tua Li Na sangat berharap anaknya bisa menjadi pebulu tangkis top dunia. Maklum, Ayah Li Na sendiri adalah seorang pebulu tangkis dan mereka pun sudah melihat bahwa bulu tangkis bisa menjadi profesi yang memiliki titik cerah di Cina. Anak mereka bisa menjadi sosok yang terkenal dan mungkin berada di tempat tertinggi sama halnya dengan Li Lingwei dan kawan-kawan.
Dan keinginan itulah yang kemudian diwujudkan dengan dorongan kepada Li Na untuk berlatih bulu tangkis sejak usia dini. Li Na kecil sudah dikenalkan dasar-dasar bermain bulu tangkis. Tujuannya jelas, agar kelak ia bisa menjadi atlet bulu tangkis yang hebat.
Namun memang pada dasarnya tak semuanya keinginan di dunia ini bisa terwujud. Menginjak durasi dua tahun sejak mulai mengayun raket bulu tangkis, Li Na kecil divonis tak berada di arah yang benar untuk meniti karir sebagai pebulu tangkis. Gaya dan kecenderungannya justru lebih mengarah ke tenis.
Apa yang dilakukan dan terjadi sekarang akan berdampak besar pada masa yang akan datang. Keputusan telah diambil. Li Na akhirnya banting stir dari bulu tangkis menuju tenis. Sebuah keputusan yang berani karena meskipun di dunia global tenis jauh lebih populer dibandingkan dengan bulu tangkis, namun tidak demikian halnya di Cina. Tenis masih boleh dibilang olahraga awam yang tak umum dimainkan.
Dan apapun yang dipilih Li Na pada akhirnya tetap saja menghadirkan tantangan tersendiri. Memilih bulu tangkis, maka Li Na akan bersaing ketat sejak usia dini untuk menjadi pebulu tangkis terbaik di Cina. Namun andaikata sudah berhasil menyandang predikat pebulu tangkis terbaik Cina, maka rasanya predikat pebulu tangkis terbaik dunia hanya tinggal berjarak beberapa jengkal saja. Ini memang karena status Cina sebagai produsen pebulu tangkis tunggal putri hebat yang tak pernah luntur oleh waktu.
Beda dengan tenis. Mungkin perjalanan Li Na akan mulus di tingkat nasional. Namun setelah itu tantangan luas terbentang. Banyak pesaing-pesaing tangguh dari berbagai Negara yang siap mengadangnya menuju puncak dunia.
Hal itu terbukti benar dalam perjalanan karir Li Na. Di saat Li Na masih merambah turnamen-turnamen ITF, Gong Ruina yang lahir pada 1981 telah berhasil menjadi juara dunia bulu tangkis. Saat Tim Putri Cina merayakan kemenangan di Piala Uber 2002, Li Na justru tengah bersitegang dengan Asosiasi Tenis Cina dan akhirnya sempat vakum di dunia tenis.
Gambar
Gong Ruina
Meski akhirnya kembali bermain tenis, Li Na belum melakukan lompatan berarti. Gelar WTA pertamanya datang pada tahun 2004 saat ia memenangi turnamen kelas bawah WTA Guangzhou. Kemenangan kedua baru datang bagi Li Na tiga tahun kemudian di WTA Brisbane 2008. Padahal dalam durasi 2004-2008 itu, Xie Xingfang yang juga hanya setahun lebih tua darinya mampu dua kali menjadi juara dunia bulu tangkis dan tiga kali juara All England plus sederet gelar bergengsi lainnya.
Namun Li Na tidak pernah menyerah. Ia terus mengayun raket dan mengikuti berbagai kompetisi. Meski perkembangannya tak kilat, ia akhirnya mampu masuk top 10 pada tahun 2010 saat usianya sudah 28 tahun. Namun nyatanya prestasi ini belumlah merupakan puncak prestasi dari Li Na.
Li Na terus merangsek dan mulai jadi ancaman bagi nama-nama besar. Ia sukses masuk final Australia Terbuka 2011 namun kalah dari Kim Clijsters. Dunia mulai memperhatikan Li Na. Li Na pun seolah tak ingin membuat dunia berpaling lagi darinya. Ia memenangi grand slam Prancis Terbuka 2011 dan menjadi petenis Asia pertama yang mampu menjuarai grand slam. Li Na menjadi juara, saat Xie Xingfang sudah menikahi Lin Dan dan tak lagi mengayun raket dan saat Gong Ruina sudah lama berhenti bermain bulu tangkis.
Ternyata titel Prancis Terbuka 2011 bukan merupakan titel grand slam satu-satunya yang dimenangi oleh Li Na. Ia kembali menjadi juara, kali ini di Australia Terbuka 2014, setelah pada dua final sebelumnya yaitu di 2011 dan 2013 dirinya selalu menjadi pihak yang kalah. Dua gelar grand slam cukup menjadi pernyataan yang tegas bahwa kemenangan Li Na di Prancis bukanlah kebetulan semata. Ia memang layak bersaing dan bersanding dengan petenis hebat lainnya di papan atas. Hebatnya, itu dilakukan Li Na di usia hampir 32 tahun, di saat pebulu tangkis Cina sebayanya sudah mulai sibuk dengan kehidupan barunya.
Li Na membuktikan bahwa pilihan hidupnya tak salah. Jika berbicara bulu tangkis dan Cina, maka akan terpikir banyak nama yang ada di dalam pikiran tiap orang Cina yang ditanya. Pun ketika lingkupnya diperkecil, bulu tangkis tunggal putri dan Cina, maka tetap masih banyak nama yang mengapung di pikiran mulai dari generasi Li Lingwei, Ye Zhaoying, Gong Zhichao, Xie Xingfang, hingga generasi masa kini macam Wang Yihan dan Li Xuerui.
Tetapi, jika dua kata yang diajukan adalah tenis dan Cina, tak perlu spesifik menyebut tenis putri, maka hampir pasti rakyat Cina akan menyebut nama Li Na. Jawaban yang mungkin bukan hanya mengapung dari mulut para rakyat Cina saja, karena jawaban ini sudah mendapat legitimasi dari publik dunia.
Gambar
copyright : skysports
-Putra Permata Tegar Idaman-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar