Kamis, 27 Desember 2012 posisi Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan tak
terdeteksi di halaman awal peringkat ganda putra di situs resmi
Badminton World Federation (BWF). Lanjut ke halaman kedua, nama mereka
pun belum ada, pun begitu ketika halaman selanjutnya ditelusuri. Nama
mereka baru ada di halaman keempat, yang memuat para pemain dengan
peringkat 76-100 dunia, tepatnya di peringkat 78 dunia.
Ketika itu, Ahsan/Hendra yang baru dipasangkan usai Olimpiade London
2012 ini belum menunjukkan perkembangan permainan yang signifikan. Satu
kali semifinal (Denmark Super Series Premier), satu kali babak 16 besar
(Prancis Super Series), dan satu kali perempat final (Hong Kong Super
Series) adalah hasil yang dicatat Ahsan/Hendra dalam tiga turnamen yang
mereka ikuti di sisa tahun 2012. Karena itu wajar banyak yang menganggap
kiprah Ahsan/Hendra hanyalah berupa gelombang kecil di lautan yang tak
akan menggemparkan dunia.
Status Ahsan/Hendra sebagai gelombang kecil di lautan pun terus
berlanjut di semester awal tahun 2013 meski mereka memenangi Malaysia
Super Series 2013. Penyebabnya tak lain karena mereka tak mampu menjadi
juara di All England dan malah tak tampil berpasangan di Piala Sudirman
2013 karena Ahsan mengalami cedera.
Kiprah kehebatan mereka baru terasa di semester kedua tahun 2013.
Dimulai dengan menjuarai Indonesia Super Series Premier 2013 di debut
turnamen mereka pasca cedera Ahsan, duet Ahsan/Hendra terus mengamuk dan
memenangi turnamen-turnamen lainnya mulai di Singapura Super Series,
Kejuaraan Dunia 2013, dan Jepang Super Series secara beruntun. Meski
setelah itu performa mereka agak menurun, namun tahun 2013 berhasil
mereka tutup dengan sempurna melalui titel juara BWF World Super Series
Finals 2013. Peringkat nomor satu dunia pun berhasil mereka genggam di
tahun ini. Ahsan/Hendra yang masih berupa gelombang kecil pada akhir
tahun lalu kini sudah menjelma menjadi gelombang besar yang ditakuti
oleh banyak orang.
Lalu, apakah Ahsan/Hendra meraih kesuksesan ini dengan cara instan?
Jawabannya tentu tidak. Hendra memang pemain papan atas dunia dan Ahsan
sering disebut-sebut sebagai pemain penuh talenta namun mempersatukan
mereka bukanlah seperti matematika dimana menambahkan lima dengan lima
maka kita akan mendapatkan angka sepuluh. Masih banyak faktor-faktor
lainnya di balik kesuksesan mereka berdua sampai kombinasi mereka
menjelma menjadi angka sepuluh dan dinilai orang sebagai pasangan yang
sempurna.
Yang pertama Hendra. Jelas sulit baginya untuk menemukan motivasi
untuk berprestasi setelah ia meraih hampir semua gelar bergengsi yang
ada di dunia bulu tangkis bersama Markis Kido mulai dari berbagai
turnamen super series hingga titel juara dunia, dan meraih medali emas
mulai dari level SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade.
Saat awal kembali ke pelatnas pasca gagal lolos ke Olimpiade London
2012, kondisi fisik Hendra sendiri berada dalam kondisi yang tidak
bagus. Staminanya merosot dan bobot tubuhnya pun tidak ideal seperti
saat masa jayanya. Beruntung, Hendra tidak kehilangan motivasinya untuk
berprestasi dan itulah modal utama Hendra untuk membenahi semuanya.
Ia kembali berlatih lebih keras untuk mengembalikan fisik dan
staminanya. Ia berlatih keras untuk membuat ideal bobot tubuhnya. Ia
berlatih keras untuk kembali mempertajam tekniknya. Dan ia berusaha
keras untuk bisa berperan sebagai pembimbing Ahsan mengingat porsi
dirinya dalam duet Ahsan/Hendra adalah sebagai seorang senior, beda
dengan porsi sejajar yang dimilikinya saat berduet dengan Kido.
Ahsan sendiri pun melalui perjuangan yang tidak mudah. Ia hanya
berlabel sebagai pemain 10 besar saat berduet dengan Bona Septano tanpa
mampu menapak ke level yang lebih tinggi. Diputuskan berduet dengan
Hendra yang berlabel super star, jelas beban lebih besar ada di pundak
Ahsan.
Namun kembali motivasi untuk berprestasi menjadi modal utama Ahsan
untuk mengatasi semua rintangan yang ada. Ahsan berlatih keras untuk
bisa menjadi partner yang pas untuk Hendra. Ahsan berlatih keras untuk
mempertajam smes andalan miliknya. Dan yang paling penting Ahsan
berusaha keras untuk menguatkan mental dan bisa tampil percaya diri saat
berada di sisi lapangan yang sama dengan Hendra.
Kini, di akhir tahun 2013 mereka telah mereguk hasil kerja keras
mereka. Status sebagai ganda putra terhebat di dunia plus puja-puji dari
seluruh negeri mereka dapatkan lewat perjuangan yang panjang meskipun
hanya memakan waktu yang singkat. Tugas mereka setelah ini adalah
menegaskan bahwa mereka, Ahsan/Hendra, adalah gelombang besar yang
berbahaya dalam waktu lama, bukan gelombang besar yang muncul karena
momentum sesaat lalu kemudian reda.
-Putra Permata Tegar Idaman-
Rabu, 18 Desember 2013
Rematch Atau Gantung Sarung Tinju, Chris John?
Dalam beberapa pertempuran yang sudah dilewati, Sang Naga mampu
bertahan dari serbuan para samurai dari Jepang sekaligus menaklukkan
mereka. Selain itu, Sang Naga juga sukses bertahan dari gempuran
ksatria-ksatria dari dataran Amerika dan mengalahkannya. Namun ternyata,
Sang Naga itu akhirnya takluk di hadapan Simpiwe Vetyeka, seorang
pejuang tangguh dari Afrika Selatan.
Chris ‘The Dragon’ John bagaimanapun telah mengharumkan nama Indonesia di kancah tinju dunia. Lewat dirinya yang berstatus sebagai super champion kelas bulu WBA, nama Indonesia bisa terus mengemuka di dunia dalam satu dasawarsa terakhir. Namun sebagaimana layaknya manusia biasa, Chris John pun memiliki batas dalam dirinya.
