Rabu, 15 Januari 2014

Batas Simon Santoso

Simon Santoso berada di ujung pintu pelatnas Cipayung. Target masuk babak semifinal di Korea Super Series dan Malaysia Super Series Premier yang dibebankan kepada Simon hanya mampu dijawab Simon dengan hasil babak pertama di Korea dan tak lolos babak kualifikasi di Malaysia.
Ultimatum Rexy sudah dikeluarkan dan kini semua harus siap dengan konsekuensinya. Simon sendiri sudah tampak pasrah dengan kepastian statusnya di pelatnas Cipayung. Simon telah menegaskan bahwa dirinya siap jika memang harus keluar dari pelatnas Cipayung. Namun sudahkah sektor tunggal putra pelatnas siap kehilangan Simon?
Image
Berbalik ke belakang, Simon sudah disebut-sebut sebagai pemain masa depan Indonesia sejak ia masih berusia belasan. Ketika itu kemunculannya (bersama Sony Dwi Kuncoro) diharapkan mampu melapis dan menjadi penerima tongkat estafet dari Taufik Hidayat yang saat itu tengah berada di puncak karirnya.
Simon terus berjuang dari tahun ke tahun. Statusnya sebagai tunggal putra nomor tiga Indonesia mulai bergeser ke posisi kedua dan akhirnya sempat memegang tampuk sebagai tunggal putra dengan peringkat BWF tertinggi di Indonesia. Sejumlah prestasi ia ukir namun gunung prestasi yang Simon buat tak pernah bisa melampaui atau bahkan sekedar mendekati gunung prestasi yang telah dibuat oleh Taufik. Simon tetap dianggap gagal dalam upaya menembus persaingan papan atas dunia yang dikendalikan oleh Lin Dan dan Lee Chong Wei selama ini.
Adalah benar bahwa Simon sudah diberikan cukup waktu oleh pelatnas Cipayung untuk unjuk gigi dan Simon telah gagal mewujudkan harapan banyak orang Indonesia untuk melihat Indonesia kembali memiliki tunggal putra nomor satu dunia. Namun masalah ini bukan hanya masalah Simon sendiri melainkan masalah sektor tunggal putra pelatnas secara keseluruhan.
Sejak Indonesia menancapkan kukunya di kancah perbulu tangkisan dunia, sektor tunggal putra Indonesia terus menghadirkan nama-nama besar. Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Rudi Hartono, Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Hastomo Arbi, Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata, Hariyanto Arbi, Joko Suprianto, Hendrawan, hingga Taufik. Nama Taufik itulah kemudian dianggap sebagai nama terakhir yang mampu mempertahankan supremasi tunggal putra Indonesia dalam persaingan bulu tangkis dunia.
Simon memang gagal mengemban tanggung jawab sebagai pewaris nomor tunggal putra Indonesia namun kegagalan itu sejatinya bukan milik Simon semata. Sejak Simon berada di pelatnas, telah banyak pula bibit-bibit tunggal putra yang masuk dan coba untuk mengejar mimpi menjadi pebulu tangkis tunggal putra nomor satu dunia. Namun kebanyakan dari mereka juga gagal dalam perjalanannya dan harus dicoret keberadaannya dari pelatnas Cipayung. Wajah skuat tunggal putra pelatnas Cipayung sendiri terbilang  sering mengalami perubahan anggota dari tahun ke tahunnya.
Sebagai gambaran, Tommy Sugiarto dan Dionysius Hayom Rumbaka yang disebut sebagai dua tunggal putra terbaik Indonesia saat ini pun rasanya belum melebihi level permainan terbaik Simon Santoso beberapa tahun silam. Jika boleh dikatakan, mungkin Tommy masih ada di level yang sama dengan performa terbaik Simon dahulu. Tommy dan juga Hayom belum benar-benar melakukan sebuah gebrakan yang besar dalam perjalanan karir mereka sehingga mereka layak disebut sudah mengungguli level permainan Simon.
Image
Di lapis bawah setelah Tommy dan Hayom, berjajar para pemain muda pelatnas yang masih terus bekerja keras merajut mimpi mereka menjadi tunggal putra nomor satu dunia. Jadi boleh dibilang sektor tunggal putra memang masih akan minim andalan untuk 1-2 tahun ke depan.
Jika memang waktu Simon sudah habis di pelatnas Cipayung, maka tantangan bagi Tommy, Hayom, dan pasukan tunggal putra lainnya adalah melewati gunung prestasi yang telah diciptakan Simon sejauh ini. Jika gunung prestasi yang telah dibangun Simon saja tak mampu dilewati oleh mereka, maka jangan berharap terlalu banyak mereka bisa menggapai dan menyamai level permainan dan gunung prestasi yang telah dibuat Taufik Hidayat dan legenda-legenda tunggal putra lainnya.
Lalu masihkah ada ruang bagi Simon untuk bertahan di pelatnas Cipayung? Jika berbicara jangka pendek, mungkin masih ada kesempatan meskipun kecil. Di tahun ini, PBSI menargetkan juara pada gelaran Piala Thomas 2014 mendatang. Sebelumnya pada tahun lalu, Rexy Mainaky sudah menyebut bahwa komposisi pemain yang dia inginkan untuk tunggal putra di Piala Thomas mendatang adalah Tommy dan Hayom yang akan jadi tulang punggung utama, Sony atau Simon di pilihan selanjutnya, dan satu tempat tersisa akan diisi oleh pemain muda.
Jika kondisi Sony selalu 100 persen fit, mungkin memang tak ada masalah jika akhirnya Simon keluar dari pelatnas Cipayung. Namun faktanya Sony sendiri juga rentan cedera. Jika nantinya Sony kembali cedera saat persiapan Piala Thomas, maka PBSI pastinya akan pusing tujuh keliling. Mengisi dua slot di luar Tommy dan Hayom dengan pemain muda? Rasanya itu pilihan yang sangat riskan jika dibandingkan dengan target juara yang telah dikumandangkan.
-Putra Permata Tegar Idaman-

Mainaky.. Mainaky.. Mainaky.. Mainaky..

Mainaky. Mainaky. Mainaky. Mainaky. Setidaknya ada empat kata Mainaky yang akan ditemui saat mata anda menelusuri struktur pengurus dan pelatih PBSI pada periode tahun ini. Nama-nama itu milik Rexy Mainaky selaku Kabid Binpres, disusul Richard Mainaky (pelatih kepala ganda campuran), Reony Mainaky (pelatih kepala ganda putri), dan Marleve Mainaky (pelatih kepala tunggal putri).
Munculnya empat nama Mainaky dalam susunan pengurus dan pelatih pelatnas Cipayung pada tahun ini tentu menjadi sebuah hal yang menarik. Kini ada tiga Mainaky yang mengawal tiga dari lima nomor di pelatnas plus satu Mainaky yang menjadi Kabid Binpres. Apakah ini menjadi salah satu bentuk nepotisme karena Rexy selaku Kabid Binpres memiliki kewenangan penuh untuk melakukan penunjukkan pelatih nomor per nomor?
Image
Percayalah, kata nepotisme hanya akan dikait-kaitkan oleh para pemerhati bulu tangkis di negeri ini kepada Rexy Mainaky ketika prestasi bulu tangkis Indonesia jeblok dan tak menunjukkan perkembangan serta perbaikan yang signifikan di tahun ini. Jika prestasi  Indonesia di tahun ini bisa meroket dan mengalami perbaikan signifikan, yang ada hanya puji-pujian yang mengalir kepada Rexy sebagai penanggung jawab hadirnya dinasti Mainaky di daftar pelatih pelatnas Cipayung tahun ini.
Yang kemudian berkembang menjadi pertanyaan adalah mampukah Mainaky-Mainaky yang berada di jajaran pelatih tahun ini mengemban kepercayaan Rexy Mainaky dan menjawabnya dengan prestasi?
Nama pertama yang paling disorot mungkin adalah Marleve Mainaky yang menjadi pelatih kepala tunggal putri. Tahun lalu, nama Marleve juga sudah ada di daftar pelatnas Cipayung dengan posisi sebagai asisten pelatih tunggal putra. Posisi sebagai asisten pelatih sendiri pastinya beda dengan pelatih kepala yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap performa para pemainnya. Jika para pemain gagal menemukan performa terbaiknya, sudah pastilah pelatih kepala yang akan dicari dan dimintai pertanggung jawaban, dan bukannya sang asisten pelatih.
Menariknya, Marleve Mainaky sendiri sudah memiliki pengalaman menjadi pelatih tunggal putri pelatnas Cipayung beberapa tahun lalu sebelum akhirnya berselisih dengan pengurus era 2008-2012 dan memutuskan untuk keluar dari pelatnas Cipayung.
Image
Yang jadi perhatian adalah kemudian mencuatnya keraguan tentang kapasitas Marleve mengangkat performa tunggal putri Indonesia setelah ini. Memang, dari segi kedekatan personal, Marleve bisa membina hubungan baik dengan para pemain tunggal putri dan itu bisa jadi nilai plus karena dengan demikian Marleve bisa menipiskan jarak antara pelatih dan pemain.
Namun jelas yang dicari oleh para publik bulu tangkis Indonesia adalah prestasi. Acuan keberhasilan Marleve bukan saat dirinya mampu berhubungan akrab dengan para pemain melainkan ketika dirinya mampu membuat para pemainnya berprestasi tinggi. Satu prestasi yang mengesankan dari Marleve adalah ketika mampu mendampingi Maria Kristin meraih medali perunggu Olimpiade Beijing 2008, namun setelah itu prestasi pebulu tangkis tunggal putri boleh dibilang melempem.
Dan untuk tahun ini sendiri, Marleve boleh dibilang akan mendapatkan tugas yang boleh dibilang lebih berat dibandingkan periode sebelumnya. Pasalnya, Sumber Daya Manusia yang ada untuk tunggal putri saat ini otomatis tak banyak berubah dibandingkan saat Marleve masih menduduki kursi pelatih tunggal putri sebelumnya. Marleve harus bisa mencari solusi dan memaksimalkan kematangan dan meningkatkan tingginya jam terbang pemain yang pastinya bertambah, dan meminimalisir kekurangan dari segi fisik yang mungkin menurun karena bertambahnya usia para pemain yang ada.
Yang kedua adalah Reony Mainaky. Nama ini sendiri sejatinya sudah muncul tahun lalu sebagai pelatih kepala ganda putri namun kemudian kedatangannya harus tertunda selama satu tahun untuk menyelesaikan kontrak yang ada.
Berbeda dengan Marleve yang dianggap sebagai wajah lama, kehadiran Reony Mainaky di pelatnas Cipayung boleh dibilang merupakan angin segar. Kisah sukses Reony membesut ganda Jepang menjadi salah satu ganda kuat di luar jajaran ganda hebat Cina menjadi salah satu jaminan bahwa Reony Mainaky punya kapasitas untuk melakukan hal yang sama di pelatnas Cipayung.
Tantangan bagi Reony saat nanti bergabung sangatlah jelas, ia harus bisa segera membawa perubahan terkait prestasi ganda putri Indonesia yang sejak dulu stagnan. Tidak perlu bermimpi terlalu jauh bisa memiliki ganda putri nomor satu dunia dalam waktu dekat, cukup memiliki 2-3 wakil di 10 besar dunia saja sudah merupakan tanda kemajuan yang sangat signifikan untuk nomor ini.
Reony sendiri tentunya harus siap menanggung beban tambahan ketika bersedia melatih Indonesia. Melatih pemain dari negeri sendiri, tentunya ia juga harus siap dengan tekanan yang lebih berat dari media-media lokal. Maklum, ekspektasi tinggi pastinya juga akan diikuti oleh beban yang tinggi dan kritik yang lebih deras ketika kenyataan tak sesuai harapan.
Yang terakhir adalah Richard Mainaky. Nama terakhir ini sepertinya nama yang paling jauh dari keraguan adanya unsur kekeluargaan dalam hal pemilihan nama pelatih, apalagi Richard Mainaky sudah lebih dulu menjadi pelatih sebelum Rexy Mainaky datang ke Cipayung awal tahun lalu. Maklum, Richard Mainaky adalah wajah lama yang sukses mengubah status ganda campuran di peta kekuatan Indonesia dalam lebih dari satu dasawarsa terakhir. Nomor ganda campuran yang tadinya hanya merupakan nomor buangan kini menjelma menjadi nomor andalan.
Image
Namun bukan lantas Richard Mainaky hadir di pos pelatih ganda campuran tanpa tantangan sedikit pun. Tugasnya tahun ini tetap tak berubah, yaitu memastikan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir selalu siap menjadi andalan di turnamen-turnamen besar. Tidak hanya itu, Richard juga sudah harus berhasil mendorong beberapa pasangan yang telah diproyeksikan sebelumnya menjelma menjadi andalan mengikuti kiprah Tontowi/Liliyana selama ini. Jika hal itu gagal dilakukan, maka tak pelak Richard Mainaky pun bisa berada dalam sorotan tajam.
Kalau boleh dibilang, sejatinya nama-nama Mainaky di atas sudah ‘hidup tenteram’ di luar pelatnas. Marleve Mainaky sebelumnya telah menjadi pelatih di PB Exist dan Reony Mainaky sudah berkiprah di Jepang yang pastinya keduanya pun tak memiliki permasalahan terkait finansial dan pendapatan. Jadi, alasan pemanggilan kedua pelatih itu oleh Rexy bukanlah karena nepotisme untuk mengamankan jalan rezeki keluarga.
Padahal pastinya akan lebih aman jika Rexy Mainaky memilih nama lain di luar keluarganya sebagai pelatih. Dirinya tak akan dicemooh berlebihan jika nantinya orang-orang di luar keluarganya itu gagal mengemban tugasnya sebagai pelatih. Beda halnya dengan saat ini, jika nantinya Marleve, Reony, dan Richard gagal sebagai pelatih, pastinya hubungan keluarga dengan Rexy akan dibawa ikut serta sebagai salah satu sebab kegagalan.
Namun jika diibaratkan seperti penjudi, Rexy bukanlah tipe penjudi penakut yang tanggung-tanggung dalam berbuat sesuatu. Rexy adalah penjudi yang akan mempertaruhkan semua miliknya di meja perjudian jika ia yakin akan memenangkannya dan tidak takut akan resiko kehilangan semua harta miliknya. Sama seperti hal itu, pastinya ada keyakinan kuat dalam diri Rexy ketika mengajak serta Marleve dan Reony dalam struktur kepelatihan di bawah tanggung jawabnya, dan Rexy pasti tidak takut dengan resiko kegagalan yang mungkin menantinya.
-Putra Permata Tegar Idaman-

Mengintip Peluang di 2014 (Bagian II)

Untuk bagian kedua, di sini akan membahas tentang peluang di kompetisi perorangan. Seperti yang diketahui, ada beberapa turnamen yang menjadi target besar PBSI tahun ini yaitu All England, Kejuaraan Dunia, Asian Games, dan BWF Final Super Series.
All England, Kejuaraan Dunia, Asian Games, dan BWF Final Super Series
Kesamaan dari empat ajang itu adalah jika melihat peta kekuatan Indonesia di awal tahun, hanya Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang sepertinya bisa diberi tanggung jawab untuk menuntaskan misi.
Namun perjalanan menuju ajang-ajang tersebut tentunya berbeda-beda. Khusus untuk All England yang memang tinggal berjarak dua bulan dari sekarang, nama Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sendiri jelas mutlak bakal menjadi ujung tombak dalam menghadapi persaingan perebutan gelar juara. Di luar nama-nama itu, sepertinya masih butuh usaha keras berbalut kata kejutan untuk bisa menyaksikan pemain Indonesia lainnya berjaya di podium tertinggi All England.
Yang menarik kemudian menyaksikan apakah saat penyelenggaraan Kejuaraan Dunia (25-31 Agustus) dan Asian Games (28 September-5 Oktober), kekuatan Indonesia masih tetap bertumpu pada dua nama yang ada, Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana ?
Sangat menggembirakan jika memang ternyata ada nama-nama lain yang bisa bermunculan dan berdampingan sejajar dengan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sebagai kandidat kuat pemenang Kejuaraan Dunia dan Asian Games. Dan Indonesia sendiri pun masih dibilang cukup beruntung jika Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana tak terkendala cedera yang mungkin bisa mengganggu konsistensi permainan mereka dalam perjalanan setahun ke depan, sehingga nantinya mereka tetap bisa berdiri sebagai andalan. Dan seburuk-buruknya adalah jika Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana mengalami penurunan performa atau cedera sehingga tak lagi bisa dijadikan andalan di dua ajang besar tersebut.
Jika opsi tengah yang diambil yaitu belum ada nama pemain lainnya yang bisa dijadikan andalan selain Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, maka bukan berarti PBSI bisa berlega hati. Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana berdiri menjadi ganda tangguh di nomor masing-masing bukan tanpa pesaing. Mereka punya rival-rival berat di tiap nomor. Dan selalu memajukan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana di tiap turnamen yang menjadi target besar, maka Indonesia pastinya tidak mungkin bisa terus berharap hasil manis di pengujung tiap turnamen tersebut.
Tahun lalu, Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana mampu membawa Indonesia meraih dua titel juara dunia di Guangzhou. Sebuah prestasi yang sangat luar biasa. Kalau boleh dibilang ini fenomenal karena hanya mereka berdua yang berstatus menjadi andalan Indonesia di ajang ini.
Image
Dua andalan yang berujung pada dua gelar juara tentu merupakan sebuah hal yang akan sulit diulang beberapa kali, termasuk dalam All England, Kejuaraan Dunia, dan Asian Games tahun ini. Sulit rasanya membayangkan kemungkinan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana selalu berjaya di ajang All England, Kejuaraan Dunia, dan Asian Games secara beruntun. Ganda-ganda Korea, Cina, Denmark, dan Jepang tentu tak akan membiarkan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana melakukan hal itu dengan mudah.
Dengan gambaran demikian, maka pemikiran bahwa kegagalan meraih gelar di salah satu target besar tahun ini, entah itu di All England, Kejuaraan Dunia, atau Asian Games,serta BWF Final Super Series, terasa wajar. Berat rasanya berharap kemungkinan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana terus menerus berjaya di deretan ajang tersebut. Kalaupun mungkin Indonesia memenuhi target menyabet gelar dari turnamen-turnamen besar tersebut, mungkin Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana akan bergantian berperan sebagai penyelamat muka Indonesia. Ahsan/Hendra juara di  turnamen A, dan Tontowi/Liliyana menjadi pemenang di turnamen B, begitu seterusnya.
Turnamen Super Series/Super Series Premier
Selain mendapat gelar dari turnamen-turnamen besar, PBSI juga berharap meraih lebih banyak gelar super series/super series premier dibandingkan tahun lalu. Tahun lalu, Indonesia meraih 10 gelar dari 12 seri super series/super series premier plus satu gelar di BWF Final Super Series. Torehan ini sendiri memang jauh lebih bagus dibandingkan torehan tahun sebelumnya dimana Indonesia hanya meraih 4 gelar dan tanpa titel di BWF Final Super Series.
Tapi lagi-lagi yang mendapat sorotan adalah 9 dari 11 gelar yang didapat Indonesia tahun lalu berasal dari sumbangan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Hanya ada Tommy Sugiarto di Singapura Super Series dan Marcus Fernaldi Gideon/Markis Kido di Prancis Super Series sebagai dua wakil di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana yang mampu keluar sebagai pemenang.
Untuk tahun ini, selain target jumlah gelar super series/super series premier yang lebih banyak, patut kiranya diperhatikan jumlah pemenang titel super series/super series premier yang lebih banyak dibandingkan musim lalu yang hanya berjumlah empat orang. Para pemain yang selama ini dianggap berada di lini kedua untuk urusan jadi andalan seperti Tommy Sugiarto, Dionysius Hayom Rumbaka, Angga Pratama/Rian Agung, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari, Riky Widianto/Richi Puspita Dili harus step up tahun ini.
Image
Jika mungkin masih belum bisa memenangi titel juara pada empat gelaran besar (All England, Kejuaraan Dunia, Asian Games, BWF Final Super Series), maka setidaknya mereka bisa mulai berbicara di turnamen super series lainnya dan mudah-mudahan mulai menjadi penghias daftar penerima gelar juara. Berurutan dengan itu, pemain yang dianggap ada di baris ketiga dalam daftar andalan pun juga harus mulai berbicara banyak dan meraih gelar juara di turnamen level grand prix gold dan grand prix. Jika itu tak bisa dilakukan oleh kelompok lini kedua ini sampai akhir tahun nanti, maka boleh dibilang perkembangan prestasi bulu tangkis Indonesia masih jalan di tempat.

