Senin, 09 September 2013

Saat Olahraga Tak Lagi Jadi yang Utama

99 tahun lalu, perang dunia pertama meletus. Tiap-tiap Negara saling unjuk kekuatan dan kehebatan dan merasa lebih superior dibandingkan Negara lainnya. Negara yang kalah terpaksa menyerah dan harus tunduk pada sang pemenang. Mereka pun tak berdaya dalam kekangan sang penguasa. Saat ini, dunia sudah memasuki masa damai, namun sejatinya ‘perang’ itu masih ada dan berpindah ke arena olahraga. Sayangnya, saat ini Indonesia seolah ketinggalan dan tak mau ikut serta.

Sejak United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri pada 24 Oktober 1945, maka bisa dikatakan perang antar negara lewat konfrontasi strategi dan senjata resmi berakhir. Dunia sudah cukup prihatin dengan meletusnya dua perang dunia yang mengakibatkan korban meninggal dunia plus luka-luka lebih dari 100 juta jiwa. Negara-negara baik itu blok barat maupun timur sadar bahwa perang dunia ketiga di masa depan bisa jadi akan benar-benar menghancurkan dunia.

Namun, persaingan gengsi antar tiap negara tidaklah resmi berakhir. Suatu negara masih ingin dipandang superior dibandingkan negara lainnya. Dan kesempatan untuk bisa mewujudkan hal tersebut, bisa tercipta di arena olahraga, dimana persaingan antar bangsa masih terjadi dan menjadi perhatian seluruh dunia.

Mulai dari single event seperti FIFA World Cup, Kejuaraan Dunia Atletik dan cabang lainnya, Piala Thomas/Uber, hingga ajang multi event seperti Olimpiade, Asian Games, dan SEA Games, tiap negara yang terjun di dalamnya punya kesempatan untuk menegaskan status bahwa mereka lebih hebat dari negara lainnya yang ada di turnamen atau kejuaraan tersebut.

Itulah mengapa Amerika Serikat pun menaruh fokus penuh pada olahraga dan itu terlihat di Olimpiade. Mereka yang menyebut diri mereka sebagai ‘Super Power’ tentu juga ingin terlihat super di arena olahraga. Alhasil, mereka sangat dominan di Olimpiade dan sering keluar sebagai juara umum. Cina yang sering disebut kekuatan baru di dunia pun juga memanfaatkan arena olahraga sebagai tempat mereka unjuk kekuatan. Status juara umum Olimpiade Beijing 2008 pun sudah cukup bagi seluruh dunia untuk tak lagi meremehkan Cina sebagai sebuah bangsa.

Bagaimana olahraga bisa mengangkat harkat suatu bangsa juga bisa dilihat dari banyak contoh. Jamaika dan atletik misalnya. Dulu, mungkin Jamaika hanya dikenal lewat Bob Marley, namun kehadiran Usain Bolt yang fenomenal benar-benar membuat dunia kini menaruh respek pada Jamaika sebagai salah satu negara hebat di dunia.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Pada awalnya, Indonesia paham benar bahwa olahraga adalah salah satu jalan pintas untuk membawa harum nama bangsa ini ke pentas dunia. Hal itulah yang diyakini oleh Indonesia saat melakukan bidding sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Komplek Gelora Bung Karno pun dibangun untuk mengakomodasi hal itu. Presiden Soekarno pun mendukung penuh rencana dan acara tersebut.

Di ajang SEA Games, Indonesia pun selalu jadi raja pada awalnya. Dari 1977-1997, Indonesia sembilan kali jadi juara umum dan hanya dua kali finis runner up, itu pun saat sang juara Thailand berstatus sebagai tuan rumah. Pemerintah dan pihak-pihak terkait saat itu benar-benar memberikan dukungan penuh kepada atlet-atlet Indonesia yang berlaga di berbagai arena.

Di olahraga perorangan, bulu tangkis menjadi tumpuan utama Indonesia untuk dikenal dunia. Sejak era 1960-an, nama berbagai pebulu tangkis mampu membuat dunia mengenal Indonesia sebagai kekuatan utama di dunia. Cabang olahraga angkat besi pun menyusul di era 2000-an dan bahkan jadi penyelamat saat bulu tangkis absen memberi medali di Olimpiade London 2012 lalu.

Bagaimana dengan kondisi terkini? Dalam beberapa tahun belakangan, bisa dibilang kondisi olahraga di Indonesia terbilang cukup miris. Persiapan mayoritas cabang olahraga menuju SEA Games 2013 menjadi bukti. Uang saku atlet yang telat ibarat sinetron yang hampir pasti jadwal tayangnya tiap minggu, beruntung hal itu tak membuat para atlet luntur semangatnya dalam melakukan persiapan. Minimnya anggaran yang dialokasikan untuk pembinaan olahraga di Indonesia juga menjadi sebab mengapa mayoritas Pengurus Besar (PB)/Pengurus Pusat (PP) tak memiliki dana yang cukup untuk memutar roda organisasi dan menjalankan pembinaan dengan baik sebagaimana seharusnya.

Pemerintah harus merespon keadaan ini. Untuk cabang olahraga yang populer dan berprestasi seperti bulu tangkis, PBSI mungkin sudah menemukan formula yang tepat untuk menghidupi diri sehingga mereka bisa memancing kedatangan sponsor. Namun untuk cabang olahraga lain yang berprestasi dan berpotensi namun kesulitan mendatangkan sponsor lantaran masalah popularitas di masyarakat, pemerintah tetap harus turun tangan untuk pendanaan.

Hal itu mutlak dilakukan karena jika dibiarkan, maka itu bakal menjadi efek domino ke depannya. Generasi muda akan mulai mencoret atlet sebagai pilihan profesi mereka di masa depan lantaran tak adanya kejelasan dan jaminan. Mungkin hanya cabang-cabang populer yang masih memiliki regenerasi sementara cabang olahraga lainnya akan semakin sulit mencari bibit.

Saat ini olahraga (sedang) tidak menjadi perhatian utama di Indonesia. Mungkin para penentu kebijakan itu lupa, bahwa hanya atlet dan kepala negara yang bisa mengibarkan Bendera Merah-Putih dan Lagu Indonesia Raya di luar Indonesia.

Selamat Hari Olahraga Nasional! Semoga hari ini tidak hanya sekadar sebuah hari peringatan saja, melainkan hari perenungan tiap insan olahraga di Indonesia.

-Putra Permata Tegar Idaman-