Rabu, 18 Desember 2013

Gelombang Besar Ahsan/Hendra

Kamis, 27 Desember 2012 posisi Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan tak terdeteksi di halaman awal peringkat ganda putra di situs resmi Badminton World Federation (BWF). Lanjut ke halaman kedua, nama mereka pun belum ada, pun begitu ketika halaman selanjutnya ditelusuri. Nama mereka baru ada di halaman keempat, yang memuat para pemain dengan peringkat 76-100 dunia, tepatnya di peringkat 78 dunia.

Ketika itu, Ahsan/Hendra yang baru dipasangkan usai Olimpiade London 2012 ini belum menunjukkan perkembangan permainan yang signifikan. Satu kali semifinal (Denmark Super Series Premier), satu kali babak 16 besar (Prancis Super Series), dan satu kali perempat final (Hong Kong Super Series) adalah hasil yang dicatat Ahsan/Hendra dalam tiga turnamen yang mereka ikuti di sisa tahun 2012. Karena itu wajar banyak yang menganggap kiprah Ahsan/Hendra hanyalah berupa gelombang kecil di lautan yang tak akan menggemparkan dunia.

Status Ahsan/Hendra sebagai gelombang kecil di lautan pun terus berlanjut di semester awal tahun 2013 meski mereka memenangi Malaysia Super Series 2013. Penyebabnya tak lain karena mereka tak mampu menjadi juara di All England dan malah tak tampil berpasangan di Piala Sudirman 2013 karena Ahsan mengalami cedera.

Kiprah kehebatan mereka baru terasa di semester kedua tahun 2013. Dimulai dengan menjuarai Indonesia Super Series Premier 2013 di debut turnamen mereka pasca cedera Ahsan, duet Ahsan/Hendra terus mengamuk dan memenangi turnamen-turnamen lainnya mulai di Singapura Super Series, Kejuaraan Dunia 2013, dan Jepang Super Series secara beruntun. Meski setelah itu performa mereka agak menurun, namun tahun 2013 berhasil mereka tutup dengan sempurna melalui titel juara BWF World Super Series Finals 2013. Peringkat nomor satu dunia pun berhasil mereka genggam di tahun ini. Ahsan/Hendra yang masih berupa gelombang kecil pada akhir tahun lalu kini sudah menjelma menjadi gelombang besar yang ditakuti oleh banyak orang.

Lalu, apakah Ahsan/Hendra meraih kesuksesan ini dengan cara instan? Jawabannya tentu tidak. Hendra memang pemain papan atas dunia dan Ahsan sering disebut-sebut sebagai pemain penuh talenta namun mempersatukan mereka bukanlah seperti matematika dimana menambahkan lima dengan lima maka kita akan mendapatkan angka sepuluh. Masih banyak faktor-faktor lainnya di balik kesuksesan mereka berdua sampai kombinasi mereka menjelma menjadi angka sepuluh dan dinilai orang sebagai pasangan yang sempurna.

Yang pertama Hendra. Jelas sulit baginya untuk menemukan motivasi untuk berprestasi setelah ia meraih hampir semua gelar bergengsi yang ada di dunia bulu tangkis bersama Markis Kido mulai dari berbagai turnamen super series hingga titel juara dunia, dan meraih medali emas mulai dari level SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade.

Saat awal kembali ke pelatnas pasca gagal lolos ke Olimpiade London 2012, kondisi fisik Hendra sendiri berada dalam kondisi yang tidak bagus. Staminanya merosot dan bobot tubuhnya pun tidak ideal seperti saat masa jayanya. Beruntung, Hendra tidak kehilangan motivasinya untuk berprestasi dan itulah modal utama Hendra untuk membenahi semuanya.
Ia kembali berlatih lebih keras untuk mengembalikan fisik dan staminanya. Ia berlatih keras untuk membuat ideal bobot tubuhnya. Ia berlatih keras untuk kembali mempertajam tekniknya. Dan ia berusaha keras untuk bisa berperan sebagai pembimbing Ahsan mengingat porsi dirinya dalam duet Ahsan/Hendra adalah sebagai seorang senior, beda dengan porsi sejajar yang dimilikinya saat berduet dengan Kido.

Ahsan sendiri pun melalui perjuangan yang tidak mudah. Ia hanya berlabel sebagai pemain 10 besar saat berduet dengan Bona Septano tanpa mampu menapak ke level yang lebih tinggi. Diputuskan berduet dengan Hendra yang berlabel super star, jelas beban lebih besar ada di pundak Ahsan.
Namun kembali motivasi untuk berprestasi menjadi modal utama Ahsan untuk mengatasi semua rintangan yang ada. Ahsan berlatih keras untuk bisa menjadi partner yang pas untuk Hendra. Ahsan berlatih keras untuk mempertajam smes andalan miliknya. Dan yang paling penting Ahsan berusaha keras untuk menguatkan mental dan bisa tampil percaya diri saat berada di sisi lapangan yang sama dengan Hendra.

Kini, di akhir tahun 2013 mereka telah mereguk hasil kerja keras mereka. Status sebagai ganda putra terhebat di dunia plus puja-puji dari seluruh negeri mereka dapatkan lewat perjuangan yang panjang meskipun hanya memakan waktu yang singkat. Tugas mereka setelah ini adalah menegaskan bahwa mereka, Ahsan/Hendra, adalah gelombang besar yang berbahaya dalam waktu lama, bukan gelombang besar yang muncul karena momentum sesaat lalu kemudian reda.

 -Putra Permata Tegar Idaman-

Rematch Atau Gantung Sarung Tinju, Chris John?

Dalam beberapa pertempuran yang sudah dilewati, Sang Naga mampu bertahan dari serbuan para samurai dari Jepang sekaligus menaklukkan mereka. Selain itu, Sang Naga juga sukses bertahan dari gempuran ksatria-ksatria dari dataran Amerika dan mengalahkannya. Namun ternyata, Sang Naga itu akhirnya takluk di hadapan Simpiwe Vetyeka, seorang pejuang tangguh dari Afrika Selatan.
Chris ‘The Dragon’ John bagaimanapun telah mengharumkan nama Indonesia di kancah tinju dunia. Lewat dirinya yang berstatus sebagai super champion kelas bulu WBA, nama Indonesia bisa terus mengemuka di dunia dalam satu dasawarsa terakhir. Namun sebagaimana layaknya manusia biasa, Chris John pun memiliki batas dalam dirinya.
Saat naik ring melawan Vetyeka akhir pekan lalu, usia Chris John sudah ada di angka 34 tahun, usia yang tentunya sudah tidak muda lagi untuk ukuran seorang petinju. Dengan demikian, jelas gerakan tubuh, power pukulan, dan lain sebagainya dalam diri Chris John berbeda jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dimana ia berusia lebih muda. Lewat pertarungan yang berjalan hingga enam ronde, akhirnya Chris John pun bertekuk lutut di hadapan Vetyeka. Sebuah kekalahan pertama yang dialami Chris John dalam karirnya sebagai seorang petinju.
Yang menarik usai kekalahan Chris John ini sendiri adalah bagaimana Chris John mengambil keputusan setelah ini. Apa yang akan dilakukan Chris John terhadap karir bertinjunya? Apakah ia akan tetap berdiri di atas ring sebagai seorang petinju ? Atau meninggalkan arena tinju yang telah membuatnya dikenal dunia seperti sekarang?
Berbicara ke belakang, niatan Chris John untuk mundur dari dunia tinju sepertinya sudah mulai mengudara sejak dua tahun belakangan. Dalam konferensi pers melawan Shoji Kimura setahun yang lalu, Chris John menyebut bahwa durasi karirnya di ring tinju hanya berkisar lima pertandingan lagi. Ucapan itu pun kemudian dihubungkan dengan rekor milik Eusebio Pedroza yang mampu mempertahankan gelar juara dunia kelas bulu WBA dalam 19 pertarungan. Padahal ketika itu, sang istri Anna Maria Megawati pun sempat meminta Chris John untuk mundur dengan alasan sudah terlalu lama Chris John berkarir sebagai seorang petinju.
Andai menang melawan Vetyeka kemarin, Chris John sendiri sukses menyamai rekor Pedroza dengan 19 kali pertandingan mempertahankan gelar. Dengan demikian maka Chris John tinggal butuh satu kemenangan lagi untuk berdiri sendirian sebagai pemegang rekor itu. Namun nasib berkata lain. Perjuangan Chris John harus terhenti di angka 18 dan harus menerima nasib berada di bawah Pedroza untuk rekor yang satu ini.
Nah, jika Chris John ingin tetap kembali bertinju, rasanya satu-satunya kemungkinan yang masuk di akal adalah dengan mengadakan rematch melawan Vetyeka. Terlalu lama bagi Chris John jika dirinya harus menjalani pertarungan-pertarungan lainnya dalam sisa karirnya. Karena memang Chris John sudah membuktikan diri sebagai petinju hebat dan satu-satunya urusan yang belum selesai baginya adalah urusan dengan Vetyeka yang mengalahkannya kemarin.
Namun untuk rematch sendiri, Chris John tidak mesti buru-buru dan gegabah mengambil keputusan. Ia harus menilai benar apakah kekalahan kemarin itu terjadi karena persiapan yang kurang bagus ? Apakah kekalahan itu terjadi karena kondisinya kurang bagus di atas ring? Apakah kekalahan tersebut terjadi karena ada sebab lain yang tak biasa ia alami dalam sebuah pertandingan?
Tetapi jika ia sudah berlatih keras dan menjalani masa persiapan dengan sangat baik dan performanya di atas ring kemarin adalah level terbaiknya sebagai seorang petinju, maka keputusan untuk melakukan rematch perlu dipikirkan lagi. Karena jika ia kemarin sudah benar-benar mengeluarkan 100 persen kemampuan yang ia miliki, maka butuh usaha keras dan luar biasa bagi Chris John untuk mempersiapkan diri jika ia benar-benar ingin melakukan rematch. Istilah kata, jika kemarin persiapan Chris John sudah 100 persen dan ia kalah, maka persiapan untuk rematch harus 200 persen untuk bisa tampil lebih bagus di rematch nanti.
Dan kalaupun akhirnya Chris John memilih untuk gantung sarung tinju setelah ini, maka keputusan itu tetap layak untuk diapresiasi. Satu kekalahan di akhir karir tidak akan merusak citra diri Chris John sebagai petinju terhebat sepanjang sejarah tinju Indonesia sejauh ini. Ia mampu menjadi juara dunia kelas bulu WBA dalam kurun waktu 10 tahun dan dianugerahi gelar super champion. Namanya akan abadi dalam sejarah dunia tinju Indonesia bersama rekaman-rekaman kehebatannya di atas ring dan rekor-rekor miliknya.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Selasa, 26 November 2013

Rio de Janeiro 2016, Waktu yang Panjang dan Waktu yang Singkat




Seri turnamen super series/super series premier BWF 2013 telah berakhir. Sebuah kesimpulan pun bisa dengan mudah diambil, Indonesia benar-benar mengandalkan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir untuk urusan meraih gelar. Di luar nama itu, masih belum ada nama yang benar-benar menggigit dan tampil sebagai andalan. Jika berbicara jauh ke Olimpiade Rio de Janeiro 2016, maka Indonesia pun menghadapi dilema dan pertanyaan, mampukah Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana bertahan sampai kesana? Atau mampukah pemain lainnya berdiri sejajar dengan mereka dan dijadikan andalan meraih titel juara?

Tahun 2013 ini adalah tahun titik tolak Ahsan/Hendra setelah mereka dipasangkan pada bulan September 2012. Mereka meraih empat gelar juara plus titel juara dunia. Peringkat nomor satu dunia pun sukses digenggam oleh mereka. 