Mengintip Peluang di 2014 (Bagian I)

Seri kompetisi Badminton World Federation (BWF) akan segera dimulai. Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) pun sudah mengumandangkan target-target yang akan mereka bidik tahun ini. Target tersebut dirasa realistis dan menantang untuk dicapai. Berikut mari dibahas satu per satu target yang ada dan dibumbui prediksi biar lebih seru, dimulai dari target-target besar:
Piala Thomas
Sejak meraih Piala Thomas tahun 2002 dan gagal dalam upaya mempertahankan gelar di Jakarta pada tahun 2004, total sudah ada lima gelaran Piala Thomas yang dilewati Indonesia tanpa hasil juara. Tahun ini, PBSI memasang target juara pada Tim yang akan berangkat nanti.
Dari segi kekuatan, sejatinya kekuatan utama Indonesia saat ini ada di pundak Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan karena nomor ganda campuran tak dipertandingkan, maka otomatis untuk Piala Thomas Indonesia bakal bertumpu pada Ahsan/Hendra yang akan tampil sebagai ganda pertama.
Dengan status sebagai ganda pertama, Ahsan/Hendra mutlak tak boleh kehilangan poin di tiap pertandingan yang dijalani Indonesia nantinya. Mereka harus bisa diberi label penyumbang poin tetap bagi Indonesia.
Lantaran Piala Thomas menggunakan format pertandingan the best of five, nomor andalan Indonesia berikutnya adalah ganda kedua. Disini nama yang mungkin bakal mengisi adalah Angga Pratama/Rian Agung atau bisa saja Berry Anggriawan/Ricky Karanda dan Wahyu Nayaka/Ade Yusuf. Ganda kedua yang akan turun nantinya pun harus bisa unggul atas ganda kedua dari negara-negara pesaing yang ada dan bisa menanggung beban sebagai penentu, apalagi dengan format normal, ganda kedua akan tampil di partai keempat.
Beralih ke tunggal, Tommy Sugiarto sepertinya tak terhentikan untuk jadi tunggal pertama pada gelaran Mei nanti. Sebelumnya, Rexy Mainaky menyebut Tommy dan Dionysius Hayom Rumbaka akan menjadi tulang punggung nomor tunggal. Slot tunggal ketiga akan diisi oleh salah satu dari Sony Dwi Kuncoro atau Simon Santoso sedangkan slot tunggal keempat atau cadangan bakal diisi oleh pemain muda. Namun komposisi itu bisa saja berubah menjadi keempat pemain di atas tanpa pemain muda jika masing-masing pemain di atas menunjukkan prestasi yang stabil di sisa waktu yang ada.
Image
Komposisi pemain senior seperti Simon atau Sony sebagai tunggal penentu sendiri memang lebih menguntungkan bagi Indonesia karena dari segi beban mental yang diterima sebagai penentu kemenangan atau kekalahan, jam terbang yang mereka miliki seharusnya sudah mampu untuk menopang mereka berdiri tegak di lapangan tanpa kekhawatiran sebelum bertanding yang berlebihan.
Dilihat dari nama-nama pesaing, nama negara yang sudah familiar dengan dunia bulu tangkis seperti Cina, Korea, Denmark, dan juga Jepang serta Malaysia akan kembali menjadi pesaing Indonesia dalam perebutan Piala yang diambil namanya dari Sir Alan George Thomas ini.
Cina, mereka kini ada di ambang rekor kemenangan enam kali beruntun dan memecahkan rekor sebelumnya atas nama Indonesia. Namun dari segi amunisi, Cina masih mengalami kekhawatiran di sektor ganda dimana mereka tidak setangguh dua tahun lalu.Cai Yun/Fu Haifeng saat ini sudah mengalami penurunan performa sedangkan Liu Xiaolong/Qiu Zihan belum seperti yang diharapkan. Di sisa waktu yang ada, mungkin Cina akan mencari dan meracik pasangan baru yang bisa jadi tumpuan kekuatan.
Image
Dengan kurang kokohnya kekuatan nomor ganda, Cina otomatis mutlak mengandalkan nomor tunggal. Yang menarik dilihat, apakah Lin Dan akan kembali masuk Tim Cina setelah hanya muncul di Kejuaraan Dunia lalu untuk kemudian menghilang lagi? Jika tanpa Lin Dan, otomatis Cina juga dalam kekhawatiran karena Du Pengyu dan Wang Zhengming tidak sesolid yang mereka harapkan. Jikapun Lin Dan main, menarik untuk dilihat kapan Lin Dan akan come back, apakah sebelum Thomas Cup atau saat penyelenggaraan turnamen itu berlangsung. Dan dengan kondisi demikian sendiri, Lin Dan hanya akan bisa tampil sebagai tunggal ketiga Cina karena kalah dari segi peringkat dibandingkan tunggal Cina lainnya.
Korea pun akan menjadi lawan berat bagi Indonesia selanjutnya. Ganda putra Korea memiliki peluang untuk mengimbangi ganda Indonesia, baik itu ganda pertama maupun kedua. Beruntung, dari segi tunggal putra, kans Indonesia untuk mengambil angka terbuka lebih lebar. Karena itu jika nantinya bertemu Korea, maka para tunggal putra Indonesia harus gantian mengambil peran sebagai penentu kemenangan.
Untuk Denmark, negara ini pun patut diwaspadai oleh Indonesia. Nama-nama seperti Jan O Jorgensen, Hans-Kristian Vittinghus dan Viktor Axelsen menjadi nama yang cukup berbahaya bagi para pemain Indonesia. Dari nomor ganda pun mereka memiliki kekuatan yang lumayan merata.
Jepang juga tak boleh diremehkan karena mereka masih berpeluang mencuri angka dari nomor tunggal maupun ganda. Sedangkan Malaysia sendiri, sebelum pertandingan mungkin boleh dibilang sudah unggul 0-1 jika Lee Chong Wei belum benar-benar ditemukan kelemahan mendasarnya oleh para pemain Indonesia.
Dengan gambaran demikian, maka gelaran Piala Thomas tahun ini akan berlangsung lebih seru dibandingkan tahun sebelumnya karena perbedaan kekuatan tiap negara semakin tipis. Cina akan gagal memecahkan rekor baru sebagai negara terbanyak yang mampu membukukan kemenangan beruntun dan Indonesia bisa kembali keluar sebagai juara sekaligus lepas dari torehan 13 gelar yang selama ini selalu dianggap angka sial.
Piala Uber
Menghadapi Piala Uber tahun ini, Indonesia sepertinya masih belum punya cukup kekuatan untuk menjadi kandidat serius perebut gelar juara. Karena itu wajarlah jika target yang dibebankan kepada tim putri nantinya adalah babak semifinal. Realistis dan masih mungkin dicapai.
Komposisi pemain tunggal Indonesia sendiri masih belum bisa diraba jelas karena peta kekuatan yang masih mungkin berubah dalam beberapa bulan ke depan. Para kandidat tunggal putri bisa saling bersaing dan unjuk gigi untuk membuktikan bahwa merekalah yang terbaik dan pantas masuk dalam skuat Tim Uber Indonesia nantinya.
Sementara itu untuk nomor ganda, Indonesia sepertinya baru bisa memastikan nama Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari sebagai anggotanya dan masih mencari kandidat ganda lainnya. Untuk menambah kekuatan nomor ganda, wacana untuk memasukkan nama Liliyana Natsir dalam tim Piala Uber menarik untuk diperhatikan. Liliyana sendiri pernah menyebut di tahun lalu bahwa dirinya siap saja jika memang dibutuhkan tenaganya untuk bermain di Piala Uber namun yang mesti digarisbawahi adalah dirinya sudah lama tidak bermain di level kompetitif pada nomor ganda putri dan usianya kini sudah semakin menua.
Sebelum putaran final berlangsung, tugas para pemain putri Indonesia sendiri adalah memperbaiki peringkat mereka setinggi mungkin agar nantinya bisa masuk dalam pot negara unggulan. Andai Indonesia terlempar dari status unggulan delapan besar, maka bersiap melihat tim putri Indonesia sudah harus berjibaku dan bersusah payah di level penyisihan grup. Andai mampu masuk dalam unggulan delapan besar, maka peluang untuk maju ke perempat final terbuka lebih lebar.
Image
Dengan masuk ke perempat final, maka Indonesia pun tinggal berharap bahwa drawing berpihak kepada mereka dan mempertemukan mereka dengan lawan-lawan di luar Cina yang sepertinya masih tak tersentuh oleh Indonesia untuk tahun ini. Meski negara seperti Korea, Jepang, dan Thailand juga memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan begitu saja, namun asa Indonesia untuk menapak babak semifinal akan terbentang lebih terang.
-Putra Permata Tegar Idaman-