Saat naik ring melawan Vetyeka akhir pekan lalu, usia Chris John sudah ada di angka 34 tahun, usia yang tentunya sudah tidak muda lagi untuk ukuran seorang petinju. Dengan demikian, jelas gerakan tubuh, power pukulan, dan lain sebagainya dalam diri Chris John berbeda jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dimana ia berusia lebih muda. Lewat pertarungan yang berjalan hingga enam ronde, akhirnya Chris John pun bertekuk lutut di hadapan Vetyeka. Sebuah kekalahan pertama yang dialami Chris John dalam karirnya sebagai seorang petinju.
Yang menarik usai kekalahan Chris John ini sendiri adalah bagaimana Chris John mengambil keputusan setelah ini. Apa yang akan dilakukan Chris John terhadap karir bertinjunya? Apakah ia akan tetap berdiri di atas ring sebagai seorang petinju ? Atau meninggalkan arena tinju yang telah membuatnya dikenal dunia seperti sekarang?
Berbicara ke belakang, niatan Chris John untuk mundur dari dunia tinju sepertinya sudah mulai mengudara sejak dua tahun belakangan. Dalam konferensi pers melawan Shoji Kimura setahun yang lalu, Chris John menyebut bahwa durasi karirnya di ring tinju hanya berkisar lima pertandingan lagi. Ucapan itu pun kemudian dihubungkan dengan rekor milik Eusebio Pedroza yang mampu mempertahankan gelar juara dunia kelas bulu WBA dalam 19 pertarungan. Padahal ketika itu, sang istri Anna Maria Megawati pun sempat meminta Chris John untuk mundur dengan alasan sudah terlalu lama Chris John berkarir sebagai seorang petinju.
Andai menang melawan Vetyeka kemarin, Chris John sendiri sukses menyamai rekor Pedroza dengan 19 kali pertandingan mempertahankan gelar. Dengan demikian maka Chris John tinggal butuh satu kemenangan lagi untuk berdiri sendirian sebagai pemegang rekor itu. Namun nasib berkata lain. Perjuangan Chris John harus terhenti di angka 18 dan harus menerima nasib berada di bawah Pedroza untuk rekor yang satu ini.
Nah, jika Chris John ingin tetap kembali bertinju, rasanya satu-satunya kemungkinan yang masuk di akal adalah dengan mengadakan rematch melawan Vetyeka. Terlalu lama bagi Chris John jika dirinya harus menjalani pertarungan-pertarungan lainnya dalam sisa karirnya. Karena memang Chris John sudah membuktikan diri sebagai petinju hebat dan satu-satunya urusan yang belum selesai baginya adalah urusan dengan Vetyeka yang mengalahkannya kemarin.
Namun untuk rematch sendiri, Chris John tidak mesti buru-buru dan gegabah mengambil keputusan. Ia harus menilai benar apakah kekalahan kemarin itu terjadi karena persiapan yang kurang bagus ? Apakah kekalahan itu terjadi karena kondisinya kurang bagus di atas ring? Apakah kekalahan tersebut terjadi karena ada sebab lain yang tak biasa ia alami dalam sebuah pertandingan?
Tetapi jika ia sudah berlatih keras dan menjalani masa persiapan dengan sangat baik dan performanya di atas ring kemarin adalah level terbaiknya sebagai seorang petinju, maka keputusan untuk melakukan rematch perlu dipikirkan lagi. Karena jika ia kemarin sudah benar-benar mengeluarkan 100 persen kemampuan yang ia miliki, maka butuh usaha keras dan luar biasa bagi Chris John untuk mempersiapkan diri jika ia benar-benar ingin melakukan rematch. Istilah kata, jika kemarin persiapan Chris John sudah 100 persen dan ia kalah, maka persiapan untuk rematch harus 200 persen untuk bisa tampil lebih bagus di rematch nanti.
Dan kalaupun akhirnya Chris John memilih untuk gantung sarung tinju setelah ini, maka keputusan itu tetap layak untuk diapresiasi. Satu kekalahan di akhir karir tidak akan merusak citra diri Chris John sebagai petinju terhebat sepanjang sejarah tinju Indonesia sejauh ini. Ia mampu menjadi juara dunia kelas bulu WBA dalam kurun waktu 10 tahun dan dianugerahi gelar super champion. Namanya akan abadi dalam sejarah dunia tinju Indonesia bersama rekaman-rekaman kehebatannya di atas ring dan rekor-rekor miliknya.
-Putra Permata Tegar Idaman-
Chris ‘The Dragon’ John bagaimanapun telah mengharumkan nama Indonesia di kancah tinju dunia. Lewat dirinya yang berstatus sebagai super champion kelas bulu WBA, nama Indonesia bisa terus mengemuka di dunia dalam satu dasawarsa terakhir. Namun sebagaimana layaknya manusia biasa, Chris John pun memiliki batas dalam dirinya.
Saat naik ring melawan Vetyeka akhir pekan lalu, usia Chris John sudah ada di angka 34 tahun, usia yang tentunya sudah tidak muda lagi untuk ukuran seorang petinju. Dengan demikian, jelas gerakan tubuh, power pukulan, dan lain sebagainya dalam diri Chris John berbeda jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dimana ia berusia lebih muda. Lewat pertarungan yang berjalan hingga enam ronde, akhirnya Chris John pun bertekuk lutut di hadapan Vetyeka. Sebuah kekalahan pertama yang dialami Chris John dalam karirnya sebagai seorang petinju.
Yang menarik usai kekalahan Chris John ini sendiri adalah bagaimana Chris John mengambil keputusan setelah ini. Apa yang akan dilakukan Chris John terhadap karir bertinjunya? Apakah ia akan tetap berdiri di atas ring sebagai seorang petinju ? Atau meninggalkan arena tinju yang telah membuatnya dikenal dunia seperti sekarang?
Berbicara ke belakang, niatan Chris John untuk mundur dari dunia tinju sepertinya sudah mulai mengudara sejak dua tahun belakangan. Dalam konferensi pers melawan Shoji Kimura setahun yang lalu, Chris John menyebut bahwa durasi karirnya di ring tinju hanya berkisar lima pertandingan lagi. Ucapan itu pun kemudian dihubungkan dengan rekor milik Eusebio Pedroza yang mampu mempertahankan gelar juara dunia kelas bulu WBA dalam 19 pertarungan. Padahal ketika itu, sang istri Anna Maria Megawati pun sempat meminta Chris John untuk mundur dengan alasan sudah terlalu lama Chris John berkarir sebagai seorang petinju.
Andai menang melawan Vetyeka kemarin, Chris John sendiri sukses menyamai rekor Pedroza dengan 19 kali pertandingan mempertahankan gelar. Dengan demikian maka Chris John tinggal butuh satu kemenangan lagi untuk berdiri sendirian sebagai pemegang rekor itu. Namun nasib berkata lain. Perjuangan Chris John harus terhenti di angka 18 dan harus menerima nasib berada di bawah Pedroza untuk rekor yang satu ini.
