Rabu, 14 Agustus 2013

Angkat Topi untuk Ahsan dan Tontowi



Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2013 berakhir bahagia bagi Indonesia. Dua gelar juara setelah hampa gelar di tiga edisi Kejuaraan Dunia sebelumnya jelas sangat membahagiakan. Lebih menarik karena dua orang yang menjadi juara dunia pada 2007, tahun terakhir Indonesia merengkuh titel juara dunia, Hendra Setiawan dan Liliyana Natsir kembali menjadi juara dunia di tahun ini dengan pasangan yang berbeda. Hendra meraih juara dengan Mohammad Ahsan, Liliyana menjadi yang terbaik bersama Tontowi Ahmad.

Hendra dan Liliyana adalah pemain jenius dan itu tak perlu diragukan dan diperdebatkan. Sejak usia muda mereka sudah berprestasi dan itu mereka pertahankan hingga saat ini, saat dimana usia mereka sudah mulai memasuki fase usia tua sebagai seorang atlet. Yang ingin disorot dari tulisan ini adalah justru sosok Ahsan dan Tontowi, dua sosok yang harus berpasangan dengan Hendra dan Liliyana yang sudah meraih segalanya sebagai seorang pemain bulu tangkis.

Ahsan mulai berpasangan dengan Hendra selepas Olimpiade London 2012. Ahsan yang sebelumnya berpasangan dengan Bona Septano tengah mengalami kekecewaan yang cukup besar lantaran gagal menyumbangkan medali bagi Indonesia di Olimpiade London 2012. Tidak hanya soal Olimpiade saja, Ahsan sendiri juga sebelumnya hanya mampu menyandang status sebagai ganda 10 besar dan belum mampu naik level menjadi ganda papan atas.

Berpasangan dengan Hendra pun tidak lantas membuat Ahsan dengan mudah mencapai tangga teratas. Kondisi Hendra saat itu pun tidak dalam kondisi terbaik. Ia dan Markis Kido baru saja gagal lolos ke Olimpiade London 2012. Walaupun Hendra juga tengah terpuruk, nama besar Hendra  sudah cukup untuk  menjadi bayang-bayang besar di hadapan Ahsan.

Hendra adalah juara dunia, juara Olimpide, juara Asian Games,  pebulu tangkis nomor satu dunia dengan sederet gelar saat berpasangan dengan Markis Kido. Sementara Ahsan ketika itu belum mampu menjuarai satu pun titel super series.

Dan benar saja, perjuangan Ahsan/Hendra untuk membuktikan kapasitas mereka melalui jalan yang terjal. Setelah sempat mencuri perhatian dengan meraih gelar di Malaysia Super Series di awal tahun dan masuk semifinal All England 2013, duet Ahsan/Hendra diadang badai cedera pinggang yang menimpa Ahsan. Cedera ini memaksa Ahsan tak tampil satu kalipun di gelaran Piala Sudirman bulan Mei.

Beruntung, dalam rasa derita lantaran tak bisa tampil akibat cedera, rasa lapar gelar juga menghinggapi dalam tubuh Ahsan/Hendra. Indonesia Terbuka, turnamen perdana Ahsan/Hendra setelah kembali langsung berhasil dimenangi oleh mereka. Kemenangan Ahsan/Hendra ini menyelamatkan muka Indonesia sebagai tuan rumah turnamen.

Meski sudah memenangi turnamen selevel ini, Ahsan sendiri seolah tetap merasa belum bisa berdiri sejajar dengan Hendra. Ini bisa dilihat di satu momen dimana Ahsan terlihat bereaksi cukup emosional saat Hendra ditanya perbandingan antara Ahsan dengan Kido. Ahsan masih belum nyaman dengan pertanyaan yang mengungkit perjalanan masa lalu Hendra yang bergelimang prestasi. Dan Ahsan tahu, hanya dengan prestasi tinggi maka ia bisa menghapus pertanyaan perbandingan siapa yang lebih baik menjadi pasangan Hendra yang keluar dari mulut para jurnalis.

Selepas Indonesia Terbuka itu sendiri, Ahsan/Hendra semakin mengkilap sebagai pasangan. Singapura Super Series kembali berhasil dipuncaki oleh mereka yang menjadi modal besar bagi mereka menuju Kejuaraan Dunia 2013.