Pelatnas Cipayung, Masa yang Tak Pasti

Pengumuman nama-nama yang menjadi anggota Pelatnas Cipayung 2014 sudah dipublikasikan. Ada rasa senang dan kecewa yang meliputi perasaan para penggemar bulu tangkis karena pemain idolanya tetap bertahan ataupun harus keluar dari pelatnas Cipayung.
Pun begitu halnya dengan para pemain itu sendiri. Perasaan mereka tentunya lebih campur aduk dari yang dirasakan orang-orang yang hanya berstatus sebagai penggemar bulu tangkis. Mungkin ada yang biasa saja karena sudah tahu pasti akan bertahan di pelatnas Cipayung, ada yang lega karena nama mereka ternyata masih masuk skuat tahun ini, ada yang berbesar hati karena tak lagi menjadi bagian dari pelatnas Cipayung, dan ada yang tak percaya karena namanya menghilang dari daftar pemain yang ada.
Image
Pelatnas Cipayung memang jelas menjadi bagian tak terpisahkan dari kesuksesan bulu tangkis Indonesia sejak pelatnas itu resmi berjalan di awal tahun 1990-an setelah sebelumnya pelatnas berlokasi di daerah Senayan. Di tempat itu, para pebulu tangkis berbagi impian dan juga harus bersaing menggapai impian itu. Mereka ada di tempat yang sama, bersahabat dengan orang-orang yang juga bisa menggagalkan mimpi yang mereka emban jauh sebelumnya.
Pelatnas Cipayung sendiri tidak punya waktu yang pasti tentang durasi dan masa edar seorang pemain di dalamnya. Bisa jadi hanya setahun, dua tahun, tiga tahun, atau lebih lama lagi, tidak ada yang bisa menjawabnya dengan kepastian seratus persen. Karena itulah, setiap detik yang ada di Cipayung itu begitu berharga bagi para pemain. Mereka harus terus memanfaatkan waktu yang mereka punya karena bisa jadi itu adalah detik-detik terakhir dalam status mereka sebagai pemain pelatnas Cipayung.
Di Pelatnas Cipayung, seluruh kebutuhan atlet relatif sudah dipenuhi. Tempat tidur, makanan, hingga peralatan latihan pun sudah ada. Mereka pun tak perlu jauh-jauh melangkah dari tempat tidur menuju lokasi latihan. Jika para atlet pelatnas di era pelatnas Senayan masih harus berjalan kaki atau bahkan menumpang kendaraan umum, maka atlet pelatnas Cipayung tinggal perlu tak lebih dari 50 langkah dari kamar mereka menuju lapangan tempat latihan.
Dengan kondisi demikian, maka otomatis banyak yang beranggapan bahwa atlet seharusnya bisa dengan optimal mengeluarkan seluruh kemampuan yang mereka miliki. Mereka tak perlu lagi bersusah payah untuk urusan-urusan di luar latihan. Tugas mereka hanyalah berlatih dan berlatih. Itu saja.
Image
Namun sebagaimana lazimnya manusia dan bukan robot, pastilah perilaku atlet pelatnas Cipayung tidak seluruhnya sesuai harapan. Ada distorsi dalam keseharian mereka yang akhirnya membuat mereka terkadang tidak optimal dalam menghabiskan waktu mereka di Cipayung.
Setelah seseorang memutuskan untuk berkarir menjadi atlet, maka mereka memang dituntut untuk memiliki level kedewasaan yang lebih tinggi dibandingkan orang pada umumnya. Hal itu tidak lain lantaran mereka sudah harus memutuskan segala sesuatunya dengan pola pikir orang dewasa di saat usia mereka masih muda. Semua itu berhubungan terhadap durasi karir seorang atlet yang rata-rata hanya bertahan hingga usia 30-an, jauh berbeda dengan profesi lainnya yang justru semakin matang dan berpengalaman ketika memasuki usia tersebut.
Karena itu jangan pernah sia-siakan kesempatan yang pernah didapat di pelatnas. Jika memang harus gagal, maka gagallah dengan senyum kebanggaan karena telah memberikan semua yang ada dalam latihan sehari-hari. Dan bukan malah gagal dalam penyesalan karena tak pernah menampilkan potensi maksimal dalam diri.
Jika pun tak lagi menjadi bagian dari pelatnas Cipayung, kini jalan di luar lebih bagus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Peluang untuk terus berprestasi terbuka sama lebarnya dengan para penghuni pelatnas Cipayung, meski usaha yang lebih keras mutlak harus mereka lakukan.