Nah, jika Chris John ingin tetap kembali bertinju, rasanya satu-satunya kemungkinan yang masuk di akal adalah dengan mengadakan rematch melawan Vetyeka. Terlalu lama bagi Chris John jika dirinya harus menjalani pertarungan-pertarungan lainnya dalam sisa karirnya. Karena memang Chris John sudah membuktikan diri sebagai petinju hebat dan satu-satunya urusan yang belum selesai baginya adalah urusan dengan Vetyeka yang mengalahkannya kemarin.
Namun untuk rematch sendiri, Chris John tidak mesti buru-buru dan gegabah mengambil keputusan. Ia harus menilai benar apakah kekalahan kemarin itu terjadi karena persiapan yang kurang bagus ? Apakah kekalahan itu terjadi karena kondisinya kurang bagus di atas ring? Apakah kekalahan tersebut terjadi karena ada sebab lain yang tak biasa ia alami dalam sebuah pertandingan?
Tetapi jika ia sudah berlatih keras dan menjalani masa persiapan dengan sangat baik dan performanya di atas ring kemarin adalah level terbaiknya sebagai seorang petinju, maka keputusan untuk melakukan rematch perlu dipikirkan lagi. Karena jika ia kemarin sudah benar-benar mengeluarkan 100 persen kemampuan yang ia miliki, maka butuh usaha keras dan luar biasa bagi Chris John untuk mempersiapkan diri jika ia benar-benar ingin melakukan rematch. Istilah kata, jika kemarin persiapan Chris John sudah 100 persen dan ia kalah, maka persiapan untuk rematch harus 200 persen untuk bisa tampil lebih bagus di rematch nanti.
Dan kalaupun akhirnya Chris John memilih untuk gantung sarung tinju setelah ini, maka keputusan itu tetap layak untuk diapresiasi. Satu kekalahan di akhir karir tidak akan merusak citra diri Chris John sebagai petinju terhebat sepanjang sejarah tinju Indonesia sejauh ini. Ia mampu menjadi juara dunia kelas bulu WBA dalam kurun waktu 10 tahun dan dianugerahi gelar super champion. Namanya akan abadi dalam sejarah dunia tinju Indonesia bersama rekaman-rekaman kehebatannya di atas ring dan rekor-rekor miliknya.
-Putra Permata Tegar Idaman-
Selasa, 26 November 2013
Rio de Janeiro 2016, Waktu yang Panjang dan Waktu yang Singkat
Seri turnamen super series/super series premier BWF 2013 telah berakhir. Sebuah kesimpulan pun
bisa dengan mudah diambil, Indonesia benar-benar mengandalkan Mohammad
Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir untuk urusan meraih
gelar. Di luar nama itu, masih belum ada nama yang benar-benar menggigit dan
tampil sebagai andalan. Jika berbicara jauh ke Olimpiade Rio de Janeiro 2016,
maka Indonesia pun menghadapi dilema dan pertanyaan, mampukah Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana
bertahan sampai kesana? Atau mampukah pemain lainnya berdiri sejajar dengan
mereka dan dijadikan andalan meraih titel juara?
Tahun 2013 ini adalah tahun titik tolak Ahsan/Hendra setelah
mereka dipasangkan pada bulan September 2012. Mereka meraih empat gelar juara
plus titel juara dunia. Peringkat nomor satu dunia pun sukses digenggam oleh
mereka.
Tontowi/Liliyana pun sukses membuat tahun 2013 sebagai tahun
kebangkitan usai mereka gagal di Olimpiade London 2012 lalu. Mereka meraih
empat gelar super series termasuk titel All England plus gelar juara dunia. Lalu
mampukah kedua pasangan ini bertahan dalam persaingan papan atas dan tetap
menjadi andalan hingga 2016 mendatang? Yang pasti, Indonesia tentunya tak mau tragedi
tanpa medali emas atau bahkan tanpa medali yang menimpa tim bulu tangkis
Indonesia di Olimpiade London 2012 kembali terulang di Rio de Janeiro nanti.
Pada tahun 2016 mendatang, Hendra sudah berusia 32 tahun
sedangkan Ahsan 29 tahun. Untuk Liliyana, dirinya akan berusia 31 tahun
sedangkan Tontowi menginjak angka 29 tahun. Jelas, bukan lagi sebuah umur yang
muda bagi seorang atlet. Secara fisik, mereka pasti mengalami penurunan
meskipun sejauh mana penurunan itu tetap tergantung bagaimana mereka mampu
menjaga kondisi mereka. Namun di samping itu, ada pula faktor konsentrasi dan
kejenuhan secara pikiran dan fokus. Bertahun-tahun diandalkan dalam tiap
turnamen besar, hal itu tentu bukan masalah yang mudah bagi Ahsan/Hendra dan
Tontowi/Liliyana. Terlebih bagi Hendra dan Liliyana yang sudah menjadi andalan
dalam satu dekade terakhir.
Bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sendiri, waktu kurang
dari tiga tahun ke depan menuju Olimpiade Rio de Janeiro 2016 jelas merupakan
waktu yang panjang. Sebelum diplot sebagai andalan untuk Olimpiade, mereka
sudah harus terus-menerus dibebani sebagai andalan di ajang-ajang besar.
Contohnya saja untuk tahun 2014, Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sudah pasti
akan dibebankan target menjadi juara untuk All England, Kejuaraan Dunia, dan
juga Asian Games. Konsistensi dua ganda ini akan terus mendapatkan tantangan.
2014 ini juga mungkin bisa jadi semacam tahun ujian bagi
Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Jika mereka masih mampu menyelesaikan beban
target itu dengan baik, maka status Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana di akhir
2014 nanti masih layak dibebankan sebagai andalan untuk meraih medali emas di
Olimpiade 2016. Meskipun, setelah itu kembali masih ada 1,5 tahun tersisa bagi
mereka untuk mempertahankan konsistensi dan kembali diuji oleh pertanyaan yang
sama hingga beberapa bulan jelang Olimpiade nanti.
Cara terbaik yang diinginkan Indonesia untuk mengatasi
solusi ini jelas berharap PBSI bisa secepatnya menemukan andalan baru yang bisa
selevel dengan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Jika itu terwujud, maka
peluru emas yang dimiliki Indonesia akan lebih banyak. Dengan demikian, maka
otomatis secara psikologis beban Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana juga
berkurang.