Tontowi/Liliyana pun sukses membuat tahun 2013 sebagai tahun kebangkitan usai mereka gagal di Olimpiade London 2012 lalu. Mereka meraih empat gelar super series termasuk titel All England plus gelar juara dunia. Lalu mampukah kedua pasangan ini bertahan dalam persaingan papan atas dan tetap menjadi andalan hingga 2016 mendatang? Yang pasti, Indonesia tentunya tak mau tragedi tanpa medali emas atau bahkan tanpa medali yang menimpa tim bulu tangkis Indonesia di Olimpiade London 2012 kembali terulang di Rio de Janeiro nanti.

Pada tahun 2016 mendatang, Hendra sudah berusia 32 tahun sedangkan Ahsan 29 tahun. Untuk Liliyana, dirinya akan berusia 31 tahun sedangkan Tontowi menginjak angka 29 tahun. Jelas, bukan lagi sebuah umur yang muda bagi seorang atlet. Secara fisik, mereka pasti mengalami penurunan meskipun sejauh mana penurunan itu tetap tergantung bagaimana mereka mampu menjaga kondisi mereka. Namun di samping itu, ada pula faktor konsentrasi dan kejenuhan secara pikiran dan fokus. Bertahun-tahun diandalkan dalam tiap turnamen besar, hal itu tentu bukan masalah yang mudah bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Terlebih bagi Hendra dan Liliyana yang sudah menjadi andalan dalam satu dekade terakhir.

Bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sendiri, waktu kurang dari tiga tahun ke depan menuju Olimpiade Rio de Janeiro 2016 jelas merupakan waktu yang panjang. Sebelum diplot sebagai andalan untuk Olimpiade, mereka sudah harus terus-menerus dibebani sebagai andalan di ajang-ajang besar. Contohnya saja untuk tahun 2014, Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana sudah pasti akan dibebankan target menjadi juara untuk All England, Kejuaraan Dunia, dan juga Asian Games. Konsistensi dua ganda ini akan terus mendapatkan tantangan.

2014 ini juga mungkin bisa jadi semacam tahun ujian bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Jika mereka masih mampu menyelesaikan beban target itu dengan baik, maka status Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana di akhir 2014 nanti masih layak dibebankan sebagai andalan untuk meraih medali emas di Olimpiade 2016. Meskipun, setelah itu kembali masih ada 1,5 tahun tersisa bagi mereka untuk mempertahankan konsistensi dan kembali diuji oleh pertanyaan yang sama hingga beberapa bulan jelang Olimpiade nanti.

Cara terbaik yang diinginkan Indonesia untuk mengatasi solusi ini jelas berharap PBSI bisa secepatnya menemukan andalan baru yang bisa selevel dengan Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Jika itu terwujud, maka peluru emas yang dimiliki Indonesia akan lebih banyak. Dengan demikian, maka otomatis secara psikologis beban Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana juga berkurang.

Namun melihat fakta yang tersaji tahun ini, jelas belum ada pemain lainnya yang benar-benar bisa jadi andalan. Sebagai gambaran saja, di luar Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, hanya Tommy Sugiarto, Sony Dwi Kuncoro, Pia Zebadiah/Rizki Amelia Pradipta, dan Markis Kido/Pia Zebadiah yang lolos ke BWF Super Series Finals tahun ini. Kualifikasi menuju BWF Final Super Series sendiri dilihat dari performa para pemain di turnamen super series/super series premier tahun ini, sehingga pemain yang tidak lolos jelas bisa disimpulkan bahwa dirinya belum bermain baik tahun ini. Fakta bahwa Pia/Rizki dan Kido/Pia bukanlah anggota pelatnas plus Sony adalah pemain yang tergolong sudah veteran, maka hanya Tommy yang benar-benar bisa dibilang sebagai perwakilan dari generasi muda yang ada di pelatnas.

Bagi para pemain dari generasi masa depan, yaitu Tommy dan kawan-kawan di pelatnas, waktu tiga tahun kurang ke depan adalah waktu yang sangat singkat. Mereka dituntut untuk bisa terus meningkatkan prestasi di waktu yang ada. Jika turnamen super series saja sulit untuk mereka menangi, maka jelas jalan berat menuju Olimpiade bagi mereka akan menanti. Jika mereka gagal masuk papan atas di 1-2 tahun mendatang, maka sulit berharap nantinya di Olimpiade mereka bisa jadi andalan. Pembuktian diri harus terus menerus mereka lakukan agar mereka bisa jadi tumpuan harapan.

Sekali lagi, bagi Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana, waktu menuju Olimpiade Rio de Janeiro masihlah sangat panjang. Sementara bagi Tommy dan kawan-kawan, mereka terus diburu waktu yang berlari begitu cepat.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Senin, 25 November 2013

Semakin Ramping, Semakin Diperhatikan




Bayangkan jika dua mata yang kita miliki ini melihat sekumpulan semut yang terbagi dalam lima kelompok. Jelas sulit bagi kita untuk melihat detil gerakan satu persatu dari para semut itu. Mungkin ada beberapa semut yang tampak menonjol di mata kita karena ia bertubuh besar atau perangainya paling aneh. Namun yang pasti tidak akan mungkin dua mata ini bisa mengawasi seluruh gerakan semut-semut yang ada. Jika jumlah semut itu berkurang, maka jangkauan pengawasan kita pastinya akan bertambah.

Gambaran itu mungkin sama halnya dengan jika masyarakat pecinta bulu tangkis melihat kondisi pelatnas bulu tangkis saat ini. Jika ditanya, nomor mana yang saat ini tengah terpuruk di Indonesia, maka jawabannya otomatis akan mengarah ke nomor tunggal putri di urutan pertama, ganda putri di urutan kedua, dan tunggal putra di urutan ketiga. Nomor ganda putra dan ganda campuran seolah berada di zona nyaman karena dianggap sudah memberikan bukti prestasi.