Sukses di 2013, Tantangan Berat di 2014

Saat ini, 2013 sudah tinggal berumur beberapa hari lagi dan tentunya meninggalkan banyak kenangan bagi semua yang ada di dunia, termasuk bulu tangkis Indonesia. Tahun 2013 ini pun ditandai dengan dimulainya tahun kerja pertama kepengurusan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) di bawah komando Gita Wirjawan.
Banyak hal menarik yang dilakukan oleh PBSI periode 2012-2016 ini. Yang pertama tentunya adalah kesuksesan menarik Rexy Mainaky kembali ke Tanah Air dan memasukkannya ke dalam jajaran pengurus, pun begitu halnya dengan sejumlah mantan pemain hebat lainnya seperti Ricky Soebagdja dan Susi Susanti. Meski mereka semua sudah diumumkan menjadi bagian dari PBSI pada akhir 2012, namun waktu efektif mereka mulai bekerja dimulai di awal 2013.
Image
Selain perkara pembenahan sektor teknik, PBSI juga melakukan pembenahan di sektor manajemen. Ide untuk sponsor pribadi benar-benar merupakan sebuah terobosan yang patut diapresiasi. Dengan demikian, maka nilai seorang pemain tak lagi ditentukan oleh PBSI, melainkan langsung oleh para pihak-pihak yang mengikuti lelang sponsor. Semakin tinggi prestasi, tentunya makin tinggi pula tawaran yang masuk dan makin terbuka pula perang tawar-menawar harga. Kemudian hal itu masih ditambah beberapa kebijakan baru lainnya seperti pengawasan kedisiplinan dan gizi yang lebih ketat. Semuanya semata untuk menunjang prestasi para atlet.
Pembenahan-pembenahan inilah yang kemudian mendorong tercapainya target-target besar PBSI di tahun 2013. Piala Sudirman dilewati Indonesia dengan pujian karena kalah 2-3 dari Cina di babak perempat final. Sebuah usaha yang dirasa sudah maksimal dan menimbulkan secercah harapan.
Dua turnamen besar, All England yang dimenangi Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan Kejuaraan Dunia 2013 yang dijuarai Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir juga menjadi target besar lainnya yang dimenangi PBSI. Memang, nama-nama di atas adalah nama-nama yang sering disebut nama generasi lama yang memang sudah jadi andalan di era kepengurusan sebelumnya, namun tanpa pengelolaan manajemen yang bagus dari PBSI belum tentu Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana bisa meraih prestasi tinggi itu.
Image
Target SEA Games pun kemudian dengan mulus dilewati. Yang patut mendapat sorotan di balik kesuksesan target SEA Games adalah karena target tersebut terpenuhi dengan tim yang tak diperkuat beberapa pemain utama seperti Tommy Sugiarto dan juga Ahsan/Hendra plus Tontowi/Liliyana.
Dari segi pembinaan, PBSI pun sudah mulai beroperasi ke daerah-daerah untuk membentuk akar yang kuat dalam sebuah program pembibitan. PBSI lewat Kabid Pengembangan mulai menyusun standar dan sistem pelatihan yang seragam ke pelatih-pelatih daerah agar nantinya pemolesan atlet berada di arah yang benar sejak usia dini.
Mengacu pada hal-hal yang disebutkan di atas, maka boleh dibilang tahun pertama kepengurusan PBSI di bawah komando Gita Wirjawan terbilang sukses.
Sukses besar? Belum sampai ke level itu, namun harus diakui bahwa PBSI periode ini telah meletakkan pondasi bangunan yang bagus sebagai sebuah awal dari hasil akhir karya mereka yang nantinya dinilai di akhir kepengurusan pada tahun 2016 mendatang.
Tantangan sendiri makin menarik bagi PBSI di tahun 2014 mendatang. Tahun 2013 yang bisa dibilang disebut tahun adaptasi dimana toleransi bagi kegagalan cukup besar, namun hal itu akan mulai berkurang di tahun depan. Jika tahun 2013 adalah tahun dimana para pengurus PBSI masih bisa berbicara bahwa mereka masih melihat situasi, suasana, dan beradaptasi, maka alasan itu akan semakin tidak diterima di tahun 2014 dan tahun-tahun yang akan datang.
Di tahun 2014 ini, jelas PBSI telah menetapkan target-target besar yang akan menjadi tolok ukur prestasi mereka. Jika melihat kalender BWF yang ada, target besar itu mungkin antara lain Piala Thomas-Uber di India, Asian Games di Korea, dan dua event reguler, All England dan Kejuaraan Dunia.
Untuk Piala Thomas-Uber, PBSI bisa mendapatkan nilai sangat positif di tahun 2014 jika bisa kembali membawa Piala Thomas ke Tanah Air, Piala yang terakhir kali dimenangi oleh Indonesia tahun 2002 silam. Dari segi materi tim yang ada saat ini, Indonesia memiliki kans untuk merebut Piala tersebut meskipun peluang Indonesia tak sebesar Cina. Namun jika Cina lengah sedikit saja, Indonesia bisa masuk garis finis perebutan Piala Thomas sebagai juara. Sementara untuk Piala Uber, rasanya penggemar bulu tangkis pun akan realistis dan sadar betul bahwa untuk tahun depan, peluang di atas kertas untuk merebut Piala tersebut sangatlah kecil.
Sementara untuk All England, Kejuaraan Dunia, dan Asian Games tahun depan, rasa-rasanya harapan menjadi juara masih belum bergeser dari nama-nama yang selama ini jadi andalan seperti Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana.
Nama-nama lain harus membuktikan diri terlebih dulu di turnamen-turnamen super series/super series premier di awal tahun. Jika ternyata ada lonjakan prestasi yang luar biasa dari seorang pemain di paruh pertama tahun 2014, maka bisa saja kemudian dirinya jadi tumpuan dan harapan untuk merebut gelar juara di Kejuaraan Dunia dan Asian Games yang berlangsung di semester kedua pada 2014 nanti.
Jikapun belum ada pemain lain di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana yang mampu jadi andalan di event individu penting macam All England, Kejuaraan Dunia, dan Asian Games di tahun depan, PBSI tetap harus mampu mendorong pemain di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana untuk mulai keluar sebagai juara super series, atau setidaknya konsisten bertahan hingga babak akhir dari satu turnamen ke turnamen lainnya.
Dengan demikian, itu akan menjadi modal berharga bagi PBSI untuk memiliki pemain hebat lainnya di 2015 mendatang dan menciptakan opsi harapan juara lain di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Namun jika itu gagal dilakukan PBSI di tahun 2014, maka PBSI akan makin berada di posisi sulit pada tahun 2015, setahun jelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016 berlangsung, karena tidak ada lagi andalan di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana pun  belum tentu  mampu untuk bisa terus berada dalam kondisi fit dan stabil di level performa terbaiknya.
Walaupun tidak populer dan bisa langsung dinikmati, program pembinaan di daerah juga tetap harus dilakukan oleh PBSI secara konsisten dan berkelanjutan. Jika ini dilakukan, maka setidaknya PBSI sudah memberikan warisan berharga yang kelak akan dinikmati bangsa ini di dekade selanjutnya.
Tahun 2013 yang merupakan tahun adaptasi sudah dilewati PBSI dengan sukses dan di atas ekspektasi yang diharapkan. Tantangan lebih berat akan menanti di 2014 dimana PBSI dituntut untuk tetap mampu berprestasi dan mempermulus proses regenerasi, baik itu regenerasi jangka pendek berupa bertambahnya andalan untuk turnamen level atas, maupun regenerasi jangka panjang berupa pemain-pemain muda yang diharapkan cepat matang.
-Putra Permata Tegar Idaman-

Silver and Bronze, Priceless or Worthless ?