Namun melihat fakta yang tersaji tahun ini, jelas belum ada
pemain lainnya yang benar-benar bisa jadi andalan. Sebagai gambaran saja, di
luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, hanya Tommy Sugiarto, Sony Dwi Kuncoro,
Pia Zebadiah/Rizki Amelia Pradipta, dan Markis Kido/Pia Zebadiah yang lolos ke
BWF Super Series Finals tahun ini. Kualifikasi menuju BWF Final Super Series sendiri
dilihat dari performa para pemain di turnamen super series/super series premier
tahun ini, sehingga pemain yang tidak lolos jelas bisa disimpulkan bahwa
dirinya belum bermain baik tahun ini. Fakta bahwa Pia/Rizki dan Kido/Pia
bukanlah anggota pelatnas plus Sony adalah pemain yang tergolong sudah veteran,
maka hanya Tommy yang benar-benar bisa dibilang sebagai perwakilan dari
generasi muda yang ada di pelatnas.
Bagi para pemain dari generasi masa depan, yaitu Tommy dan
kawan-kawan di pelatnas, waktu tiga tahun kurang ke depan adalah waktu yang
sangat singkat. Mereka dituntut untuk bisa terus meningkatkan prestasi di waktu
yang ada. Jika turnamen super series saja sulit untuk mereka menangi, maka
jelas jalan berat menuju Olimpiade bagi mereka akan menanti. Jika mereka gagal
masuk papan atas di 1-2 tahun mendatang, maka sulit berharap nantinya di
Olimpiade mereka bisa jadi andalan. Pembuktian diri harus terus menerus mereka
lakukan agar mereka bisa jadi tumpuan harapan.
Sekali lagi, bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, waktu
menuju Olimpiade Rio de Janeiro masihlah sangat panjang. Sementara bagi Tommy
dan kawan-kawan, mereka terus diburu waktu yang berlari begitu cepat.
-Putra Permata Tegar Idaman-
Senin, 25 November 2013
Semakin Ramping, Semakin Diperhatikan
Bayangkan jika dua mata yang kita miliki ini melihat
sekumpulan semut yang terbagi dalam lima kelompok. Jelas sulit bagi kita untuk
melihat detil gerakan satu persatu dari para semut itu. Mungkin ada beberapa
semut yang tampak menonjol di mata kita karena ia bertubuh besar atau
perangainya paling aneh. Namun yang pasti tidak akan mungkin dua mata ini bisa
mengawasi seluruh gerakan semut-semut yang ada. Jika jumlah semut itu
berkurang, maka jangkauan pengawasan kita pastinya akan bertambah.
Gambaran itu mungkin sama halnya dengan jika masyarakat
pecinta bulu tangkis melihat kondisi pelatnas bulu tangkis saat ini. Jika ditanya,
nomor mana yang saat ini tengah terpuruk di Indonesia, maka jawabannya otomatis
akan mengarah ke nomor tunggal putri di urutan pertama, ganda putri di urutan
kedua, dan tunggal putra di urutan ketiga. Nomor ganda putra dan ganda campuran
seolah berada di zona nyaman karena dianggap sudah memberikan bukti prestasi.
Nomor tunggal putri menjadi nomor yang disebut paling
terpuruk karena di zaman dulu Indonesia memiliki sosok sehebat Susi Susanti
ataupun Mia Audina. Di era 2000-an pun Indonesia memiliki Maria Kristin yang
sempat menimbulkan secercah harapan sebelum akhirnya cedera berkepanjangan. Kini,
belum ada pebulu tangkis tunggal putri yang bisa jadi andalan dan bersaing di
level elit dunia bulu tangkis.
Nomor ganda putri menerima perlakuan sedikit lebih baik dari
masyarakat pecinta bulu tangkis karena secara tradisi Indonesia tidaklah
terlalu kuat di nomor ini. Jadi, ada sedikit rasa maklum yang menemani
perjalanan nomor ganda putri meskipun saat ini torehan prestasi mereka juga
jauh menurun dibandingkan generasi-generasi sebelumnya yang setidaknya bisa
meramaikan persaingan di papan atas.
Untuk nomor tunggal putra, meski saat ini sejumlah nama ada
di papan atas, namun jika dibandingkan dengan torehan di dekade sebelumnya,
maka jelas mereka pun mengalami kemunduran. Pasalnya belum ada pemain yang
mampu menjadi ujung tombak dan andalan dalam meraih titel demi titel di setiap
turnamen besar seperti lazimnya para tunggal putra Indonesia di dekade-dekade
sebelumnya.
Lalu bagaimana dengan nomor ganda putra dan ganda campuran?
Apakah mereka telah menunjukkan konsistensi prestasi dan terhindar dari kata
kemunduran? Sejatinya tidak 100 persen benar karena dua nomor itu hanya
mengandalkan satu nama saja untuk urusan prestasi di level elit. Mohammad
Ahsan/Hendra Setiawan untuk nomor ganda putra dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir
di nomor ganda campuran. Jika dua nama itu dikesampingkan, maka belum ada yang
benar-benar bisa jadi andalan dan siap memikul beban sebagai andalan dan
menjadi juara.
Jadi secara umum, pemain lain di nomor ganda putra dan ganda
campuran sejauh ini bernasib lebih baik dibandingkan tiga nomor lainnya karena
mereka terlindungi oleh pamor Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Selama dua
orang tersebut menjadi juara, maka dua nomor itu terus dianggap berhasil dan
mempertahankan status sebagai nomor andalan.
Lalu apa kaitannya dengan wacana PBSI merampingkan skuat
pelatnas pada tahun depan? Mungkin banyak yang bertanya-tanya tentang kebijakan
ini karena di satu sisi sebenarnya PBSI tidak mengalami masalah sama sekali
terkait pendanaan pemain dengan jumlah yang ada saat ini, yaitu 83 orang. Pun
begitu halnya dengan fasilitas seperti lapangan dan kamar asrama. Semuanya
masih bisa dipenuhi oleh PBSI.
Memang ada hal yang menarik dari wacana perampingan skuat
pelatnas PBSI dari 83 orang menjadi kisaran 50-an. Jika dikalkulasikan dengan
proses promosi, maka mungkin akan ada 40-50% nama yang hilang dari skuat
pelatnas tahun ini. Sebuah jumlah yang besar dan tentunya sangat signifikan.
Namun melihat bagaimana proyeksi dan bayangan skuat pelatnas di tahun depan,
maka alasan dari PBSI akan muncul ke permukaan.
Dalam proyeksi yang ada, PBSI menyebut akan ada 5 pemain
untuk nomor tunggal baik putra dan putri dan 4 pasang untuk ganda baik putra
dan putri yang kesemuanya itu merupakan pemain untuk proyeksi Thomas-Uber tahun
depan. Ditambah tiga pasang untuk nomor ganda campuran, maka dengan demikian
sudah ada 32 pemain yang terdaftar. Sisa slot setelah itu nantinya
diperuntukkan bagi pemain potensial maupun junior.