Dibandingkan Ahsan, Tontowi bahkan sudah merasakan ‘penderitaan’ lebih dulu soal bagaimana beratnya berpasangan dengan pemain bintang. Saat mulai diduetkan dengan Liliyana, Liliyana adalah juara dunia dua kali, peraih medali perak Olimpiade Beijing 2008 pebulu tangkis nomor satu dunia yang memiliki banyak gelar saat berpasangan dengan Nova Widianto. Sementara saat itu Tontowi sendiri belumlah menjadi siapa-siapa dari segi prestasi.

Dasar jodoh, Tontowi/Liliyana langsung melejit dan menjadi tulang punggung utama Indonesia di tahun 2011-2012. Tapi hal ini tidak membuat Tontowi luput menjadi sasaran kesalahan ketika duet Tontowi/Liliyana mengalami kegagalan. Tontowi dianggap kadang masih demam panggung dalam pertandingan-pertandingan krusial dan tidak bisa mengimbangi kematangan Liliyana. Tidak hanya itu, Tontowi juga dianggap indisipliner dan dua hal itulah yang disinyalir menjadi dua diantara beberapa sebab kegagalan Tontowi/Liliyana memenuhi target meraih emas di Olimpiade London 2012.

Dikritik berbagai rupa dan bahkan sempat diperam di awal tahun 2013 dengan tidak dikirim ke Malaysia Super Series karena masalah indisipliner, Tontowi tidak melawan. Ia paham bahwa saat itu posisinya memang lemah dan apapun argumen yang dikelurkan, maka ia tetap dalam posisi yang salah. Ia baru benar ketika ia kembali berprestasi dan itulah yang telah ditekadkan Tontowi dalam hati.

Benar saja, selepas diperam Tontowi/Liliyana pun lapar gelar. All England, India Super Series, dan Singapura Super Series adalah tiga dari empat turnamen super series/premier yang dimenangi mereka. Hanya gelar Indonesia Terbuka saja yang lepas dari genggaman mereka.

Dengan performa apik sepanjang tahun  2013 berjalan dimana Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana menjadi peraih gelar super series terbanyak untuk masing-masing nomor, maka tak heran jika akhirnya mereka mampu meneruskan performa gemilang itu dan menjadi juara dunia.

Gelar juara dunia ini sudah cukup menjadi bukti bagi Ahsan dan Tontowi agar mereka tak lagi merasa minder berdiri berdampingan dengan Hendra dan Liliyana. Ahsan dan Tontowi sudah menjadi salah satu pemain terbaik di dekade ini dan jika mereka ingin meningkatkan status menjadi calon legenda, jelas mereka sudah paham benar apa yang harus dilakukan, yaitu dengan memenangi turnamen-turnamen besar di masa depan.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Sabtu, 03 Agustus 2013

Banyak Pemburu, Banyak Medali



Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2013 telah ada di depan mata. Sebagai negara besar, Indonesia sudah hampa gelar di tiga penyelenggaraan terakhir dan jelas ini boleh jadi disebut sebagai bencana bagi Indonesia. Dengan demikian tidak salah jika akhirnya Indonesia menjadikan Kejuaraan Dunia kali ini sebagai salah satu target besar di tahun 2013.

Berbicara soal peluang mendapatkan titel juara, jelas di atas kertas Indonesia kini memiliki dua jagoan andalan lewat nama Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Dua andalan memang terlihat sedikit jika dibandingkan dengan gambaran peta kekuatan Indonesia di dekade sebelumnya, tapi dua andalan sudah seolah jauh lebih baik jika dihadapkan dengan perbandingan dua tahun terakhir dimana Tontowi/Liliyana selalu disebut-sebut sebagai satu-satunya andalan.

Memang pastinya membanggakan bagi Tontowi/Liliyana ketika nama mereka selalu diucapkan dan dielu-elukan sebagai andalan di setiap kesempatan. Namun di atas lapangan, kadang hal itu malah menjadi beban. Kegagalan Tontowi/Liliyana di Olimpiade London 2012 jelas salah satunya karena mereka tak mampu keluar dari tekanan berat sebagai satu-satunya andalan yang tersisa di ajang tersebut.

Karena itu kehadiran Ahsan/Hendra sungguh sangat melegakan bagi Tontowi/Liliyana dan juga Indonesia. Kini beban untuk menyabet titel juara setidaknya ada di pundak dua wakil ini yang tentunya menjadikan beban tersebut berubah lebih ringan.