Gold medal is priceless. Medali emas itu tak ternilai harganya dan semua pasti setuju. Tak ada hitung-hitungan pasti berapa biaya yang harus dikeluarkan sebuah negara untuk mendorong atletnya meraih medali emas di sebuah ajang multi event. Sebuah biaya yang lebih tinggi dari suatu negara, tidak menjamin bahwa ia akan meraih medali emas lebih banyak dibandingkan negara lain yang mengeluarkan biaya lebih sedikit.
Semua sepakat bahwa medali emas di sebuah multi event itu tak ternilai harganya, baik itu Olimpiade, Asian Games, hingga ajang SEA Games sekalipun. Mulai dari negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina di Olimpiade, Cina, Korea Selatan, dan Jepang di Asian Games, hingga Thailand dan Indonesia di SEA Games, semua sepakat medali emas memang tak ternilai dan menjadi sebuah tujuan mutlak dalam setiap keikutsertaan mereka di ajang itu.
Namun bagaimana dengan medali perak dan perunggu? Apakah perak dan perunggu tetap tak ternilai harganya? Atau malah justru menjadi tak berharga sama sekali?
Olimpiade menggunakan simbol citius, altius, fortius yang berarti tercepat, tertinggi, dan terkuat. Semua mengincar nomor satu, dan berarti nomor dua apalagi peringkat di bawahnya seolah menjadi bukan apa-apa. Hal itulah yang kemudian seolah terus diimplementasikan dalam tabel penyusunan klasemen negara peserta baik itu untuk Olimpiade, Asian Games, dan SEA Games.
Image
Bagi negara seperti Indonesia, Thailand, dan mayoritas negara di dunia, mungkin medali perak atau perunggu di Olimpiade sangatlah berarti besar. Sekali medali itu didapat, maka puja-puji akan mengalir kepada atlet dan peraihnya. Namun bagaimana dengan negara raksasa di Olimpiade seperti Amerika Serikat dan Cina? Mungkin mereka akan bersikap biasa saja jika mendapatkan perak dan perunggu karena buruan utama mereka di Olimpiade jelas, sebuah medali emas.
Sikap Amerika Serikat dan Cina yang ada dalam asumsi saya itu mungkin akan sama halnya dengan sikap Indonesia dan Thailand jika turun di ajang SEA Games. Bagi Indonesia dan Thailand, buruan utama di SEA Games amatlah jelas, medali emas, bukan perak dan perunggu. Karena itulah yang sering mengapung di berbagai media adalah berapa target emas yang berani dijanjikan sebuah cabang olahraga, bukan target perak ataupun perunggu.
Dan sikap Indonesia serta Thailand di Olimpiade mungkin sama halnya dengan sikap Brunei Darussalam dan Timor Leste di ajang SEA Games. Bagi mereka, perak maupun perunggu sangatlah berharga di tengah dahaga prestasi mereka untuk meraih medali di pesta olahraga Asia Tenggara ini.
Image
Kembali ke soal klasemen, 99 perak  tanpa emas yang dimiliki sebuah negara, tidak akan bisa membuat mereka melampaui torehan satu emas yang dimiliki negara lainnya meskipun emas itu satu-satunya medali yang didapat negara tersebut. Hal ini pula yang kemudian menjadikan perak dan perunggu seolah tak berarti banyak dalam sebuah ajang multi event, khususnya bagi negara-negara yang memang secara tradisi sudah fokus mengincar emas di ajang multi event tersebut.
Sebenarnya ide yang sempat dicetuskan oleh sejumlah orang beberapa tahun lalu terkait penggunaan poin untuk tiap medali menarik untuk coba diaplikasikan dalam ajang multi event. Misalnya, emas dinilai 3 poin, perak 2 poin, dan perunggu 1 poin. Jadi jika negara A mengumpulkan 3 emas 5 perak dan 4 perunggu, maka ia akan mendapatkan 23 poin. Sedangkan di saat bersamaan negara B meraih 2 emas 10 perak dan 5 perunggu maka ia meraih 31 poin.
Jika menggunakan sistem penyusunan klasemen  yang berorientasi emas, jelas negara A akan ada di atas negara B. Namun jika menggunakan sistem poin, maka negara B ada di atas negara A dan para peraih perak dan perunggu dari negara tersebut bisa lebih tersenyum karena kontribusi mereka bagi negara akan lebih terasa. Sayangnya, cetusan ide ini sepertinya tidak berlanjut dan penyusunan klasemen tiap negara peserta ajang multi event masihlah gold first alias berdasarkan medali emas terlebih dulu. Dan kini tinggal bagaimana tiap orang menyikapi hal ini dengan persepsi masing-masing, silver and bronze, priceless or worthless ?
-Putra Permata Tegar Idaman-

Regenerasi...