Nomor tunggal putri menjadi nomor yang disebut paling terpuruk karena di zaman dulu Indonesia memiliki sosok sehebat Susi Susanti ataupun Mia Audina. Di era 2000-an pun Indonesia memiliki Maria Kristin yang sempat menimbulkan secercah harapan sebelum akhirnya cedera berkepanjangan. Kini, belum ada pebulu tangkis tunggal putri yang bisa jadi andalan dan bersaing di level elit dunia bulu tangkis.

Nomor ganda putri menerima perlakuan sedikit lebih baik dari masyarakat pecinta bulu tangkis karena secara tradisi Indonesia tidaklah terlalu kuat di nomor ini. Jadi, ada sedikit rasa maklum yang menemani perjalanan nomor ganda putri meskipun saat ini torehan prestasi mereka juga jauh menurun dibandingkan generasi-generasi sebelumnya yang setidaknya bisa meramaikan persaingan di papan atas.

Untuk nomor tunggal putra, meski saat ini sejumlah nama ada di papan atas, namun jika dibandingkan dengan torehan di dekade sebelumnya, maka jelas mereka pun mengalami kemunduran. Pasalnya belum ada pemain yang mampu menjadi ujung tombak dan andalan dalam meraih titel demi titel di setiap turnamen besar seperti lazimnya para tunggal putra Indonesia di dekade-dekade sebelumnya.

Lalu bagaimana dengan nomor ganda putra dan ganda campuran? Apakah mereka telah menunjukkan konsistensi prestasi dan terhindar dari kata kemunduran? Sejatinya tidak 100 persen benar karena dua nomor itu hanya mengandalkan satu nama saja untuk urusan prestasi di level elit. Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan untuk nomor ganda putra dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di nomor ganda campuran. Jika dua nama itu dikesampingkan, maka belum ada yang benar-benar bisa jadi andalan dan siap memikul beban sebagai andalan dan menjadi juara.

Jadi secara umum, pemain lain di nomor ganda putra dan ganda campuran sejauh ini bernasib lebih baik dibandingkan tiga nomor lainnya karena mereka terlindungi oleh pamor Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Selama dua orang tersebut menjadi juara, maka dua nomor itu terus dianggap berhasil dan mempertahankan status sebagai nomor andalan.

Lalu apa kaitannya dengan wacana PBSI merampingkan skuat pelatnas pada tahun depan? Mungkin banyak yang bertanya-tanya tentang kebijakan ini karena di satu sisi sebenarnya PBSI tidak mengalami masalah sama sekali terkait pendanaan pemain dengan jumlah yang ada saat ini, yaitu 83 orang. Pun begitu halnya dengan fasilitas seperti lapangan dan kamar asrama. Semuanya masih bisa dipenuhi oleh PBSI.

Memang ada hal yang menarik dari wacana perampingan skuat pelatnas PBSI dari 83 orang menjadi kisaran 50-an. Jika dikalkulasikan dengan proses promosi, maka mungkin akan ada 40-50% nama yang hilang dari skuat pelatnas tahun ini. Sebuah jumlah yang besar dan tentunya sangat signifikan. Namun melihat bagaimana proyeksi dan bayangan skuat pelatnas di tahun depan, maka alasan dari PBSI akan muncul ke permukaan.

Dalam proyeksi yang ada, PBSI menyebut akan ada 5 pemain untuk nomor tunggal baik putra dan putri dan 4 pasang untuk ganda baik putra dan putri yang kesemuanya itu merupakan pemain untuk proyeksi Thomas-Uber tahun depan. Ditambah tiga pasang untuk nomor ganda campuran, maka dengan demikian sudah ada 32 pemain yang terdaftar. Sisa slot setelah itu nantinya diperuntukkan bagi pemain potensial maupun junior.

Dengan asumsi seperti itu, PBSI sepertinya tidak ingin memberikan ruang yang lebih besar bagi para pemain di dalamnya. Mereka ingin pemain yang ada di dalamnya benar-benar menajamkan persaingan di antara sesama sehingga tak ada kata ‘nyaman’ dalam status mereka sebagai pemain pelatnas. Mereka harus bisa terus masuk proyeksi tim untuk target-target besar jika tak ingin ke depannya posisi mereka digusur oleh pemain lainnya yang berusia lebih muda. Pemain muda pun harus terus memenuhi target antara sampai mereka dirasa matang untuk dibebani target besar.

Jumlah pemain yang lebih sedikit ini sendiri membuat atensi kepada tiap pemain menjadi lebih besar dibandingkan sebelumnya. Setiap gerak-gerik para pemain dari turnamen ke turnamen akan lebih dipantau dan diperhatikan. Dengan demikian pemain sendiri pastinya menyadari butuh usaha lebih keras dari biasanya untuk bisa bertahan di pelatnas Cipayung. Ketika mereka lengah, bukan tak mungkin tahun depan status pemain pelatnas bukan milik mereka lagi. 

-Putra Permata Tegar Idaman-

Senin, 04 November 2013

Gak Jatuh, Gak Belajar



Tim Junior Indonesia menapaki jalan yang berbeda dalam kiprah mereka di Kejuaraan Dunia Junior 2013 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di nomor perorangan, mereka tak meraih medali emas sekaligus gagal mengulangi prestasi dua tahun terakhir. Namun untuk nomor beregu Indonesia sukses menjadi runner up, torehan tertinggi sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia di ajang ini.

Kegagalan atau keberhasilan di level junior memang harus disikapi hati-hati oleh Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI). Jangan sampai kegagalan di level junior yang merupakan indikasi peringatan dini diabaikan begitu saja oleh mereka, namun jangan sampai pula kesuksesan di level junior dianggap garansi bahwa mereka juga nantinya akan berprestasi saat beranjak dewasa.

Melihat sejarah panjang Kejuaraan Dunia Junior, Indonesia memang sepertinya tak terlalu akrab dengan turnamen ini. Sejak edisi 1994, Indonesia tak memiliki satu pun gelar juara dunia junior sampai akhirnya Alfian Eko/Gloria Widjaja memutus catatan buruk itu pada tahun 2011. Tetapi toh nyatanya Indonesia tetap mampu memiliki banyak pemain hebat seperti Taufik Hidayat, Sony Dwi Kuncoro, Candra Wijaya, Tony Gunawan, Nova Widianto, Markis Kido, Hendra Setiawan, Liliyana Natsir, Maria Kristin, dan lain sebagainya pada periode 1994-2011. Nama-nama di atas bahkan mampu memberikan medali di Olimpiade meski tidak berstatus juara dunia junior.