Dengan asumsi seperti itu, PBSI sepertinya tidak ingin
memberikan ruang yang lebih besar bagi para pemain di dalamnya. Mereka ingin
pemain yang ada di dalamnya benar-benar menajamkan persaingan di antara sesama
sehingga tak ada kata ‘nyaman’ dalam status mereka sebagai pemain pelatnas.
Mereka harus bisa terus masuk proyeksi tim untuk target-target besar jika tak
ingin ke depannya posisi mereka digusur oleh pemain lainnya yang berusia lebih
muda. Pemain muda pun harus terus memenuhi target antara sampai mereka dirasa
matang untuk dibebani target besar.
Jumlah pemain yang lebih sedikit ini sendiri membuat atensi
kepada tiap pemain menjadi lebih besar dibandingkan sebelumnya. Setiap
gerak-gerik para pemain dari turnamen ke turnamen akan lebih dipantau dan
diperhatikan. Dengan demikian pemain sendiri pastinya menyadari butuh usaha
lebih keras dari biasanya untuk bisa bertahan di pelatnas Cipayung. Ketika mereka
lengah, bukan tak mungkin tahun depan status pemain pelatnas bukan milik mereka
lagi.
-Putra Permata Tegar Idaman-
Senin, 04 November 2013
Gak Jatuh, Gak Belajar
Tim Junior Indonesia menapaki jalan yang berbeda dalam
kiprah mereka di Kejuaraan Dunia Junior 2013 dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Di nomor perorangan, mereka tak meraih medali emas sekaligus gagal
mengulangi prestasi dua tahun terakhir. Namun untuk nomor beregu Indonesia
sukses menjadi runner up, torehan tertinggi sepanjang sejarah keikutsertaan
Indonesia di ajang ini.
Kegagalan atau keberhasilan di level junior memang harus
disikapi hati-hati oleh Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia
(PP PBSI). Jangan sampai kegagalan di level junior yang merupakan indikasi
peringatan dini diabaikan begitu saja oleh mereka, namun jangan sampai pula
kesuksesan di level junior dianggap garansi bahwa mereka juga nantinya akan
berprestasi saat beranjak dewasa.
Melihat sejarah panjang Kejuaraan Dunia Junior, Indonesia
memang sepertinya tak terlalu akrab dengan turnamen ini. Sejak edisi 1994,
Indonesia tak memiliki satu pun gelar juara dunia junior sampai akhirnya Alfian
Eko/Gloria Widjaja memutus catatan buruk itu pada tahun 2011. Tetapi toh
nyatanya Indonesia tetap mampu memiliki banyak pemain hebat seperti Taufik
Hidayat, Sony Dwi Kuncoro, Candra Wijaya, Tony Gunawan, Nova Widianto, Markis
Kido, Hendra Setiawan, Liliyana Natsir, Maria Kristin, dan lain sebagainya pada
periode 1994-2011. Nama-nama di atas bahkan mampu memberikan medali di
Olimpiade meski tidak berstatus juara dunia junior.
Namun tidak lantas PP PBSI dan Indonesia bisa tenang-tenang
saja melihat nihil gelar yang didapat Indonesia di turnamen tahun ini. Bagaimanapun,
tim junior adalah pondasi tim Indonesia di masa depan, jadi pondasi harus
dipersiapkan dengan baik. Semakin bagus pondasi sebuah bangunan, maka
kemungkinan bangunan itu akan solid di masa depan akan semakin terbuka. Sama halnya
dengan tim junior, semakin bagus bibit dan kemampuan mereka di level junior,
maka peluang untuk memiliki bintang di masa depan tentu akan terbuka lebih
lebar.
Untuk persiapan Tim Junior tahun ini sendiri berlangsung
secara intensif selama tiga bulan pasca penampilan di Kejuaraan Asia Junior
pertengahan tahun 2013 ini. Ke depannya, persiapan harus dilakukan lebih
optimal terutama tentang rencana pelatnas usia dini sebagai bagian dari program
jangka panjang PBSI. Nantinya program pelatnas usia dini sendiri bisa
bersinergi dengan persiapan ke tiap ajang junior karena pemain sudah berkumpul
di pelatnas sepanjang tahun dan persiapan bisa dilakukan secara kontinyu dan
berkesinambungan.
Soal keberhasilan tim Indonesia menjadi runner up di nomor
beregu untuk pertama kalinya pun tidak lantas harus dibesar-besarkan sebagai
jaminan bahwa Indonesia akan memiliki komposisi tim yang bagus untuk nomor
beregu di masa depan. Apresiasi patut diberikan pada perjuangan mereka, namun
jangan sampai apresiasi tersebut melenakkan. Karena biar bagaimanapun hitungan
real atau hitungan nyata prestasi seorang atlet adalah ketika ia sudah masuk ke
ranah senior, bukan pada saat ia masih junior.
Fase dari junior menuju senior itulah yang kemudian menjadi
fase krusial dimana perkembangan seorang pemain mutlak harus mendapat perhatian
ekstra. Bisa saja dia yang saat junior menjadi juara, justru kemudian melempem
saat naik tingkat ke fase senior. Atau bisa juga, seorang pemain yang hanya
berstatus semifinalis saat junior malah bisa mendominasi saat beranjak senior.
Banyak faktor yang memengaruhi perubahan itu dan tidak
selamanya mereka yang junior berada di atas akan selalu ada di atas. Faktor
motivasi atlet menjadi faktor internal yang berpengaruh terhadap
perkembangannya. Jika ia tak mudah berpuas diri, maka ia akan bisa terus
berkembang sebagai seorang atlet. Yang kedua jelas perkembangan mental dan
kepercayaan diri yang juga harus mutlak diasah sebagai bagian dari faktor internal
yang harus terus diperbaiki.
Dari faktor eksternal, ada beberapa faktor yang bisa
memengaruhi seperti lingkungan tempat berlatih dalam hal ini untuk Indonesia
berarti pelatnas Cipayung. Yang kedua adalah faktor pesaing dimana setelah
masuk fase senior itu berarti sang pemain akan menghadapi persaingan terbuka,
dimana pemain yang sudah lebih dulu malang-melintang di dunia bulu tangkis
sebelum mereka bisa saja menjadi lawan mereka di seberang net nantinya. Selain faktor-faktor
di atas, faktor cedera pun bisa menjadi momok menakutkan karena bagaimanapun
hebatnya bakat seorang atlet semua akan sia-sia jika ia terkendala cedera
berkepanjangan.
Kegagalan di level junior tak perlu disikapi berlebihan. Karena
seperti anak kecil yang belajar naik sepeda, maka wajar jika jatuh pada
awalnya. Yang terpenting adalah memastikan bahwa mereka ada di arah yang benar.
