‘Saya
hanya ingin bisa bermain dengan baik, tanpa ada rasa sakit.’
Itulah yang diucapkan oleh Sony Dwi
Kuncoro, sekitar 10 bulan lalu. Saat itu, Sony telah menjalani serangkaian
terapi dan siap untuk kembali merajut mimpi. Tidak muluk-muluk. Tidak ada
ambisi untuk bisa kembali ke 20 besar, 10 besar, atau 5 besar. Sony hanya ingin
kembali bermain dengan normal, dengan sehat, dan tanpa rasa sakit.
Meski apa yang diucapkan di mulut terlihat
sederhana, Sony jelas butuh pembuktian besar bahwa karirnya sebagai pebulu
tangkis memang belumlah habis. Dirinya tak bisa begitu saja hanya kembali
bermain dan sekedar menjadi penghias turnamen. Karena jika demikian yang
terjadi, maka Sony tetap akan sama riwayatnya dengan andai ia tetap terbelit
cedera, dilupakan dan dianggap sudah selesai karirnya.
Dan Sony sadar benar akan hal itu. Ia
menetapkan tujuan setahap demi setahap. Hasil baik pun mulai datang kepada
peraih medali perunggu Olimpiade Athena 2004 ini. Selepas mengucapkan kalimat
itu pada Axiata Cup yang berlangsung pada bulan April 2012, Sony mulai
memperlihatkan tajinya di turnamen Malaysia Grand Prix Gold. Di turnamen ini,
ia mampu melenggang ke babak final sebelum kalah dari pebulu tangkis nomor satu
dunia Lee Chong Wei. Performa apik itu dilanjutkan Sony di ajang Thailand
Terbuka dimana ia sukses menjadi juara, titel perdananya sejak ia menjadi juara
di Singapura Super Series 2010.
Titel ini seolah menanamkan keyakinan pada
diri Sony. Pebulu tangkis kelahiran 1984 ini seolah bisa berteriak kepada
dirinya sendiri bahwa ia masih bisa menjadi yang terbaik. Setelah itu, grafik
Sony sendiri mulai membaik dan ia bisa masuk ke babak akhir di beberapa
turnamen. Tidak hanya itu, ia juga sukses menggenggam titel Indonesia Grand
Prix Gold. Di akhir tahun, Sony pun sudah masuk peringkat 20 besar dunia.
Gebrakan itu kemudian berlanjut di awal
tahun dimana Sony bisa merangsek ke 10 besar dan kemudian melesat ke peringkat
lima dunia berkat masuk semifinal Korea Terbuka Super Series Premier. Melihat
hasil di Malaysia Super Series, bukan tak mungkin peringkat Sony akan kembali
melonjak.
Sumber kekuatan utama dari kebangkitan Sony
jelas terletak dari tak lunturnya motivasi untuk bangkit yang ada di dalamnya.
Dirinya selalu percaya bahwa akan ada jalan selama ia tak pasrah pada kondisi
yang dialaminya.
Situasi ini sendiri tak serta merta muncul
dalam diri Sony. Pada masa keterpurukannya di 2012, Sony sendiri terlihat sempat
menghindari media. Jika biasanya Sony ramah bertegur sapa kepada media yang
ditemuinya di Cipayung, pada tempo itu Sony justru memilih menghindar dan kalau
bisa tidak sampai bertatap muka dan beradu pandang.
Namun perlahan tapi pasti Sony mulai menata
diri. Dia tak mau tenggelam dalam keterpurukan. Ia mulai berani berbicara soal
perkembangan cederanya dan harapan yang masih ingin dicapainya. Ambisi itu
kemudian dipadu oleh kerja keras yang hasilnya saat ini mulai terlihat.
Sony bisa kembali berada di posisi papan
atas dunia saat ini tidak lain lantaran ia pernah merasakan berada di titik
terendah dalam perjalanan karirnya. Bukan hanya lantaran mengalami kegagalan
demi kegagalan, Sony bahkan sampai pada level ‘hanya ingin bermain tanpa
gangguan rasa cedera.’ Hal inilah yang diyakini membuat Sony kini sangat
menghargai pertandingan demi pertandingan yang ia jalani. Setiap pertandingan
bagi Sony mungkin terasa seperti berkah dan nikmat besar sehingga dirinya tak
akan menyia-nyiakannya.
Namun dibalik keberhasilan come back yang
dialami Sony saat ini, jelas ada harapan bahwa Sony tak serta merta berpuas
diri pada titik ini. Masih banyak yang bisa diraih Sony di ‘karir keduanya’
sebagai seorang pebulu tangkis. Usia yang akan menginjak 29 tahun pada 2013 ini
juga bukan merupakan halangan karena dari segi tekad, Sony saat ini justru
seperti pebulu tangkis muda yang baru saja meniti karirnya di dunia bulu
tangkis. Yang perlu diperhatikan mungkin soal kondisi tubuhnya yang tentunya
diharapkan bisa selalu dalam kondisi fit dan prima.
Memang ke depannya masih banyak tantangan
yang akan dihadapi oleh Sony. Ada peribahasa bahwa merebut lebih baik daripada
mempertahankan dan inilah yang mungkin dialami oleh Sony nantinya. Perjuangan
Sony tahun ini dipastikan akan lebih berat. Melonjaknya peringkat Sony tahun
lalu, selain didasari penampilan impresifnya, juga dilandasi oleh rekening
poinnya yang memang masih sedikit.
Berdasarkan sistem poin yang dianut oleh
BWF, maka tugas Sony mempertahankan poin demi poin yang telah diraihnya tahun
lalu bakal menjadi lebih berat. Namun di balik itu, keuntungan pun didapat Sony
dari peringkatnya saat ini. Jika tahun lalu ia sempat merasakan menjadi pengisi
waiting list di babak kualifikasi turnamen super series, maka pada awal tahun
ini Sony akan menikmati status unggulan dimana langkahnya di atas kertas akan
lebih mudah dibandingkan perjalanannya tahun lalu.
Mengamati kebangkitan Sony sendiri,
tentunya banyak yang berharap ini adalah tonggak kebangkitan nomor tunggal
putra Indonesia. Melihat Sony bisa keluar dari mission impossible yang ada pada
dirinya, harusnya Simon Santoso, Dionysius Hayom Rumbaka dan tunggal putra
lainnya seolah mendapat ‘tamparan.’ Seluruh pemain tunggal putra yang ada
harusnya merasa ‘malu dan minder’ terhadap pencapaian Sony setahun belakangan
ini dan lebih termotivasi untuk berlatih, bekerja keras, dan menunjukkan
prestasi. Selamat datang kembali Sony!
-Putra Permata Tegar Idaman-