Namun tidak lantas PP PBSI dan Indonesia bisa tenang-tenang saja melihat nihil gelar yang didapat Indonesia di turnamen tahun ini. Bagaimanapun, tim junior adalah pondasi tim Indonesia di masa depan, jadi pondasi harus dipersiapkan dengan baik. Semakin bagus pondasi sebuah bangunan, maka kemungkinan bangunan itu akan solid di masa depan akan semakin terbuka. Sama halnya dengan tim junior, semakin bagus bibit dan kemampuan mereka di level junior, maka peluang untuk memiliki bintang di masa depan tentu akan terbuka lebih lebar.

Untuk persiapan Tim Junior tahun ini sendiri berlangsung secara intensif selama tiga bulan pasca penampilan di Kejuaraan Asia Junior pertengahan tahun 2013 ini. Ke depannya, persiapan harus dilakukan lebih optimal terutama tentang rencana pelatnas usia dini sebagai bagian dari program jangka panjang PBSI. Nantinya program pelatnas usia dini sendiri bisa bersinergi dengan persiapan ke tiap ajang junior karena pemain sudah berkumpul di pelatnas sepanjang tahun dan persiapan bisa dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan.

Soal keberhasilan tim Indonesia menjadi runner up di nomor beregu untuk pertama kalinya pun tidak lantas harus dibesar-besarkan sebagai jaminan bahwa Indonesia akan memiliki komposisi tim yang bagus untuk nomor beregu di masa depan. Apresiasi patut diberikan pada perjuangan mereka, namun jangan sampai apresiasi tersebut melenakkan. Karena biar bagaimanapun hitungan real atau hitungan nyata prestasi seorang atlet adalah ketika ia sudah masuk ke ranah senior, bukan pada saat ia masih junior.

Fase dari junior menuju senior itulah yang kemudian menjadi fase krusial dimana perkembangan seorang pemain mutlak harus mendapat perhatian ekstra. Bisa saja dia yang saat junior menjadi juara, justru kemudian melempem saat naik tingkat ke fase senior. Atau bisa juga, seorang pemain yang hanya berstatus semifinalis saat junior malah bisa mendominasi saat beranjak senior.

Banyak faktor yang memengaruhi perubahan itu dan tidak selamanya mereka yang junior berada di atas akan selalu ada di atas. Faktor motivasi atlet menjadi faktor internal yang berpengaruh terhadap perkembangannya. Jika ia tak mudah berpuas diri, maka ia akan bisa terus berkembang sebagai seorang atlet. Yang kedua jelas perkembangan mental dan kepercayaan diri yang juga harus mutlak diasah sebagai bagian dari faktor internal yang harus terus diperbaiki.

Dari faktor eksternal, ada beberapa faktor yang bisa memengaruhi seperti lingkungan tempat berlatih dalam hal ini untuk Indonesia berarti pelatnas Cipayung. Yang kedua adalah faktor pesaing dimana setelah masuk fase senior itu berarti sang pemain akan menghadapi persaingan terbuka, dimana pemain yang sudah lebih dulu malang-melintang di dunia bulu tangkis sebelum mereka bisa saja menjadi lawan mereka di seberang net nantinya. Selain faktor-faktor di atas, faktor cedera pun bisa menjadi momok menakutkan karena bagaimanapun hebatnya bakat seorang atlet semua akan sia-sia jika ia terkendala cedera berkepanjangan.

Kegagalan di level junior tak perlu disikapi berlebihan. Karena seperti anak kecil yang belajar naik sepeda, maka wajar jika jatuh pada awalnya. Yang terpenting adalah memastikan bahwa mereka ada di arah yang benar. Bahwa jatuh-nya mereka kali ini adalah bagian dari proses menuju kejayaan mereka nanti.

Keberhasilan di level junior pun tak perlu disikapi berlebihan. Karena seperti anak kecil yang belajar naik sepeda, maka keberhasilan mereka mengayuh sepeda di kali pertama, belum menjamin mereka tak akan jatuh di beberapa langkah ke depannya nanti.

 Terima kasih atas perjuangannya di Bangkok Para Pemain Junior Indonesia, dan teruslah berjuang karena karir kalian masih panjang membentang!

-Putra Permata Tegar Idaman-

Senin, 09 September 2013

Saat Olahraga Tak Lagi Jadi yang Utama

99 tahun lalu, perang dunia pertama meletus. Tiap-tiap Negara saling unjuk kekuatan dan kehebatan dan merasa lebih superior dibandingkan Negara lainnya. Negara yang kalah terpaksa menyerah dan harus tunduk pada sang pemenang. Mereka pun tak berdaya dalam kekangan sang penguasa. Saat ini, dunia sudah memasuki masa damai, namun sejatinya ‘perang’ itu masih ada dan berpindah ke arena olahraga. Sayangnya, saat ini Indonesia seolah ketinggalan dan tak mau ikut serta.

Sejak United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri pada 24 Oktober 1945, maka bisa dikatakan perang antar negara lewat konfrontasi strategi dan senjata resmi berakhir. Dunia sudah cukup prihatin dengan meletusnya dua perang dunia yang mengakibatkan korban meninggal dunia plus luka-luka lebih dari 100 juta jiwa. Negara-negara baik itu blok barat maupun timur sadar bahwa perang dunia ketiga di masa depan bisa jadi akan benar-benar menghancurkan dunia.

Namun, persaingan gengsi antar tiap negara tidaklah resmi berakhir. Suatu negara masih ingin dipandang superior dibandingkan negara lainnya. Dan kesempatan untuk bisa mewujudkan hal tersebut, bisa tercipta di arena olahraga, dimana persaingan antar bangsa masih terjadi dan menjadi perhatian seluruh dunia.

