Minggu, 09 Maret 2014

All England dan Indonesia

Siang sudah berganti malam tatkala para pemuda mulai keluar dari rumah mereka. Tak lupa senter menjadi barang andalan yang mereka bawa di tangan. Setelah semua kawanan lengkap, mereka pun bergegas melangkah ke tempat tujuan. Setibanya di sana, mereka merasa lega karena belum banyak orang yang datang sehingga mereka pun bisa mendapat tempat yang lebih dalam.
Waktu yang mereka tunggu akhirnya tiba. Acara pun dimulai. Sorak-sorai tak tertahankan seiring memanasnya pertunjukkan yang mereka tonton. Beruntung bagi mereka yang datang lebih dulu dan berada lebih dekat dengan objek tontonan utama yang ada di ruangan itu. Jika datang telat, maka harus menerima nasib berada di tempat yang lebih jauh dari objek tontonan utama di ruangan tersebut.
Deskripsi di atas adalah sebuah gambaran bagaimana pemuda hingga orang dewasa menghabiskan waktunya di era 70-an. Ketika itu televisi masihlah merupakan barang mewah dan bulu tangkis tengah meroket popularitasnya di Indonesia. Jadilah akhirnya setiap Final All England digelar, maka Kelurahan yang bisa jadi menjadi tempat satu-satunya yang memiliki televisi di desa-desa diserbu warga untuk melakukan ritual nonton bareng All England. Tokoh utamanya siapa lagi kalo bukan Sang Maestro Rudy Hartono.
Gambar
All England memang begitu lekat dengan bulu tangkis dan juga dengan mulai mengangkasanya kejayaan Indonesia di olahraga ini. Bersama dengan kejayaan di Piala Thomas, nama Indonesia mulai disegani oleh negara-negara lainnya di persaingan bulu tangkis dunia berkat torehan prestasi para pemain Indonesia di All England. Bukan hanya bagi Indonesia, turnamen ini sendiri juga memegang prestise tertinggi bagi tiap negara yang berlomba-lomba ingin menjadi yang terbaik di olahraga ini.
Sebelum Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis resmi bergulir pada 1977, All England sering disebut-sebut sebagai Kejuaraan Dunia Tak Resmi. Yang memenangi All England boleh dibilang sudah layak menyandang status sebagai pemain terbaik dunia ketika itu. Pun begitu halnya ketika Kejuaraan Dunia sudah resmi bergulir, All England tetap menjadi salah satu cita-cita dan titel yang ingin diraih oleh para pebulu tangkis di dunia ini semasa dirinya aktif bermain.
Status All England sebagai turnamen bergengsi pun tak jua lekang ketika Badminton World Federation mengelompokkan level turnamen ke golongan super series dan kemudian menjadi super series premier pada 2011 bersama empat turnamen lainnya. Meski All England menghadirkan hadiah lebih kecil dibandingkan beberapa turnamen super series premier lainnya, All England tetap memiliki magnet dan daya tarik tersendiri bagi tiap pebulu tangkis di negeri ini. Sisi historis panjang yang melekat di turnamen ini membuat pesona mereka sulit untuk disaingi oleh turnamen super series premier lainnya. Rasanya hanya Kejuaraan Dunia dan Olimpiade yang mampu menyaingi reputasi All England sebagai sebuah turnamen.
Berbicara masa lalu dan berbicara kenyataan saat ini, Indonesia sendiri sepertinya sedang tidak akrab dengan All England. Sebelum Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir keluar sebagai penyelamat dengan meraih gelar dua tahun terakhir (2012 dan 2013), Indonesia sempat hampa gelar sepanjang delapan tahun penyelenggaraan All England. Sebuah hal yang tentunya ironis mengingat All England adalah salah satu pijakan Indonesia memegang status sebagai negara kuat di dunia bulu tangkis pada masa silam.
Gambar
Gambar
Untuk tahun ini PBSI berharap bisa meraih dua gelar di All England. Harapan ini tentunya merupakan sebuah target yang terbilang berani di tengah minimnya andalan yang mumpuni untuk meraih gelar juara di berbagai turnamen internasional.
Kapan terakhir kali Indonesia meraih lebih satu gelar di All England? Ternyata tepat 20 tahun lalu. Bukan hanya dua gelar, melainkan tiga gelar juara yang dipersembahkan oleh Hariyanto Arbi, Susi Susanti, dan Gunawan/Bambang Suprianto.
Setelah itu momen itu,  hanya ganda putra yang masih rutin menyumbangkan gelar juaranya. Torehan ganda putra itu pun akhirnya benar-benar terhenti setelah kemenangan Candra Wijaya/Sigit Budiarto pada tahun 2003. Dengan demikian maka sudah 10 tahun penyelenggaraan para ganda putra Indonesia tak lagi mampu menjadi juara di All England. Nasib tunggal putra dan tunggal putri lebih miris karena nyatanya Hariyanto Arbi dan Susi Susanti menjadi orang terakhir yang terakhir kali berjaya di nomor mereka masing-masing.
Lalu bagaimana peluang untuk memenangkan lebih dari satu gelar tahun ini? Seperti sudah bisa ditebak banyak orang, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir kembali diandalkan sebagai pasukan terdepan ketika berbicara peluang meraih gelar juara. Mundur ke belakang sedikit, ada Tommy Sugiarto yang tahun ini juga diberi sedikit beban dan harapan lantaran statusnya sebagai unggulan ketiga di nomor tunggal putra.
Hal ini terasa wajar lantaran dalam lima tahun terakhir penyelenggaraan All England yang artinya total ada 25 gelar juara, 15 gelar diantaranya alias 60 persen direbut oleh pemain dengan posisi unggulan empat besar. Dengan demikian, maka mayoritas memang para unggulan empat besar yang berpeluang besar untuk meraih gelar juara.
Gambar
Gambar
Di luar Ahsan/Hendra, Tontowi/Liliyana, dan Tommy, Indonesia masih punya tiga pemain lagi yang menempati daftar unggulan yaitu Angga Pratama/Rian Agung (unggulan keenam ganda putra), Pia Zebadiah/Rizki Amelia (unggulan ketujuh ganda putri), dan Markis Kido/Pia Zebadiah (unggulan keenam ganda campuran).
Peluang para pemain ini untuk menjadi juara pun tidak sepenuhnya tertutup. Dalam lima tahun terakhir, ada empat pemain unggulan namun di luar unggulan empat besar yang mampu menjadi juara yaitu Tine Baun (unggulan ketujuh) di 2013, Li Xuerui (unggulan ketujuh) di 2012, Cai Yun/Fu Haifeng (unggulan ketujuh) di 2009, dan Zhang Yawen/Zhao Tingting (unggulan ketujuh) di 2009.
Lalu bagaimana peluang pemain yang tidak masuk dalam daftar unggulan untuk bisa menjadi juara? Fakta di lima tahun terakhir, justru ada enam pemain non unggulan yang mampu menjadi juara All England yaitu Liu Xiaolong/Qiu Zihan (2013), Xu Chen/Ma Jin (2011), Tine Baun (2010), Lars Paaske/Jonas Rasmussen (2010), Zhang Nan/Zhao Yunlei (2010), dan Wang Yihan (2009).
Dengan gambaran kekuatan seperti itu, bagaimana kira-kira gambaran pujian yang layak disematkan bagi pebulu tangkis Indonesia nantinya? 1 gelar = hebat. 2 gelar = luar biasa. 3 gelar atau lebih = fantastis!
Selamat berjuang!!
-Putra Permata Tegar Idaman-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar