Selasa, 26 November 2013

Rio de Janeiro 2016, Waktu yang Panjang dan Waktu yang Singkat




Seri turnamen super series/super series premier BWF 2013 telah berakhir. Sebuah kesimpulan pun bisa dengan mudah diambil, Indonesia benar-benar mengandalkan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir untuk urusan meraih gelar. Di luar nama itu, masih belum ada nama yang benar-benar menggigit dan tampil sebagai andalan. Jika berbicara jauh ke Olimpiade Rio de Janeiro 2016, maka Indonesia pun menghadapi dilema dan pertanyaan, mampukah Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana bertahan sampai kesana? Atau mampukah pemain lainnya berdiri sejajar dengan mereka dan dijadikan andalan meraih titel juara?

Tahun 2013 ini adalah tahun titik tolak Ahsan/Hendra setelah mereka dipasangkan pada bulan September 2012. Mereka meraih empat gelar juara plus titel juara dunia. Peringkat nomor satu dunia pun sukses digenggam oleh mereka. 

Tontowi/Liliyana pun sukses membuat tahun 2013 sebagai tahun kebangkitan usai mereka gagal di Olimpiade London 2012 lalu. Mereka meraih empat gelar super series termasuk titel All England plus gelar juara dunia. Lalu mampukah kedua pasangan ini bertahan dalam persaingan papan atas dan tetap menjadi andalan hingga 2016 mendatang? Yang pasti, Indonesia tentunya tak mau tragedi tanpa medali emas atau bahkan tanpa medali yang menimpa tim bulu tangkis Indonesia di Olimpiade London 2012 kembali terulang di Rio de Janeiro nanti.

Pada tahun 2016 mendatang, Hendra sudah berusia 32 tahun sedangkan Ahsan 29 tahun. Untuk Liliyana, dirinya akan berusia 31 tahun sedangkan Tontowi menginjak angka 29 tahun. Jelas, bukan lagi sebuah umur yang muda bagi seorang atlet. Secara fisik, mereka pasti mengalami penurunan meskipun sejauh mana penurunan itu tetap tergantung bagaimana mereka mampu menjaga kondisi mereka. Namun di samping itu, ada pula faktor konsentrasi dan kejenuhan secara pikiran dan fokus. Bertahun-tahun diandalkan dalam tiap turnamen besar, hal itu tentu bukan masalah yang mudah bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Terlebih bagi Hendra dan Liliyana yang sudah menjadi andalan dalam satu dekade terakhir.

Bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sendiri, waktu kurang dari tiga tahun ke depan menuju Olimpiade Rio de Janeiro 2016 jelas merupakan waktu yang panjang. Sebelum diplot sebagai andalan untuk Olimpiade, mereka sudah harus terus-menerus dibebani sebagai andalan di ajang-ajang besar. Contohnya saja untuk tahun 2014, Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sudah pasti akan dibebankan target menjadi juara untuk All England, Kejuaraan Dunia, dan juga Asian Games. Konsistensi dua ganda ini akan terus mendapatkan tantangan.

2014 ini juga mungkin bisa jadi semacam tahun ujian bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Jika mereka masih mampu menyelesaikan beban target itu dengan baik, maka status Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana di akhir 2014 nanti masih layak dibebankan sebagai andalan untuk meraih medali emas di Olimpiade 2016. Meskipun, setelah itu kembali masih ada 1,5 tahun tersisa bagi mereka untuk mempertahankan konsistensi dan kembali diuji oleh pertanyaan yang sama hingga beberapa bulan jelang Olimpiade nanti.

Cara terbaik yang diinginkan Indonesia untuk mengatasi solusi ini jelas berharap PBSI bisa secepatnya menemukan andalan baru yang bisa selevel dengan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Jika itu terwujud, maka peluru emas yang dimiliki Indonesia akan lebih banyak. Dengan demikian, maka otomatis secara psikologis beban Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana juga berkurang.

Namun melihat fakta yang tersaji tahun ini, jelas belum ada pemain lainnya yang benar-benar bisa jadi andalan. Sebagai gambaran saja, di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, hanya Tommy Sugiarto, Sony Dwi Kuncoro, Pia Zebadiah/Rizki Amelia Pradipta, dan Markis Kido/Pia Zebadiah yang lolos ke BWF Super Series Finals tahun ini. Kualifikasi menuju BWF Final Super Series sendiri dilihat dari performa para pemain di turnamen super series/super series premier tahun ini, sehingga pemain yang tidak lolos jelas bisa disimpulkan bahwa dirinya belum bermain baik tahun ini. Fakta bahwa Pia/Rizki dan Kido/Pia bukanlah anggota pelatnas plus Sony adalah pemain yang tergolong sudah veteran, maka hanya Tommy yang benar-benar bisa dibilang sebagai perwakilan dari generasi muda yang ada di pelatnas.

Bagi para pemain dari generasi masa depan, yaitu Tommy dan kawan-kawan di pelatnas, waktu tiga tahun kurang ke depan adalah waktu yang sangat singkat. Mereka dituntut untuk bisa terus meningkatkan prestasi di waktu yang ada. Jika turnamen super series saja sulit untuk mereka menangi, maka jelas jalan berat menuju Olimpiade bagi mereka akan menanti. Jika mereka gagal masuk papan atas di 1-2 tahun mendatang, maka sulit berharap nantinya di Olimpiade mereka bisa jadi andalan. Pembuktian diri harus terus menerus mereka lakukan agar mereka bisa jadi tumpuan harapan.

Sekali lagi, bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, waktu menuju Olimpiade Rio de Janeiro masihlah sangat panjang. Sementara bagi Tommy dan kawan-kawan, mereka terus diburu waktu yang berlari begitu cepat.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Senin, 25 November 2013

Semakin Ramping, Semakin Diperhatikan




Bayangkan jika dua mata yang kita miliki ini melihat sekumpulan semut yang terbagi dalam lima kelompok. Jelas sulit bagi kita untuk melihat detil gerakan satu persatu dari para semut itu. Mungkin ada beberapa semut yang tampak menonjol di mata kita karena ia bertubuh besar atau perangainya paling aneh. Namun yang pasti tidak akan mungkin dua mata ini bisa mengawasi seluruh gerakan semut-semut yang ada. Jika jumlah semut itu berkurang, maka jangkauan pengawasan kita pastinya akan bertambah.

Gambaran itu mungkin sama halnya dengan jika masyarakat pecinta bulu tangkis melihat kondisi pelatnas bulu tangkis saat ini. Jika ditanya, nomor mana yang saat ini tengah terpuruk di Indonesia, maka jawabannya otomatis akan mengarah ke nomor tunggal putri di urutan pertama, ganda putri di urutan kedua, dan tunggal putra di urutan ketiga. Nomor ganda putra dan ganda campuran seolah berada di zona nyaman karena dianggap sudah memberikan bukti prestasi.

Nomor tunggal putri menjadi nomor yang disebut paling terpuruk karena di zaman dulu Indonesia memiliki sosok sehebat Susi Susanti ataupun Mia Audina. Di era 2000-an pun Indonesia memiliki Maria Kristin yang sempat menimbulkan secercah harapan sebelum akhirnya cedera berkepanjangan. Kini, belum ada pebulu tangkis tunggal putri yang bisa jadi andalan dan bersaing di level elit dunia bulu tangkis.

Nomor ganda putri menerima perlakuan sedikit lebih baik dari masyarakat pecinta bulu tangkis karena secara tradisi Indonesia tidaklah terlalu kuat di nomor ini. Jadi, ada sedikit rasa maklum yang menemani perjalanan nomor ganda putri meskipun saat ini torehan prestasi mereka juga jauh menurun dibandingkan generasi-generasi sebelumnya yang setidaknya bisa meramaikan persaingan di papan atas.

Untuk nomor tunggal putra, meski saat ini sejumlah nama ada di papan atas, namun jika dibandingkan dengan torehan di dekade sebelumnya, maka jelas mereka pun mengalami kemunduran. Pasalnya belum ada pemain yang mampu menjadi ujung tombak dan andalan dalam meraih titel demi titel di setiap turnamen besar seperti lazimnya para tunggal putra Indonesia di dekade-dekade sebelumnya.

Lalu bagaimana dengan nomor ganda putra dan ganda campuran? Apakah mereka telah menunjukkan konsistensi prestasi dan terhindar dari kata kemunduran? Sejatinya tidak 100 persen benar karena dua nomor itu hanya mengandalkan satu nama saja untuk urusan prestasi di level elit. Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan untuk nomor ganda putra dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di nomor ganda campuran. Jika dua nama itu dikesampingkan, maka belum ada yang benar-benar bisa jadi andalan dan siap memikul beban sebagai andalan dan menjadi juara.

Jadi secara umum, pemain lain di nomor ganda putra dan ganda campuran sejauh ini bernasib lebih baik dibandingkan tiga nomor lainnya karena mereka terlindungi oleh pamor Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Selama dua orang tersebut menjadi juara, maka dua nomor itu terus dianggap berhasil dan mempertahankan status sebagai nomor andalan.

Lalu apa kaitannya dengan wacana PBSI merampingkan skuat pelatnas pada tahun depan? Mungkin banyak yang bertanya-tanya tentang kebijakan ini karena di satu sisi sebenarnya PBSI tidak mengalami masalah sama sekali terkait pendanaan pemain dengan jumlah yang ada saat ini, yaitu 83 orang. Pun begitu halnya dengan fasilitas seperti lapangan dan kamar asrama. Semuanya masih bisa dipenuhi oleh PBSI.

Memang ada hal yang menarik dari wacana perampingan skuat pelatnas PBSI dari 83 orang menjadi kisaran 50-an. Jika dikalkulasikan dengan proses promosi, maka mungkin akan ada 40-50% nama yang hilang dari skuat pelatnas tahun ini. Sebuah jumlah yang besar dan tentunya sangat signifikan. Namun melihat bagaimana proyeksi dan bayangan skuat pelatnas di tahun depan, maka alasan dari PBSI akan muncul ke permukaan.

Dalam proyeksi yang ada, PBSI menyebut akan ada 5 pemain untuk nomor tunggal baik putra dan putri dan 4 pasang untuk ganda baik putra dan putri yang kesemuanya itu merupakan pemain untuk proyeksi Thomas-Uber tahun depan. Ditambah tiga pasang untuk nomor ganda campuran, maka dengan demikian sudah ada 32 pemain yang terdaftar. Sisa slot setelah itu nantinya diperuntukkan bagi pemain potensial maupun junior.

Dengan asumsi seperti itu, PBSI sepertinya tidak ingin memberikan ruang yang lebih besar bagi para pemain di dalamnya. Mereka ingin pemain yang ada di dalamnya benar-benar menajamkan persaingan di antara sesama sehingga tak ada kata ‘nyaman’ dalam status mereka sebagai pemain pelatnas. Mereka harus bisa terus masuk proyeksi tim untuk target-target besar jika tak ingin ke depannya posisi mereka digusur oleh pemain lainnya yang berusia lebih muda. Pemain muda pun harus terus memenuhi target antara sampai mereka dirasa matang untuk dibebani target besar.

Jumlah pemain yang lebih sedikit ini sendiri membuat atensi kepada tiap pemain menjadi lebih besar dibandingkan sebelumnya. Setiap gerak-gerik para pemain dari turnamen ke turnamen akan lebih dipantau dan diperhatikan. Dengan demikian pemain sendiri pastinya menyadari butuh usaha lebih keras dari biasanya untuk bisa bertahan di pelatnas Cipayung. Ketika mereka lengah, bukan tak mungkin tahun depan status pemain pelatnas bukan milik mereka lagi. 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Senin, 04 November 2013

Gak Jatuh, Gak Belajar



Tim Junior Indonesia menapaki jalan yang berbeda dalam kiprah mereka di Kejuaraan Dunia Junior 2013 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di nomor perorangan, mereka tak meraih medali emas sekaligus gagal mengulangi prestasi dua tahun terakhir. Namun untuk nomor beregu Indonesia sukses menjadi runner up, torehan tertinggi sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia di ajang ini.

Kegagalan atau keberhasilan di level junior memang harus disikapi hati-hati oleh Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI). Jangan sampai kegagalan di level junior yang merupakan indikasi peringatan dini diabaikan begitu saja oleh mereka, namun jangan sampai pula kesuksesan di level junior dianggap garansi bahwa mereka juga nantinya akan berprestasi saat beranjak dewasa.

Melihat sejarah panjang Kejuaraan Dunia Junior, Indonesia memang sepertinya tak terlalu akrab dengan turnamen ini. Sejak edisi 1994, Indonesia tak memiliki satu pun gelar juara dunia junior sampai akhirnya Alfian Eko/Gloria Widjaja memutus catatan buruk itu pada tahun 2011. Tetapi toh nyatanya Indonesia tetap mampu memiliki banyak pemain hebat seperti Taufik Hidayat, Sony Dwi Kuncoro, Candra Wijaya, Tony Gunawan, Nova Widianto, Markis Kido, Hendra Setiawan, Liliyana Natsir, Maria Kristin, dan lain sebagainya pada periode 1994-2011. Nama-nama di atas bahkan mampu memberikan medali di Olimpiade meski tidak berstatus juara dunia junior.

Namun tidak lantas PP PBSI dan Indonesia bisa tenang-tenang saja melihat nihil gelar yang didapat Indonesia di turnamen tahun ini. Bagaimanapun, tim junior adalah pondasi tim Indonesia di masa depan, jadi pondasi harus dipersiapkan dengan baik. Semakin bagus pondasi sebuah bangunan, maka kemungkinan bangunan itu akan solid di masa depan akan semakin terbuka. Sama halnya dengan tim junior, semakin bagus bibit dan kemampuan mereka di level junior, maka peluang untuk memiliki bintang di masa depan tentu akan terbuka lebih lebar.

Untuk persiapan Tim Junior tahun ini sendiri berlangsung secara intensif selama tiga bulan pasca penampilan di Kejuaraan Asia Junior pertengahan tahun 2013 ini. Ke depannya, persiapan harus dilakukan lebih optimal terutama tentang rencana pelatnas usia dini sebagai bagian dari program jangka panjang PBSI. Nantinya program pelatnas usia dini sendiri bisa bersinergi dengan persiapan ke tiap ajang junior karena pemain sudah berkumpul di pelatnas sepanjang tahun dan persiapan bisa dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan.

Soal keberhasilan tim Indonesia menjadi runner up di nomor beregu untuk pertama kalinya pun tidak lantas harus dibesar-besarkan sebagai jaminan bahwa Indonesia akan memiliki komposisi tim yang bagus untuk nomor beregu di masa depan. Apresiasi patut diberikan pada perjuangan mereka, namun jangan sampai apresiasi tersebut melenakkan. Karena biar bagaimanapun hitungan real atau hitungan nyata prestasi seorang atlet adalah ketika ia sudah masuk ke ranah senior, bukan pada saat ia masih junior.

Fase dari junior menuju senior itulah yang kemudian menjadi fase krusial dimana perkembangan seorang pemain mutlak harus mendapat perhatian ekstra. Bisa saja dia yang saat junior menjadi juara, justru kemudian melempem saat naik tingkat ke fase senior. Atau bisa juga, seorang pemain yang hanya berstatus semifinalis saat junior malah bisa mendominasi saat beranjak senior.

Banyak faktor yang memengaruhi perubahan itu dan tidak selamanya mereka yang junior berada di atas akan selalu ada di atas. Faktor motivasi atlet menjadi faktor internal yang berpengaruh terhadap perkembangannya. Jika ia tak mudah berpuas diri, maka ia akan bisa terus berkembang sebagai seorang atlet. Yang kedua jelas perkembangan mental dan kepercayaan diri yang juga harus mutlak diasah sebagai bagian dari faktor internal yang harus terus diperbaiki.

Dari faktor eksternal, ada beberapa faktor yang bisa memengaruhi seperti lingkungan tempat berlatih dalam hal ini untuk Indonesia berarti pelatnas Cipayung. Yang kedua adalah faktor pesaing dimana setelah masuk fase senior itu berarti sang pemain akan menghadapi persaingan terbuka, dimana pemain yang sudah lebih dulu malang-melintang di dunia bulu tangkis sebelum mereka bisa saja menjadi lawan mereka di seberang net nantinya. Selain faktor-faktor di atas, faktor cedera pun bisa menjadi momok menakutkan karena bagaimanapun hebatnya bakat seorang atlet semua akan sia-sia jika ia terkendala cedera berkepanjangan.

Kegagalan di level junior tak perlu disikapi berlebihan. Karena seperti anak kecil yang belajar naik sepeda, maka wajar jika jatuh pada awalnya. Yang terpenting adalah memastikan bahwa mereka ada di arah yang benar. Bahwa jatuh-nya mereka kali ini adalah bagian dari proses menuju kejayaan mereka nanti.

Keberhasilan di level junior pun tak perlu disikapi berlebihan. Karena seperti anak kecil yang belajar naik sepeda, maka keberhasilan mereka mengayuh sepeda di kali pertama, belum menjamin mereka tak akan jatuh di beberapa langkah ke depannya nanti.

 Terima kasih atas perjuangannya di Bangkok Para Pemain Junior Indonesia, dan teruslah berjuang karena karir kalian masih panjang membentang!

-Putra Permata Tegar Idaman-