Bahwa jatuh-nya mereka kali ini adalah bagian dari proses menuju kejayaan
mereka nanti.
Keberhasilan di level junior pun tak perlu disikapi
berlebihan. Karena seperti anak kecil yang belajar naik sepeda, maka
keberhasilan mereka mengayuh sepeda di kali pertama, belum menjamin mereka tak
akan jatuh di beberapa langkah ke depannya nanti.
Terima kasih atas
perjuangannya di Bangkok Para Pemain Junior Indonesia, dan teruslah berjuang
karena karir kalian masih panjang membentang!
-Putra Permata Tegar Idaman-
Senin, 09 September 2013
Saat Olahraga Tak Lagi Jadi yang Utama
99 tahun lalu, perang dunia pertama meletus. Tiap-tiap Negara saling unjuk kekuatan dan kehebatan dan merasa lebih superior dibandingkan Negara lainnya. Negara yang kalah terpaksa menyerah dan harus tunduk pada sang pemenang. Mereka pun tak berdaya dalam kekangan sang penguasa. Saat ini, dunia sudah memasuki masa damai, namun sejatinya ‘perang’ itu masih ada dan berpindah ke arena olahraga. Sayangnya, saat ini Indonesia seolah ketinggalan dan tak mau ikut serta.
Sejak United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri pada 24 Oktober 1945, maka bisa dikatakan perang antar negara lewat konfrontasi strategi dan senjata resmi berakhir. Dunia sudah cukup prihatin dengan meletusnya dua perang dunia yang mengakibatkan korban meninggal dunia plus luka-luka lebih dari 100 juta jiwa. Negara-negara baik itu blok barat maupun timur sadar bahwa perang dunia ketiga di masa depan bisa jadi akan benar-benar menghancurkan dunia.
Namun, persaingan gengsi antar tiap negara tidaklah resmi berakhir. Suatu negara masih ingin dipandang superior dibandingkan negara lainnya. Dan kesempatan untuk bisa mewujudkan hal tersebut, bisa tercipta di arena olahraga, dimana persaingan antar bangsa masih terjadi dan menjadi perhatian seluruh dunia.
Mulai dari single event seperti FIFA World Cup, Kejuaraan Dunia Atletik dan cabang lainnya, Piala Thomas/Uber, hingga ajang multi event seperti Olimpiade, Asian Games, dan SEA Games, tiap negara yang terjun di dalamnya punya kesempatan untuk menegaskan status bahwa mereka lebih hebat dari negara lainnya yang ada di turnamen atau kejuaraan tersebut.
Itulah mengapa Amerika Serikat pun menaruh fokus penuh pada olahraga dan itu terlihat di Olimpiade. Mereka yang menyebut diri mereka sebagai ‘Super Power’ tentu juga ingin terlihat super di arena olahraga. Alhasil, mereka sangat dominan di Olimpiade dan sering keluar sebagai juara umum. Cina yang sering disebut kekuatan baru di dunia pun juga memanfaatkan arena olahraga sebagai tempat mereka unjuk kekuatan. Status juara umum Olimpiade Beijing 2008 pun sudah cukup bagi seluruh dunia untuk tak lagi meremehkan Cina sebagai sebuah bangsa.
Bagaimana olahraga bisa mengangkat harkat suatu bangsa juga bisa dilihat dari banyak contoh. Jamaika dan atletik misalnya. Dulu, mungkin Jamaika hanya dikenal lewat Bob Marley, namun kehadiran Usain Bolt yang fenomenal benar-benar membuat dunia kini menaruh respek pada Jamaika sebagai salah satu negara hebat di dunia.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Pada awalnya, Indonesia paham benar bahwa olahraga adalah salah satu jalan pintas untuk membawa harum nama bangsa ini ke pentas dunia. Hal itulah yang diyakini oleh Indonesia saat melakukan bidding sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Komplek Gelora Bung Karno pun dibangun untuk mengakomodasi hal itu. Presiden Soekarno pun mendukung penuh rencana dan acara tersebut.
Di ajang SEA Games, Indonesia pun selalu jadi raja pada awalnya. Dari 1977-1997, Indonesia sembilan kali jadi juara umum dan hanya dua kali finis runner up, itu pun saat sang juara Thailand berstatus sebagai tuan rumah. Pemerintah dan pihak-pihak terkait saat itu benar-benar memberikan dukungan penuh kepada atlet-atlet Indonesia yang berlaga di berbagai arena.
Di olahraga perorangan, bulu tangkis menjadi tumpuan utama Indonesia untuk dikenal dunia. Sejak era 1960-an, nama berbagai pebulu tangkis mampu membuat dunia mengenal Indonesia sebagai kekuatan utama di dunia. Cabang olahraga angkat besi pun menyusul di era 2000-an dan bahkan jadi penyelamat saat bulu tangkis absen memberi medali di Olimpiade London 2012 lalu.
Bagaimana dengan kondisi terkini? Dalam beberapa tahun belakangan, bisa dibilang kondisi olahraga di Indonesia terbilang cukup miris. Persiapan mayoritas cabang olahraga menuju SEA Games 2013 menjadi bukti. Uang saku atlet yang telat ibarat sinetron yang hampir pasti jadwal tayangnya tiap minggu, beruntung hal itu tak membuat para atlet luntur semangatnya dalam melakukan persiapan. Minimnya anggaran yang dialokasikan untuk pembinaan olahraga di Indonesia juga menjadi sebab mengapa mayoritas Pengurus Besar (PB)/Pengurus Pusat (PP) tak memiliki dana yang cukup untuk memutar roda organisasi dan menjalankan pembinaan dengan baik sebagaimana seharusnya.
Pemerintah harus merespon keadaan ini. Untuk cabang olahraga yang populer dan berprestasi seperti bulu tangkis, PBSI mungkin sudah menemukan formula yang tepat untuk menghidupi diri sehingga mereka bisa memancing kedatangan sponsor. Namun untuk cabang olahraga lain yang berprestasi dan berpotensi namun kesulitan mendatangkan sponsor lantaran masalah popularitas di masyarakat, pemerintah tetap harus turun tangan untuk pendanaan.
Hal itu mutlak dilakukan karena jika dibiarkan, maka itu bakal menjadi efek domino ke depannya. Generasi muda akan mulai mencoret atlet sebagai pilihan profesi mereka di masa depan lantaran tak adanya kejelasan dan jaminan. Mungkin hanya cabang-cabang populer yang masih memiliki regenerasi sementara cabang olahraga lainnya akan semakin sulit mencari bibit.
Saat ini olahraga (sedang) tidak menjadi perhatian utama di Indonesia. Mungkin para penentu kebijakan itu lupa, bahwa hanya atlet dan kepala negara yang bisa mengibarkan Bendera Merah-Putih dan Lagu Indonesia Raya di luar Indonesia.