Mulai dari single event seperti FIFA World Cup, Kejuaraan Dunia Atletik dan cabang lainnya, Piala Thomas/Uber, hingga ajang multi event seperti Olimpiade, Asian Games, dan SEA Games, tiap negara yang terjun di dalamnya punya kesempatan untuk menegaskan status bahwa mereka lebih hebat dari negara lainnya yang ada di turnamen atau kejuaraan tersebut.

Itulah mengapa Amerika Serikat pun menaruh fokus penuh pada olahraga dan itu terlihat di Olimpiade. Mereka yang menyebut diri mereka sebagai ‘Super Power’ tentu juga ingin terlihat super di arena olahraga. Alhasil, mereka sangat dominan di Olimpiade dan sering keluar sebagai juara umum. Cina yang sering disebut kekuatan baru di dunia pun juga memanfaatkan arena olahraga sebagai tempat mereka unjuk kekuatan. Status juara umum Olimpiade Beijing 2008 pun sudah cukup bagi seluruh dunia untuk tak lagi meremehkan Cina sebagai sebuah bangsa.

Bagaimana olahraga bisa mengangkat harkat suatu bangsa juga bisa dilihat dari banyak contoh. Jamaika dan atletik misalnya. Dulu, mungkin Jamaika hanya dikenal lewat Bob Marley, namun kehadiran Usain Bolt yang fenomenal benar-benar membuat dunia kini menaruh respek pada Jamaika sebagai salah satu negara hebat di dunia.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Pada awalnya, Indonesia paham benar bahwa olahraga adalah salah satu jalan pintas untuk membawa harum nama bangsa ini ke pentas dunia. Hal itulah yang diyakini oleh Indonesia saat melakukan bidding sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Komplek Gelora Bung Karno pun dibangun untuk mengakomodasi hal itu. Presiden Soekarno pun mendukung penuh rencana dan acara tersebut.

Di ajang SEA Games, Indonesia pun selalu jadi raja pada awalnya. Dari 1977-1997, Indonesia sembilan kali jadi juara umum dan hanya dua kali finis runner up, itu pun saat sang juara Thailand berstatus sebagai tuan rumah. Pemerintah dan pihak-pihak terkait saat itu benar-benar memberikan dukungan penuh kepada atlet-atlet Indonesia yang berlaga di berbagai arena.

Di olahraga perorangan, bulu tangkis menjadi tumpuan utama Indonesia untuk dikenal dunia. Sejak era 1960-an, nama berbagai pebulu tangkis mampu membuat dunia mengenal Indonesia sebagai kekuatan utama di dunia. Cabang olahraga angkat besi pun menyusul di era 2000-an dan bahkan jadi penyelamat saat bulu tangkis absen memberi medali di Olimpiade London 2012 lalu.

Bagaimana dengan kondisi terkini? Dalam beberapa tahun belakangan, bisa dibilang kondisi olahraga di Indonesia terbilang cukup miris. Persiapan mayoritas cabang olahraga menuju SEA Games 2013 menjadi bukti. Uang saku atlet yang telat ibarat sinetron yang hampir pasti jadwal tayangnya tiap minggu, beruntung hal itu tak membuat para atlet luntur semangatnya dalam melakukan persiapan. Minimnya anggaran yang dialokasikan untuk pembinaan olahraga di Indonesia juga menjadi sebab mengapa mayoritas Pengurus Besar (PB)/Pengurus Pusat (PP) tak memiliki dana yang cukup untuk memutar roda organisasi dan menjalankan pembinaan dengan baik sebagaimana seharusnya.

Pemerintah harus merespon keadaan ini. Untuk cabang olahraga yang populer dan berprestasi seperti bulu tangkis, PBSI mungkin sudah menemukan formula yang tepat untuk menghidupi diri sehingga mereka bisa memancing kedatangan sponsor. Namun untuk cabang olahraga lain yang berprestasi dan berpotensi namun kesulitan mendatangkan sponsor lantaran masalah popularitas di masyarakat, pemerintah tetap harus turun tangan untuk pendanaan.

Hal itu mutlak dilakukan karena jika dibiarkan, maka itu bakal menjadi efek domino ke depannya. Generasi muda akan mulai mencoret atlet sebagai pilihan profesi mereka di masa depan lantaran tak adanya kejelasan dan jaminan. Mungkin hanya cabang-cabang populer yang masih memiliki regenerasi sementara cabang olahraga lainnya akan semakin sulit mencari bibit.

Saat ini olahraga (sedang) tidak menjadi perhatian utama di Indonesia. Mungkin para penentu kebijakan itu lupa, bahwa hanya atlet dan kepala negara yang bisa mengibarkan Bendera Merah-Putih dan Lagu Indonesia Raya di luar Indonesia.

Selamat Hari Olahraga Nasional! Semoga hari ini tidak hanya sekadar sebuah hari peringatan saja, melainkan hari perenungan tiap insan olahraga di Indonesia.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Rabu, 14 Agustus 2013

Angkat Topi untuk Ahsan dan Tontowi



Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2013 berakhir bahagia bagi Indonesia. Dua gelar juara setelah hampa gelar di tiga edisi Kejuaraan Dunia sebelumnya jelas sangat membahagiakan. Lebih menarik karena dua orang yang menjadi juara dunia pada 2007, tahun terakhir Indonesia merengkuh titel juara dunia, Hendra Setiawan dan Liliyana Natsir kembali menjadi juara dunia di tahun ini dengan pasangan yang berbeda. Hendra meraih juara dengan Mohammad Ahsan, Liliyana menjadi yang terbaik bersama Tontowi Ahmad.

Hendra dan Liliyana adalah pemain jenius dan itu tak perlu diragukan dan diperdebatkan. Sejak usia muda mereka sudah berprestasi dan itu mereka pertahankan hingga saat ini, saat dimana usia mereka sudah mulai memasuki fase usia tua sebagai seorang atlet. Yang ingin disorot dari tulisan ini adalah justru sosok Ahsan dan Tontowi, dua sosok yang harus berpasangan dengan Hendra dan Liliyana yang sudah meraih segalanya sebagai seorang pemain bulu tangkis.