Ketika melihat nama-nama pemain muda berseliweran di kancah bulu tangkis internasional seperti, Ratchanok Inthanon dari Thailand, Bao Yixin dari Cina, Sindhu P.V dari India penggemar bulu tangkis di Indonesia kemudian membanding-bandingkan dengan fakta yang ada di Tanah Air dimana pebulu tangkis sepantaran mereka masih harus berjuang di pelatnas dan belum bisa dipandang sebagai pebulu tangkis papan atas dunia.
Tamparan makin keras bagi wajah bulu tangkis Indonesia kemudian seolah datang saat Ratchanok yang masih berusia 18 tahun mampu menjadi juara dunia tahun ini, saat umurnya masih 18 tahun dan ia masih bisa ikut Kejuaraan Dunia Junior di tahun yang sama. Ketika Ratchanok mencapai puncak, regenerasi bulu tangkis Indonesia justru tengah mendapat sorotan tajam. Tidak hanya para pebulu tangkis tunggal putri, seretnya regenerasi di Indonesia juga dianggap terjadi pada semua nomor tanpa terkecuali.
Image
Yang patut dicermati pertama kali adalah sistem pembagian kelas turnamen bulu tangkis di Indonesia, mulai dari kelas anak-anak, pemula, remaja, taruna, kemudian beralih ke dewasa. Biasanya, para pemain yang dipanggil ke pelatnas adalah pemain yang ada di kategori taruna atau di kisaran di 17-19 tahun. Usia itu kadang dianggap orang sudah terlalu terlambat lantaran kembali berkaca kepada contoh di luar sana bahwa Ratchanok sudah juara dunia junior di usia 14 tahun dan terus berlanjut sampai akhirnya ia menjadi juara dunia pada usia 18 tahun.
Jika mengambil contoh dalam negeri, maka kemudian akan disodorkan nama Mia Audina yang sudah masuk Tim Uber pada usia 14 tahun atau Taufik Hidayat yang sudah menjadi runner up All England pada usia 17 tahun di awal karir mereka.
Namun yang patut digarisbawahi adalah tidak semua pemain sespesial Taufik, Mia, ataupun Ratchanok. Mereka memang punya kelas tersendiri dan terbukti tidak semua pemain dari berbagai negara di dunia bulu tangkis bisa melambungkan nama mereka di usia di bawah 20 tahun. Untuk rata-rataan umumnya, para pebulu tangkis mulai unjuk gigi selepas usia 20 tahun ke atas.
Lalu apa yang harus dilakukan Indonesia dan PBSI untuk menciptakan Taufik dan Mia di era saat ini? Langsung menceburkan pemain-pemain junior sedini mungkin agar nantinya mereka bisa cepat matang di usia muda? Pilihan ini sendiri pun juga memiliki resiko yang cukup besar. Mereka bisa frustasi jika kemampuan mereka tidak spesial dan jauh di atas rata-rata kemampuan pemain sebayanya.
Sebenarnya dari panduan acuan yang ada di level turnamen nasional dan internasional sudah menggambarkan jelas dan bisa jadi tuntunan. Untuk level kategori nasional contohnya, bisa saja para pemain yang sudah dianggap merajai turnamen sirkuit nasional level remaja langsung diturunkan oleh klubnya di level taruna pada turnamen selanjutnya. Jika ia masih bisa menguasai level taruna di usianya yang masih remaja, maka ia bisa langsung berlanjut ke level dewasa. Memenangi sirkuit nasional kategori dewasa saat usianya masih masuk kategori umur remaja, maka jelas pemain itu memiliki potensi untuk semakin berkembang dan jelas bakal menjadi incaran PBSI untuk masuk skuat pelatnas.
Untuk turnamen internasional sendiri pun gambarannya jelas mulai dari future series, international series, international challenge, grand prix, grand prix gold, super series, dan super series premier. Semua turnamen itu sendiri menunjuk daftar peringkat BWF sebagai acuan untuk masuk babak kualifikasi/utama dan sistem unggulan.
Dari sini pun sudah bisa terlihat jelas gambarannya. Bagaimana mungkin pemain muda yang masih terseok-seok dan sulit juara di level international challenge atau grand prix, langsung diharapkan bisa menjelma sebagai pemain penuh prestasi di usia muda.
Semuanya butuh proses. Jika pemain muda itu memang sudah menunjukkan kualitas dan memenangi banyak turnamen grand prix atau grand prix gold, maka ia mulai bisa naik level dan menjadi harapan untuk berbicara banyak di level turnamen super series dan super series premier. Jika di turnamen level grand prix dan grand prix gold saja mereka masih susah menembus babak akhir, itu artinya mereka masih butuh polesan dan kerja keras untuk meningkatkan kemampuan.
Yang terpenting, PBSI harus memberikan kesempatan yang cukup bagi pemain yang ada di bawah naungan mereka untuk mengikuti turnamen tiap tahunnya. Dan nantinya, seleksi alam yang akan menunjukkan mana pemain muda yang memang bisa mengukir prestasi fenomenal di awal karir mereka, dan mana pemain muda yang memang harus menunggu hingga usia yang lebih matang untuk meraih kemenangan demi kemenangan.
Image
-Putra Permata Tegar Idaman-

Terima Kasih Chris John!

Chris John duduk dengan posisi tegap. Tangan kirinya memegang lembaran kertas sementara tangan kanannya memegang microphone. Kata demi kata kemudian keluar dari mulutnya. Kadang ia berhenti sejenak untuk kemudian memulai lagi. Irama nafasnya tetap stabil dan intonasi kata-katanya pun tetap demikian. Matanya hanya sedikit memerah namun air mata tak mengalir sedikit pun dari sudut dua bola matanya. Chris John jelas merupakan petinju yang tegar, termasuk saat dirinya mengumumkan pengumuman pengunduran diri.
Total 15 tahun sudah dihabiskan Chris John untuk berlaga di ring tinju, dari arena ke arena, dari kota ke kota, dari negara ke negara lainnya. Untuk status juara dunia, Chris John sudah menggenggamnya selama satu dasawarsa yang berarti Indonesia sudah diharumkan namanya di dunia tinju 10 tahun lamanya.
Dan kini dengan lantang Chris John mengumumkan pengunduran dirinya. Sebuah pengumuman yang dilakukan dalam sebuah situasi yang sejatinya tidak ada dalam bayangan dan harapan Chris John. Sebagai atlet, Chris John jelas berambisi bisa mengakhiri karir dengan situasi sempurna. Memegang rekor jumlah pertandingan mempertahankan gelar juara terbanyak, sukses melakukan unifikasi gelar, dan tidak pernah kalah hingga akhir karirnya adalah impian yang pastinya ada di benak Chris John sebagai juara dunia.
Toh, akhirnya Chris John tetap menunjukkan sikap sebagai juara sejati. Juara yang tidak hanya hebat di atas ring. Namun juga sikap juara yang mengerti dan mengakui batas dirinya sendiri. Juara yang tahu kapan saatnya untuk mundur dan meninggalkan ring yang telah membuat namanya menyebar ke seluruh penjuru dunia ini.
Image
Dan memang pada akhirnya yang terkenang oleh masyarkat saat menyebut nama Chris John bukan hanya melulu soal kekalahan terakhirnya. Kekalahan terakhir hanya akan mengambil porsi sepersekian persen dari cerita tentang Chris John. Yang akan lebih mendominasi saat nama Chris John adalah tentang pencapaian-pencapaian spektakulernya. Tentang bagaimana ia mulai beralih dari wushu ke tinju. Tentang bagaimana ia menjadi juara dunia untuk pertama kalinya. Tentang bagaimana ia meraih status super champion dari WBA, dan tentang bagaimana ia mampu menjaga penampilannya tetap stabil selama lebih dari 10 tahun hingga penghujung karirnya.
Chris John tak perlu lagi menuntut balas dan meminta rematch atas kekalahan di pertandingan terakhirnya karena sejatinya ia telah menang. Chris John telah memenangkan hati rakyat Indonesia yang terus mendukungnya. Beberapa tahun ke depan, ketika kata tinju dan legenda disandingkan, maka otomatis nama Chris John yang ada di mulut dan kepala orang yang melihatnya.
Dari pertarungan-pertarungan yang terus dijalani Chris John, tergambar jelas bahwa sikap bersahaja dan keganasan bisa bersatu secara alami dalam diri manusia. Chris John memang bak ksatria haus pertempuran yang terus menggempur musuhnya di atas ring. Namun di luar itu, Chris John adalah petinju yang sederhana dan bersahaja. Petinju yang rendah hati meski posisinya tinggi.
Kini saatnya bagi kita untuk melepas Chris John turun dari ring tinju yang pernah membesarkannya. Membiarkan dirinya menikmati waktu bersama keluarga kecilnya, menebus waktu yang hilang saat Chris John terus menerus sibuk bekerja keras untuk mengharumkan nama Indonesia. Biarkan Chris John duduk bersama kita semua di bangku penonton, menyaksikan kelanjutan nasib tinju Indonesia setelah ini. Tentunya dengan statusnya sebagai Suami dan Ayah dari anak-anaknya, status juara yang menurut Chris John abadi dan tetap melekat selamanya..
Image
Terima Kasih Chris John!!