Selamat Hari Olahraga Nasional! Semoga hari ini tidak hanya sekadar sebuah hari peringatan saja, melainkan hari perenungan tiap insan olahraga di Indonesia.
-Putra Permata Tegar Idaman-
Rabu, 14 Agustus 2013
Angkat Topi untuk Ahsan dan Tontowi
Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2013 berakhir bahagia bagi Indonesia. Dua gelar juara setelah hampa gelar di tiga edisi Kejuaraan Dunia sebelumnya jelas sangat membahagiakan. Lebih menarik karena dua orang yang menjadi juara dunia pada 2007, tahun terakhir Indonesia merengkuh titel juara dunia, Hendra Setiawan dan Liliyana Natsir kembali menjadi juara dunia di tahun ini dengan pasangan yang berbeda. Hendra meraih juara dengan Mohammad Ahsan, Liliyana menjadi yang terbaik bersama Tontowi Ahmad.
Hendra dan Liliyana adalah pemain jenius dan itu tak perlu diragukan dan diperdebatkan. Sejak usia muda mereka sudah berprestasi dan itu mereka pertahankan hingga saat ini, saat dimana usia mereka sudah mulai memasuki fase usia tua sebagai seorang atlet. Yang ingin disorot dari tulisan ini adalah justru sosok Ahsan dan Tontowi, dua sosok yang harus berpasangan dengan Hendra dan Liliyana yang sudah meraih segalanya sebagai seorang pemain bulu tangkis.
Ahsan mulai berpasangan dengan Hendra selepas Olimpiade London 2012. Ahsan yang sebelumnya berpasangan dengan Bona Septano tengah mengalami kekecewaan yang cukup besar lantaran gagal menyumbangkan medali bagi Indonesia di Olimpiade London 2012. Tidak hanya soal Olimpiade saja, Ahsan sendiri juga sebelumnya hanya mampu menyandang status sebagai ganda 10 besar dan belum mampu naik level menjadi ganda papan atas.
Berpasangan dengan Hendra pun tidak lantas membuat Ahsan dengan mudah mencapai tangga teratas. Kondisi Hendra saat itu pun tidak dalam kondisi terbaik. Ia dan Markis Kido baru saja gagal lolos ke Olimpiade London 2012. Walaupun Hendra juga tengah terpuruk, nama besar Hendra sudah cukup untuk menjadi bayang-bayang besar di hadapan Ahsan.
Hendra adalah juara dunia, juara Olimpide, juara Asian Games, pebulu tangkis nomor satu dunia dengan sederet gelar saat berpasangan dengan Markis Kido. Sementara Ahsan ketika itu belum mampu menjuarai satu pun titel super series.
Dan benar saja, perjuangan Ahsan/Hendra untuk membuktikan kapasitas mereka melalui jalan yang terjal. Setelah sempat mencuri perhatian dengan meraih gelar di Malaysia Super Series di awal tahun dan masuk semifinal All England 2013, duet Ahsan/Hendra diadang badai cedera pinggang yang menimpa Ahsan. Cedera ini memaksa Ahsan tak tampil satu kalipun di gelaran Piala Sudirman bulan Mei.
Beruntung, dalam rasa derita lantaran tak bisa tampil akibat cedera, rasa lapar gelar juga menghinggapi dalam tubuh Ahsan/Hendra. Indonesia Terbuka, turnamen perdana Ahsan/Hendra setelah kembali langsung berhasil dimenangi oleh mereka. Kemenangan Ahsan/Hendra ini menyelamatkan muka Indonesia sebagai tuan rumah turnamen.
Meski sudah memenangi turnamen selevel ini, Ahsan sendiri seolah tetap merasa belum bisa berdiri sejajar dengan Hendra. Ini bisa dilihat di satu momen dimana Ahsan terlihat bereaksi cukup emosional saat Hendra ditanya perbandingan antara Ahsan dengan Kido. Ahsan masih belum nyaman dengan pertanyaan yang mengungkit perjalanan masa lalu Hendra yang bergelimang prestasi. Dan Ahsan tahu, hanya dengan prestasi tinggi maka ia bisa menghapus pertanyaan perbandingan siapa yang lebih baik menjadi pasangan Hendra yang keluar dari mulut para jurnalis.
Selepas Indonesia Terbuka itu sendiri, Ahsan/Hendra semakin mengkilap sebagai pasangan. Singapura Super Series kembali berhasil dipuncaki oleh mereka yang menjadi modal besar bagi mereka menuju Kejuaraan Dunia 2013.
Dibandingkan Ahsan, Tontowi bahkan sudah merasakan ‘penderitaan’ lebih dulu soal bagaimana beratnya berpasangan dengan pemain bintang. Saat mulai diduetkan dengan Liliyana, Liliyana adalah juara dunia dua kali, peraih medali perak Olimpiade Beijing 2008 pebulu tangkis nomor satu dunia yang memiliki banyak gelar saat berpasangan dengan Nova Widianto. Sementara saat itu Tontowi sendiri belumlah menjadi siapa-siapa dari segi prestasi.
Dasar jodoh, Tontowi/Liliyana langsung melejit dan menjadi tulang punggung utama Indonesia di tahun 2011-2012. Tapi hal ini tidak membuat Tontowi luput menjadi sasaran kesalahan ketika duet Tontowi/Liliyana mengalami kegagalan. Tontowi dianggap kadang masih demam panggung dalam pertandingan-pertandingan krusial dan tidak bisa mengimbangi kematangan Liliyana. Tidak hanya itu, Tontowi juga dianggap indisipliner dan dua hal itulah yang disinyalir menjadi dua diantara beberapa sebab kegagalan Tontowi/Liliyana memenuhi target meraih emas di Olimpiade London 2012.
Dikritik berbagai rupa dan bahkan sempat diperam di awal tahun 2013 dengan tidak dikirim ke Malaysia Super Series karena masalah indisipliner, Tontowi tidak melawan. Ia paham bahwa saat itu posisinya memang lemah dan apapun argumen yang dikelurkan, maka ia tetap dalam posisi yang salah. Ia baru benar ketika ia kembali berprestasi dan itulah yang telah ditekadkan Tontowi dalam hati.
Benar saja, selepas diperam Tontowi/Liliyana pun lapar gelar. All England, India Super Series, dan Singapura Super Series adalah tiga dari empat turnamen super series/premier yang dimenangi mereka. Hanya gelar Indonesia Terbuka saja yang lepas dari genggaman mereka.
Dengan performa apik sepanjang tahun 2013 berjalan dimana Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana menjadi peraih gelar super series terbanyak untuk masing-masing nomor, maka tak heran jika akhirnya mereka mampu meneruskan performa gemilang itu dan menjadi juara dunia.