Ahsan mulai berpasangan dengan Hendra selepas Olimpiade London 2012. Ahsan yang sebelumnya berpasangan dengan Bona Septano tengah mengalami kekecewaan yang cukup besar lantaran gagal menyumbangkan medali bagi Indonesia di Olimpiade London 2012. Tidak hanya soal Olimpiade saja, Ahsan sendiri juga sebelumnya hanya mampu menyandang status sebagai ganda 10 besar dan belum mampu naik level menjadi ganda papan atas.

Berpasangan dengan Hendra pun tidak lantas membuat Ahsan dengan mudah mencapai tangga teratas. Kondisi Hendra saat itu pun tidak dalam kondisi terbaik. Ia dan Markis Kido baru saja gagal lolos ke Olimpiade London 2012. Walaupun Hendra juga tengah terpuruk, nama besar Hendra  sudah cukup untuk  menjadi bayang-bayang besar di hadapan Ahsan.

Hendra adalah juara dunia, juara Olimpide, juara Asian Games,  pebulu tangkis nomor satu dunia dengan sederet gelar saat berpasangan dengan Markis Kido. Sementara Ahsan ketika itu belum mampu menjuarai satu pun titel super series.

Dan benar saja, perjuangan Ahsan/Hendra untuk membuktikan kapasitas mereka melalui jalan yang terjal. Setelah sempat mencuri perhatian dengan meraih gelar di Malaysia Super Series di awal tahun dan masuk semifinal All England 2013, duet Ahsan/Hendra diadang badai cedera pinggang yang menimpa Ahsan. Cedera ini memaksa Ahsan tak tampil satu kalipun di gelaran Piala Sudirman bulan Mei.

Beruntung, dalam rasa derita lantaran tak bisa tampil akibat cedera, rasa lapar gelar juga menghinggapi dalam tubuh Ahsan/Hendra. Indonesia Terbuka, turnamen perdana Ahsan/Hendra setelah kembali langsung berhasil dimenangi oleh mereka. Kemenangan Ahsan/Hendra ini menyelamatkan muka Indonesia sebagai tuan rumah turnamen.

Meski sudah memenangi turnamen selevel ini, Ahsan sendiri seolah tetap merasa belum bisa berdiri sejajar dengan Hendra. Ini bisa dilihat di satu momen dimana Ahsan terlihat bereaksi cukup emosional saat Hendra ditanya perbandingan antara Ahsan dengan Kido. Ahsan masih belum nyaman dengan pertanyaan yang mengungkit perjalanan masa lalu Hendra yang bergelimang prestasi. Dan Ahsan tahu, hanya dengan prestasi tinggi maka ia bisa menghapus pertanyaan perbandingan siapa yang lebih baik menjadi pasangan Hendra yang keluar dari mulut para jurnalis.

Selepas Indonesia Terbuka itu sendiri, Ahsan/Hendra semakin mengkilap sebagai pasangan. Singapura Super Series kembali berhasil dipuncaki oleh mereka yang menjadi modal besar bagi mereka menuju Kejuaraan Dunia 2013.

Dibandingkan Ahsan, Tontowi bahkan sudah merasakan ‘penderitaan’ lebih dulu soal bagaimana beratnya berpasangan dengan pemain bintang. Saat mulai diduetkan dengan Liliyana, Liliyana adalah juara dunia dua kali, peraih medali perak Olimpiade Beijing 2008 pebulu tangkis nomor satu dunia yang memiliki banyak gelar saat berpasangan dengan Nova Widianto. Sementara saat itu Tontowi sendiri belumlah menjadi siapa-siapa dari segi prestasi.

Dasar jodoh, Tontowi/Liliyana langsung melejit dan menjadi tulang punggung utama Indonesia di tahun 2011-2012. Tapi hal ini tidak membuat Tontowi luput menjadi sasaran kesalahan ketika duet Tontowi/Liliyana mengalami kegagalan. Tontowi dianggap kadang masih demam panggung dalam pertandingan-pertandingan krusial dan tidak bisa mengimbangi kematangan Liliyana. Tidak hanya itu, Tontowi juga dianggap indisipliner dan dua hal itulah yang disinyalir menjadi dua diantara beberapa sebab kegagalan Tontowi/Liliyana memenuhi target meraih emas di Olimpiade London 2012.

Dikritik berbagai rupa dan bahkan sempat diperam di awal tahun 2013 dengan tidak dikirim ke Malaysia Super Series karena masalah indisipliner, Tontowi tidak melawan. Ia paham bahwa saat itu posisinya memang lemah dan apapun argumen yang dikelurkan, maka ia tetap dalam posisi yang salah. Ia baru benar ketika ia kembali berprestasi dan itulah yang telah ditekadkan Tontowi dalam hati.

Benar saja, selepas diperam Tontowi/Liliyana pun lapar gelar. All England, India Super Series, dan Singapura Super Series adalah tiga dari empat turnamen super series/premier yang dimenangi mereka. Hanya gelar Indonesia Terbuka saja yang lepas dari genggaman mereka.

Dengan performa apik sepanjang tahun  2013 berjalan dimana Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana menjadi peraih gelar super series terbanyak untuk masing-masing nomor, maka tak heran jika akhirnya mereka mampu meneruskan performa gemilang itu dan menjadi juara dunia.

Gelar juara dunia ini sudah cukup menjadi bukti bagi Ahsan dan Tontowi agar mereka tak lagi merasa minder berdiri berdampingan dengan Hendra dan Liliyana. Ahsan dan Tontowi sudah menjadi salah satu pemain terbaik di dekade ini dan jika mereka ingin meningkatkan status menjadi calon legenda, jelas mereka sudah paham benar apa yang harus dilakukan, yaitu dengan memenangi turnamen-turnamen besar di masa depan.