Terlebih, baik Ahsan/Hendra maupun Tontowi/Liliyana saat ini dalam kondisi yang sangat baik. Keduanya sudah meraih tiga gelar super series/premier tahun, terbanyak di nomornya masing-masing. Tontowi/Liliyana jelas terbilang luar biasa konsisten tahun ini karena tiga gelar itu didapat dari tiga turnamen yang ia ikuti tahun ini. Gambaran inilah yang kemudian mengapungkan harapan akan berakhirnya dahaga gelar Indonesia yang sudah berlangsung selama tiga edisi Kejuaraan Dunia ini.

Bicara soal beban, hal ini sendiri tidak lepas dari karakteristik bulu tangkis di dunia saat ini. Meski turnamen Kejuaraan Dunia ini bersifat individu, namun aroma persaingan antar-negara terasa kental. Hal itu tak lepas dari sifat Asosiasi Tiap Negara yang tetap dominan dalam pembinaan pemain. Hal ini berbeda misalnya dengan permainan raket lainnya yaitu tenis dimana pemain lebih bersifat individualis dengan mayoritas menggunakan biaya sendiri untuk mengikuti turnamen, meski saat juara para pemain tetap mengharumkan nama negara tersebut. Sebagai contoh, di dunia tenis sendiri ajang beregu seperti Piala Davis dan Piala Fed seolah menjadi turnamen yang tak terlalu penting dan para pemainnya sering melewatkan panggilan dari Asosiasi Tenis Negaranya dengan berbagai alasan.

Dengan latar belakang itulah akhirnya wajar jika pemain terkadang terbebani di kondisi-kondisi tertentu dimana ia begitu diharapkan bisa menjadi juara. Hal ini tidak hanya dialami pemain Indonesia melainkan juga para pebulu tangkis dari negara lain. Lee Chong Wei jadi salah satu contohnya dimana ia juga diberikan tumpuan sangat besar dari negaranya untuk bisa jadi juara dunia dan juara Olimpiade yang sampai saat ini belum berhasil diwujudkannya.

Lalu bagaimana mengatasi hal itu? Asosiasi Bulu Tangkis dalam hal ini Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) harus bisa mencetak banyak andalan. Jika diibaratkan, semakin banyak pemburu yang bisa diandalkan, maka semakin besar peluang adanya medali di tangan.

Memiliki andalan di tiap nomor sudah merupakan kondisi ideal yang bisa didapat oleh sebuah negara dan itu dialami Indonesia di tahun 1990-an meskipun ketika itu nomor ganda putri posisinya agak sedikit di belakang empat nomor lainnya.

Mau yang lebih hebat lagi? Jelas caranya adalah dengan mencetak banyak andalan untuk tiap satu nomor. Nomor tunggal putra dan ganda putra di era 1990-an pun pernah mencontohkan hal ini. Ketika itu di nomor tunggal putra, adanya 4-6 pemain Indonesia di babak perempat final atau terciptanya All Indonesian Semifinal bukanlah hal asing. Kondisi itu akhirnya membuat para pemain bisa melupakan ‘beban mengharumkan negara’ karena mereka sudah fokus untuk bersaing melawan para rekan sendiri dan jadi yang terhebat.

Kondisi nikmat itu juga dialami Cina di nomor tunggal putri 1-2 tahun lalu. Wang Yihan tidak perlu repot-repot menanggung beban mengharumkan negara di tiap turnamen individu karena lawan-lawan yang dihadapinya di babak akhir adalah rekan-rekannya sendiri seperti Wang Xin, Wang Shixian, Wang Lin, Jiang Yanjiao, hingga Li Xuerui. Dirinya pun kemudian bisa fokus untuk kepentingannya sendiri, menjadi yang terbaik di antara lainnya.


Kembali ke Kejuaraan Dunia 2013, adanya dua wakil yang jadi andalan di atas kertas patut disyukuri. Semoga dua andalan ini mampu menunaikan tugasnya dan meraih medali emas di Kejuaraan Dunia nanti. Sambil berharap hal itu, mari terus berdoa agar pebulu tangkis lainnya di Indonesia terus terpacu meningkatkan diri agar bisa berdiri sejajar dan memikul beban bersama sebagai andalan dan tumpuan.

-Putra Permata Tegar Idaman-