Rabu, 17 April 2013

Dari Axiata Cup ke Piala Sudirman



Piala Axiata 2013 telah usai dengan hasil Indonesia terhenti di babak semifinal dan harus puas menempati posisi keempat. Memang, hasil di Piala Axiata tidak bisa dijadikan cermin bahwa kegagalan serupa bakal menimpa Indonesia di ajang Piala Sudirman 2013 nanti, namun setidaknya kekalahan di Piala Axiata 2013 bisa jadi alarm pengingat bahwa persaingan bulu tangkis dunia sudah semakin merata sehingga bukan hanya saja Cina dan Korea yang mesti diwaspadai, melainkan juga negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia.

Perbedaan mencolok terlihat di performa tim Indonesia saat menghadapi babak penyisihan dan saat berlaga di babak semifinal menghadapi Thailand. Selain lantaran saat di babak penyisihan pertandingan berlangsung di Indonesia, faktor lain adalah faktor tekanan yang ada pada bobot pertandingan itu sendiri.

Saat babak penyisihan, perihal menang-kalah tidak terlalu menjadi masalah karena akan ada empat tim yang lolos ke babak semifinal dan posisi Indonesia saat itu terbilang sangat baik. Berbeda dengan saat kembali berjumpa di babak semifinal dimana itu merupakan partai hidup-mati. Menang berarti maju sementara kalah berarti tersingkir.

Dan menghadapi beban itu, pemain Indonesia belum bisa menjawabnya dengan baik. Linda Wenifanetri gagal memberi kejutan sedangkan performa Tommy Sugiarto berbalik 180 derajat saat berjumpa di babak penyisihan. Tontowi Ahmad/Liliyana yang menanggung beban harus menang straight game menghadapi Sudket Prapakamol/Saralee Thounthongkam pun tak mampu mewujudkannya dan akhirnya memastikan kekalahan Indonesia dari Thailand.

Terluka saat ini mungkin memang menjadi pilihan yang lebih bagus bagi Indonesia dibandingkan berjaya dan bergembira. Dengan kalah di Axiata, maka para pemain Indonesia menjadi lebih waspada dan tidak merasa jemawa. Mereka sadar bahwa mereka masih memiliki banyak kekurangan yang mesti diperbaiki di waktu yang tersisa.

Meski demikian kekalahan ini sendiri juga bisa menjadi cerminan bahwa Indonesia memang benar-benar butuh perjuangan ekstra keras andai ingin mewujudkan target juara Piala Sudirman 2013 menjadi nyata. Pasalnya, dari segi historis sendiri, Indonesia tak begitu akrab dengan turnamen yang namanya diambil dari nama Dick Sudirman, tokoh bulu tangkis Indonesia, ini.

Setelah menjadi juara di edisi perdana tahun 1989, Indonesia selalu gagal mengulangi torehan terbaik itu di tiap kesempatan berikutnya. Bahkan saat generasi pemain bulu tangkis Indonesia disebut generasi emas di era 1990-an, Indonesia selalu gagal.

Salah satu alasannya adalah karakteristik dari turnamen Piala Sudirman itu sendiri. Jika Piala Thomas dan Uber yang dibutuhkan adalah kedalaman tim alias lebih banyaknya pemain hebat dalam satu nomor, maka tidak demikian halnya dengan Piala Sudirman yang lebih condong pada pemerataan kekuatan tiap nomor dimana bisa jadi cukup satu wakil terkuat saja di tiap nomor, maka negara itu sudah bisa menjadi hebat.

Di Piala Thomas maupun Uber, suatu negara boleh saja kalah superior dari segi tunggal putra/putri pertama, namun jika tim mereka lebih dalam, maka mereka bisa lebih baik di nomor tunggal putra/putri kedua dan ketiga, pun begitu halnya dengan nomor ganda.

Hal itulah yang akhirnya membuat Indonesia, menurut penulis,  yang sukses merebut Piala  Thomas dan Uber di era 90-an, selalu gagal menggenggam Piala Sudirman karena persaingan di Piala Sudirman lebih ketat lantaran tiap negara yang hadir pasti akan mengajukan pemain terbaik di lima nomor yang ada.

Namun dengan kondisi bulu tangkis saat ini dimana tidak banyak pemain hebat yang dimiliki Indonesia, maka format Piala Sudirman lebih memberikan peluang untuk berprestasi dibandingkan format Piala Thomas atau Piala Uber.

Pasalnya, Indonesia ‘cukup’ memiliki lima pemain terbaik, yang tersebar di tiap nomor untuk bisa terus berbicara banyak di ajang ini. Sementara sebagai perbandingan, Cina yang memiliki Li Xuerui, Wang Yihan, Jiang Yanjiao di tunggal putri pun hanya bisa menurunkan seorang saja di tiap pertandingan, pun begitu halnya di nomor tunggal putra dimana Cina memiliki Lin Dan dan Chen Long.

Meski begitu, Indonesia tetap berada dalam posisi underdog alias tak diunggulkan dalam turnamen kali ini. Gambaran kasar di atas kertas, nomor tunggal putri dan nomor ganda putri kembali menjadi titik lemah bagi Indonesia karena dianggap tak bisa bersaing dengan negara lainnya.

Dengan asumsi demikian, maka pola (di atas kertas) jika Indonesia ingin memenangkan sebuah pertandingan adalah dengan mengamankan nomor ganda putra dan nomor ganda campuran, serta berharap nomor tunggal putra bisa ikut menyumbang poin dan nomor tunggal putri dan nomor ganda putri bisa memberikan kejutan andai salah satu dari tiga nomor yang disebut lebih dulu gagal melaksanakan misi tersebut.

Pemetaan kekuatan Indonesia itu sendiri masih harus melihat format pertandingan yang digunakan di Piala Sudirman. Dengan format normal, alias tak ada pemain yang rangkap, maka format pertandingan yang digelar adalah ganda putra, tunggal putri, tunggal putra, ganda putri, dan ganda campuran.

Format ini sendiri terbilang sedikit tidak menguntungkan bagi Indonesia yang pastinya berharap nomor ganda campuran bisa selalu menyumbang angka di tiap pertandingan. Pasalnya, bisa jadi pertandingan malah tak berlanjut ke partai kelima atau sudah tak lagi menentukan di partai kelima karena Indonesia sudah kehilangan tiga partai sebelumnya.

Satu hal yang mungkin bisa dicoba Indonesia nantinya adalah dengan turut memainkan pemain nomor ganda campuran di nomor ganda putri. Semisal Liliyana Natsir bermain di nomor ganda campuran dan ganda putri, maka otomatis nomor ganda campuran akan dimainkan di partai pertama kemudian berurutan nomor tunggal putra, nomor tunggal putri, dan nomor ganda putri.

Dengan demikian, maka harapannya adalah nomor ganda campuran bisa selalu berhasil memberikan poin pembuka bagi Indonesia dan membakar semangat para pemain lainnya yang akan turun setelah itu. Bagaimanapun, turnamen beregu berbeda dengan perorangan dimana tekanan partai sebelumnya akan berada pada pundak pemain yang tampil setelahnya.

Tetapi strategi ini sendiri mengandung resiko mengingat itu berarti sang pemain putri dari nomor ganda campuran akan bermain di dua partai dan bila pertarungan berlanjut ke partai kelima, maka otomatis kondisi pemain putri ganda campuran tersebut tak seratus persen bugar. Bagaimanapun, setiap strategi pastilah memiliki keuntungan dan kerugian di dalamnya.

Namun semua itu hanyalah perumpaan di atas kertas. Nomor ganda campuran, ganda putra, dan tunggal putra tak boleh merasa terbebani sementara nomor tunggal putri dan ganda putri pun tak boleh lantas menjadi kehilangan kepercayaan diri. Lakukan yang terbaik karena siapa tahu memang Piala Sudirman sudah menanti untuk dijemput pulang.

-Putra Permata Tegar Idaman-