-Putra Permata Tegar Idaman-

Sabtu, 03 Agustus 2013

Banyak Pemburu, Banyak Medali



Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2013 telah ada di depan mata. Sebagai negara besar, Indonesia sudah hampa gelar di tiga penyelenggaraan terakhir dan jelas ini boleh jadi disebut sebagai bencana bagi Indonesia. Dengan demikian tidak salah jika akhirnya Indonesia menjadikan Kejuaraan Dunia kali ini sebagai salah satu target besar di tahun 2013.

Berbicara soal peluang mendapatkan titel juara, jelas di atas kertas Indonesia kini memiliki dua jagoan andalan lewat nama Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Dua andalan memang terlihat sedikit jika dibandingkan dengan gambaran peta kekuatan Indonesia di dekade sebelumnya, tapi dua andalan sudah seolah jauh lebih baik jika dihadapkan dengan perbandingan dua tahun terakhir dimana Tontowi/Liliyana selalu disebut-sebut sebagai satu-satunya andalan.

Memang pastinya membanggakan bagi Tontowi/Liliyana ketika nama mereka selalu diucapkan dan dielu-elukan sebagai andalan di setiap kesempatan. Namun di atas lapangan, kadang hal itu malah menjadi beban. Kegagalan Tontowi/Liliyana di Olimpiade London 2012 jelas salah satunya karena mereka tak mampu keluar dari tekanan berat sebagai satu-satunya andalan yang tersisa di ajang tersebut.

Karena itu kehadiran Ahsan/Hendra sungguh sangat melegakan bagi Tontowi/Liliyana dan juga Indonesia. Kini beban untuk menyabet titel juara setidaknya ada di pundak dua wakil ini yang tentunya menjadikan beban tersebut berubah lebih ringan.

Terlebih, baik Ahsan/Hendra maupun Tontowi/Liliyana saat ini dalam kondisi yang sangat baik. Keduanya sudah meraih tiga gelar super series/premier tahun, terbanyak di nomornya masing-masing. Tontowi/Liliyana jelas terbilang luar biasa konsisten tahun ini karena tiga gelar itu didapat dari tiga turnamen yang ia ikuti tahun ini. Gambaran inilah yang kemudian mengapungkan harapan akan berakhirnya dahaga gelar Indonesia yang sudah berlangsung selama tiga edisi Kejuaraan Dunia ini.

Bicara soal beban, hal ini sendiri tidak lepas dari karakteristik bulu tangkis di dunia saat ini. Meski turnamen Kejuaraan Dunia ini bersifat individu, namun aroma persaingan antar-negara terasa kental. Hal itu tak lepas dari sifat Asosiasi Tiap Negara yang tetap dominan dalam pembinaan pemain. Hal ini berbeda misalnya dengan permainan raket lainnya yaitu tenis dimana pemain lebih bersifat individualis dengan mayoritas menggunakan biaya sendiri untuk mengikuti turnamen, meski saat juara para pemain tetap mengharumkan nama negara tersebut. Sebagai contoh, di dunia tenis sendiri ajang beregu seperti Piala Davis dan Piala Fed seolah menjadi turnamen yang tak terlalu penting dan para pemainnya sering melewatkan panggilan dari Asosiasi Tenis Negaranya dengan berbagai alasan.

Dengan latar belakang itulah akhirnya wajar jika pemain terkadang terbebani di kondisi-kondisi tertentu dimana ia begitu diharapkan bisa menjadi juara. Hal ini tidak hanya dialami pemain Indonesia melainkan juga para pebulu tangkis dari negara lain. Lee Chong Wei jadi salah satu contohnya dimana ia juga diberikan tumpuan sangat besar dari negaranya untuk bisa jadi juara dunia dan juara Olimpiade yang sampai saat ini belum berhasil diwujudkannya.

Lalu bagaimana mengatasi hal itu? Asosiasi Bulu Tangkis dalam hal ini Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) harus bisa mencetak banyak andalan. Jika diibaratkan, semakin banyak pemburu yang bisa diandalkan, maka semakin besar peluang adanya medali di tangan.

Memiliki andalan di tiap nomor sudah merupakan kondisi ideal yang bisa didapat oleh sebuah negara dan itu dialami Indonesia di tahun 1990-an meskipun ketika itu nomor ganda putri posisinya agak sedikit di belakang empat nomor lainnya.

Mau yang lebih hebat lagi? Jelas caranya adalah dengan mencetak banyak andalan untuk tiap satu nomor. Nomor tunggal putra dan ganda putra di era 1990-an pun pernah mencontohkan hal ini. Ketika itu di nomor tunggal putra, adanya 4-6 pemain Indonesia di babak perempat final atau terciptanya All Indonesian Semifinal bukanlah hal asing. Kondisi itu akhirnya membuat para pemain bisa melupakan ‘beban mengharumkan negara’ karena mereka sudah fokus untuk bersaing melawan para rekan sendiri dan jadi yang terhebat.

Kondisi nikmat itu juga dialami Cina di nomor tunggal putri 1-2 tahun lalu. Wang Yihan tidak perlu repot-repot menanggung beban mengharumkan negara di tiap turnamen individu karena lawan-lawan yang dihadapinya di babak akhir adalah rekan-rekannya sendiri seperti Wang Xin, Wang Shixian, Wang Lin, Jiang Yanjiao, hingga Li Xuerui. Dirinya pun kemudian bisa fokus untuk kepentingannya sendiri, menjadi yang terbaik di antara lainnya.


Kembali ke Kejuaraan Dunia 2013, adanya dua wakil yang jadi andalan di atas kertas patut disyukuri. Semoga dua andalan ini mampu menunaikan tugasnya dan meraih medali emas di Kejuaraan Dunia nanti. Sambil berharap hal itu, mari terus berdoa agar pebulu tangkis lainnya di Indonesia terus terpacu meningkatkan diri agar bisa berdiri sejajar dan memikul beban bersama sebagai andalan dan tumpuan.

-Putra Permata Tegar Idaman-