Piala Axiata 2013 telah usai dengan hasil Indonesia terhenti
di babak semifinal dan harus puas menempati posisi keempat. Memang, hasil di
Piala Axiata tidak bisa dijadikan cermin bahwa kegagalan serupa bakal menimpa
Indonesia di ajang Piala Sudirman 2013 nanti, namun setidaknya kekalahan di
Piala Axiata 2013 bisa jadi alarm pengingat bahwa persaingan bulu tangkis dunia
sudah semakin merata sehingga bukan hanya saja Cina dan Korea yang mesti
diwaspadai, melainkan juga negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia.
Perbedaan mencolok terlihat di performa tim Indonesia saat
menghadapi babak penyisihan dan saat berlaga di babak semifinal menghadapi
Thailand. Selain lantaran saat di babak penyisihan pertandingan berlangsung di
Indonesia, faktor lain adalah faktor tekanan yang ada pada bobot pertandingan
itu sendiri.
Saat babak penyisihan, perihal menang-kalah tidak terlalu
menjadi masalah karena akan ada empat tim yang lolos ke babak semifinal dan
posisi Indonesia saat itu terbilang sangat baik. Berbeda dengan saat kembali
berjumpa di babak semifinal dimana itu merupakan partai hidup-mati. Menang
berarti maju sementara kalah berarti tersingkir.
Dan menghadapi beban itu, pemain Indonesia belum bisa
menjawabnya dengan baik. Linda Wenifanetri gagal memberi kejutan sedangkan
performa Tommy Sugiarto berbalik 180 derajat saat berjumpa di babak penyisihan.
Tontowi Ahmad/Liliyana yang menanggung beban harus menang straight game
menghadapi Sudket Prapakamol/Saralee Thounthongkam pun tak mampu mewujudkannya
dan akhirnya memastikan kekalahan Indonesia dari Thailand.
Terluka saat ini mungkin memang menjadi pilihan yang lebih
bagus bagi Indonesia dibandingkan berjaya dan bergembira. Dengan kalah di
Axiata, maka para pemain Indonesia menjadi lebih waspada dan tidak merasa
jemawa. Mereka sadar bahwa mereka masih memiliki banyak kekurangan yang mesti
diperbaiki di waktu yang tersisa.
Meski demikian kekalahan ini sendiri juga bisa menjadi cerminan bahwa
Indonesia memang benar-benar butuh perjuangan ekstra keras andai ingin
mewujudkan target juara Piala Sudirman 2013 menjadi nyata. Pasalnya, dari segi
historis sendiri, Indonesia tak begitu akrab dengan turnamen yang namanya
diambil dari nama Dick Sudirman, tokoh bulu tangkis Indonesia, ini.
Setelah menjadi juara di edisi perdana tahun 1989, Indonesia
selalu gagal mengulangi torehan terbaik itu di tiap kesempatan berikutnya.
Bahkan saat generasi pemain bulu tangkis Indonesia disebut generasi emas di era
1990-an, Indonesia selalu gagal.
Salah satu alasannya adalah karakteristik dari turnamen Piala
Sudirman itu sendiri. Jika Piala Thomas dan Uber yang dibutuhkan adalah
kedalaman tim alias lebih banyaknya pemain hebat dalam satu nomor, maka tidak
demikian halnya dengan Piala Sudirman yang lebih condong pada pemerataan
kekuatan tiap nomor dimana bisa jadi cukup satu wakil terkuat saja di tiap
nomor, maka negara itu sudah bisa menjadi hebat.
Di Piala Thomas maupun Uber, suatu negara boleh saja kalah
superior dari segi tunggal putra/putri pertama, namun jika tim mereka lebih
dalam, maka mereka bisa lebih baik di nomor tunggal putra/putri kedua dan
ketiga, pun begitu halnya dengan nomor ganda.
Hal itulah yang akhirnya membuat Indonesia, menurut
penulis, yang sukses merebut Piala Thomas dan Uber di era 90-an, selalu gagal
menggenggam Piala Sudirman karena persaingan di Piala Sudirman lebih ketat
lantaran tiap negara yang hadir pasti akan mengajukan pemain terbaik di lima
nomor yang ada.
Namun dengan kondisi bulu tangkis saat ini dimana tidak
banyak pemain hebat yang dimiliki Indonesia, maka format Piala Sudirman lebih
memberikan peluang untuk berprestasi dibandingkan format Piala Thomas atau
Piala Uber.
Pasalnya, Indonesia ‘cukup’ memiliki lima pemain terbaik, yang tersebar di
tiap nomor untuk bisa terus berbicara banyak di ajang ini. Sementara sebagai
perbandingan, Cina yang memiliki Li Xuerui, Wang Yihan, Jiang Yanjiao di
tunggal putri pun hanya bisa menurunkan seorang saja di tiap pertandingan, pun
begitu halnya di nomor tunggal putra dimana Cina memiliki Lin Dan dan Chen
Long.
Meski begitu, Indonesia tetap berada dalam posisi underdog
alias tak diunggulkan dalam turnamen kali ini. Gambaran kasar di atas kertas,
nomor tunggal putri dan nomor ganda putri kembali menjadi titik lemah bagi
Indonesia karena dianggap tak bisa bersaing dengan negara lainnya.
Dengan asumsi demikian, maka pola (di atas kertas) jika
Indonesia ingin memenangkan sebuah pertandingan adalah dengan mengamankan nomor
ganda putra dan nomor ganda campuran, serta berharap nomor tunggal putra bisa
ikut menyumbang poin dan nomor tunggal putri dan nomor ganda putri bisa
memberikan kejutan andai salah satu dari tiga nomor yang disebut lebih dulu
gagal melaksanakan misi tersebut.
Pemetaan kekuatan Indonesia itu sendiri masih harus melihat
format pertandingan yang digunakan di Piala Sudirman. Dengan format normal, alias
tak ada pemain yang rangkap, maka format pertandingan yang digelar adalah ganda
putra, tunggal putri, tunggal putra, ganda putri, dan ganda campuran.
Format ini sendiri terbilang sedikit tidak menguntungkan
bagi Indonesia yang pastinya berharap nomor ganda campuran bisa selalu
menyumbang angka di tiap pertandingan. Pasalnya, bisa jadi pertandingan malah
tak berlanjut ke partai kelima atau sudah tak lagi menentukan di partai kelima
karena Indonesia sudah kehilangan tiga partai sebelumnya.
Satu hal yang mungkin bisa dicoba Indonesia nantinya adalah
dengan turut memainkan pemain nomor ganda campuran di nomor ganda putri. Semisal
Liliyana Natsir bermain di nomor ganda campuran dan ganda putri, maka otomatis
nomor ganda campuran akan dimainkan di partai pertama kemudian berurutan nomor
tunggal putra, nomor tunggal putri, dan nomor ganda putri.
Dengan demikian, maka harapannya adalah nomor ganda campuran
bisa selalu berhasil memberikan poin pembuka bagi Indonesia dan membakar
semangat para pemain lainnya yang akan turun setelah itu. Bagaimanapun,
turnamen beregu berbeda dengan perorangan dimana tekanan partai sebelumnya akan
berada pada pundak pemain yang tampil setelahnya.
Tetapi strategi ini sendiri mengandung resiko mengingat itu
berarti sang pemain putri dari nomor ganda campuran akan bermain di dua partai
dan bila pertarungan berlanjut ke partai kelima, maka otomatis kondisi pemain
putri ganda campuran tersebut tak seratus persen bugar. Bagaimanapun, setiap
strategi pastilah memiliki keuntungan dan kerugian di dalamnya.
Namun semua itu hanyalah perumpaan di atas kertas. Nomor ganda
campuran, ganda putra, dan tunggal putra tak boleh merasa terbebani sementara
nomor tunggal putri dan ganda putri pun tak boleh lantas menjadi kehilangan
kepercayaan diri. Lakukan yang terbaik karena siapa tahu memang Piala Sudirman
sudah menanti untuk dijemput pulang.
-Putra Permata Tegar Idaman-