Gelar juara dunia ini sudah cukup menjadi bukti bagi Ahsan dan Tontowi agar mereka tak lagi merasa minder berdiri berdampingan dengan Hendra dan Liliyana. Ahsan dan Tontowi sudah menjadi salah satu pemain terbaik di dekade ini dan jika mereka ingin meningkatkan status menjadi calon legenda, jelas mereka sudah paham benar apa yang harus dilakukan, yaitu dengan memenangi turnamen-turnamen besar di masa depan.
-Putra Permata Tegar Idaman-
Sabtu, 03 Agustus 2013
Banyak Pemburu, Banyak Medali
Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2013 telah ada di depan mata.
Sebagai negara besar, Indonesia sudah hampa gelar di tiga penyelenggaraan
terakhir dan jelas ini boleh jadi disebut sebagai bencana bagi Indonesia.
Dengan demikian tidak salah jika akhirnya Indonesia menjadikan Kejuaraan Dunia
kali ini sebagai salah satu target besar di tahun 2013.
Berbicara soal peluang mendapatkan titel juara, jelas di
atas kertas Indonesia kini memiliki dua jagoan andalan lewat nama Mohammad
Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Dua andalan memang
terlihat sedikit jika dibandingkan dengan gambaran peta kekuatan Indonesia di
dekade sebelumnya, tapi dua andalan sudah seolah jauh lebih baik jika
dihadapkan dengan perbandingan dua tahun terakhir dimana Tontowi/Liliyana
selalu disebut-sebut sebagai satu-satunya andalan.
Memang pastinya membanggakan bagi Tontowi/Liliyana ketika
nama mereka selalu diucapkan dan dielu-elukan sebagai andalan di setiap
kesempatan. Namun di atas lapangan, kadang hal itu malah menjadi beban.
Kegagalan Tontowi/Liliyana di Olimpiade London 2012 jelas salah satunya karena
mereka tak mampu keluar dari tekanan berat sebagai satu-satunya andalan yang
tersisa di ajang tersebut.
Karena itu kehadiran Ahsan/Hendra sungguh sangat melegakan
bagi Tontowi/Liliyana dan juga Indonesia. Kini beban untuk menyabet titel juara
setidaknya ada di pundak dua wakil ini yang tentunya menjadikan beban tersebut
berubah lebih ringan.
Terlebih, baik Ahsan/Hendra maupun Tontowi/Liliyana saat ini
dalam kondisi yang sangat baik. Keduanya sudah meraih tiga gelar super
series/premier tahun, terbanyak di nomornya masing-masing. Tontowi/Liliyana
jelas terbilang luar biasa konsisten tahun ini karena tiga gelar itu didapat
dari tiga turnamen yang ia ikuti tahun ini. Gambaran inilah yang kemudian
mengapungkan harapan akan berakhirnya dahaga gelar Indonesia yang sudah
berlangsung selama tiga edisi Kejuaraan Dunia ini.
Bicara soal beban, hal ini sendiri tidak lepas dari
karakteristik bulu tangkis di dunia saat ini. Meski turnamen Kejuaraan Dunia
ini bersifat individu, namun aroma persaingan antar-negara terasa kental. Hal
itu tak lepas dari sifat Asosiasi Tiap Negara yang tetap dominan dalam
pembinaan pemain. Hal ini berbeda misalnya dengan permainan raket lainnya yaitu
tenis dimana pemain lebih bersifat individualis dengan mayoritas menggunakan
biaya sendiri untuk mengikuti turnamen, meski saat juara para pemain tetap
mengharumkan nama negara tersebut. Sebagai contoh, di dunia tenis sendiri ajang
beregu seperti Piala Davis dan Piala Fed seolah menjadi turnamen yang tak terlalu
penting dan para pemainnya sering melewatkan panggilan dari Asosiasi Tenis
Negaranya dengan berbagai alasan.
Dengan latar belakang itulah akhirnya wajar jika pemain
terkadang terbebani di kondisi-kondisi tertentu dimana ia begitu diharapkan
bisa menjadi juara. Hal ini tidak hanya dialami pemain Indonesia melainkan juga
para pebulu tangkis dari negara lain. Lee Chong Wei jadi salah satu contohnya
dimana ia juga diberikan tumpuan sangat besar dari negaranya untuk bisa jadi
juara dunia dan juara Olimpiade yang sampai saat ini belum berhasil
diwujudkannya.
Lalu bagaimana mengatasi hal itu? Asosiasi Bulu Tangkis
dalam hal ini Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) harus bisa
mencetak banyak andalan. Jika diibaratkan, semakin banyak pemburu yang bisa
diandalkan, maka semakin besar peluang adanya medali di tangan.
Memiliki andalan di tiap nomor sudah merupakan kondisi ideal
yang bisa didapat oleh sebuah negara dan itu dialami Indonesia di tahun 1990-an
meskipun ketika itu nomor ganda putri posisinya agak sedikit di belakang empat
nomor lainnya.
Mau yang lebih hebat lagi? Jelas caranya adalah dengan
mencetak banyak andalan untuk tiap satu nomor. Nomor tunggal putra dan ganda
putra di era 1990-an pun pernah mencontohkan hal ini. Ketika itu di nomor
tunggal putra, adanya 4-6 pemain Indonesia di babak perempat final atau
terciptanya All Indonesian Semifinal bukanlah hal asing. Kondisi itu akhirnya
membuat para pemain bisa melupakan ‘beban mengharumkan negara’ karena mereka
sudah fokus untuk bersaing melawan para rekan sendiri dan jadi yang terhebat.
Kondisi nikmat itu juga dialami Cina di nomor tunggal putri 1-2
tahun lalu. Wang Yihan tidak perlu repot-repot menanggung beban mengharumkan
negara di tiap turnamen individu karena lawan-lawan yang dihadapinya di babak
akhir adalah rekan-rekannya sendiri seperti Wang Xin, Wang Shixian, Wang Lin,
Jiang Yanjiao, hingga Li Xuerui. Dirinya pun kemudian bisa fokus untuk
kepentingannya sendiri, menjadi yang terbaik di antara lainnya.
Kembali ke Kejuaraan Dunia 2013, adanya dua wakil yang jadi
andalan di atas kertas patut disyukuri. Semoga dua andalan ini mampu menunaikan
tugasnya dan meraih medali emas di Kejuaraan Dunia nanti. Sambil berharap hal
itu, mari terus berdoa agar pebulu tangkis lainnya di Indonesia terus terpacu
meningkatkan diri agar bisa berdiri sejajar dan memikul beban bersama sebagai
andalan dan tumpuan.
-Putra Permata Tegar Idaman-
Langganan:
Postingan (Atom)