Minggu, 26 Agustus 2012

Standing Ovation Untuk 'Victory Lap' Taufik Hidayat

Sebuah lembaran surat kabar halaman olahraga dibuka dan di dalamnya tampak sebuah berita berhiaskan foto seorang pebulutangkis muda. Isinya adalah sebuah puja-puja dan prediksi bahwa di masa depan seseorang yang bernama Taufik Hidayat akan menjadi bintang bulu tangkis Indonesia.

Cerita dan berita seperti itulah yang mengalir dan beredar di berbagai media di penghujung dekade 1990-an. Taufik dengan berbekal skill mengagumkan diyakini bakal menjadi penerus tongkat estafet yang tepat dari para jagoan Indonesia di era 1990-an macam Alan Budikusuma, Ardy B. Wiranata, Hermawan Susanto, Hariyanto Arbi, dan Joko Suprianto.

Dan nyatanya memang tak butuh waktu lama bagi Taufik untuk segera meroket ke papan atas dalam persaingan bulu tangkis dunia. Pada Olimpiade Sydney 2000, Taufik sudah jadi pemain nomor satu dunia dan unggulan pertama, dimana pada saat yang bersamaan Lin Dan dan Lee Chong Wei masih bergulat di kejuaraan dunia junior.

Memang, Taufik gagal dalam debut Olimpiade-nya, namun tetap saja namanya terus mencuat seiring berjalannya waktu. Menariknya, label kebintangan Taufik semakin lengkap seiring sikapnya yang kontroversial, layaknya perilaku sejumlah bintang olahraga di dunia. Kombinasi prestasi hebat di lapangan ditambah sisi kontroversial di luar lapangan membuat Taufik benar-benar menjadi magnet perhatian penggemar dan juga media, di dunia dan tentu saja di Indonesia.

Karir Taufik pun terasa lengkap setelah emas Olimpiade dan status juara dunia berhasil disabetnya berurutan di tahun 2004 dan 2005. Terasa sempurnalah karir Taufik di  usianbaru 24 tahun.

Setelah itu, performa Taufik memang mulai kalah mentereng dibandingkan Lin Dan dan tak lama disusul Lee Chong Wei. Taufik pernah menyebut bahwa golden age tiap atlet berbeda dan lantaran hal itulah dirinya mulai tertinggal dari Lin Dan dan Lee Chong Wei. Namun mungkin alasan lainnya adalah rasa lapar Lin Dan dan Lee Chong Wei jauh lebih besar ketimbang Taufik. Mereka belum pernah mengecap manisnya juara Olimpiade dan juara dunia saat Taufik sudah merasakannya.

Meski mulai tertinggal dari persaingan dengan Lin Dan dan Lee Chong Wei di pertengahan hingga ujung karirnya, Taufik tetap menunjukkan konsistensinya sebagai pemain papan atas dunia. Baru pada setahun terakhir ini Taufik menunjukkan penurunan prestasi.

Lebih dari sekedar guratan prestasi yang diukir, banyak hal yang bisa dipelajari dari seorang Taufik dalam belasan tahun karirnya sebagai seorang pebulutangkis. Yang paling utama jelas sikap kepemimpinannya dan juga tentu kemahiran Taufik perihal public speaking.

Taufik yang mungkin terlihat egois dan mau menang sendiri ternyata merupakann sosok pemimpin yang banyak jadi panutan orang-orang di sekelilingnya.

Nova Widianto yang secara usia lebih tua dari Taufik pun mengakui bahwa Taufik adalah pemimpin para pemain semasa dirinya ada di pelatnas. Taufik akan maju mewakili para pemain menghadapi pengurus jika dirasa ada kebijakan yang merugikan pemain. Karena itu ketika Taufik meninggalkan pelatnas, Nova sempat menyayangkan tidak adanya lagi sosok Taufik saat kisruh kontrak pemain dengan pengurus terjadi.

Selepas keluar dari pelatnas, sifat pemimpin yang mengayomi teman-temannya tak pernah luntur dari Taufik. Alamsyah Yunus, salah seorang pebulu tangkis tunggal putra Indonesia, pasti akan menyebut nama Taufik sebagai sosok yang berpengaruh dalam perjalanan karirnya. Taufik membantu Alamsyah yang ketika itu telah didegradasi dari pelatnas untuk terus mengembangkan karirnya dengann mendukung berbagai keperluan yang dibutuhkannya. Bukan hanya Alamsyah, Taufik juga membantu beberapa pebulu tangkis lainnya.

Taufik pun jadi panutan yang pas bagi para pebulu tangkis lainnya perihal cara menghadapi dunia yang berisi para penggemar dan juga media. Taufik tahu bagaimana cara sederhana untuk bersikap sebagai idola, yaitu dengan mampu menggunakan bahasa inggris yang sudah dianggap sebaga bahasa universal dalam proses komunikasinya. "Saya bukan berasal dari golongan terpelajar namun saya punya keinginan. Saya ingin bisa berbahasa inggris karena hal itu berguna termasuk untuk protes terhadap wasit misalnya. Jadi hal itu yang mendorong saya untuk belajar, hitung-hitung sekaligus latihan memperkuat mental," tutur Taufik suatu ketika.

Kini calon legenda itu telah menyelesaikan perlombaannya. Taufik telah memenangkan banyak gelar dan juga kebanggaan bagi Indonesia. Beberapa turnamen yang masih diikuti Taufik dalam beberapa bulan ke depan bisa diibaratkan victory lap yang sering dilakukan para pelari setelah perlombaan. Taufik sendiri telah berucap sisa perjalanan karir yang ada lebih bertujuan sebagai bentuk pamitan kepada publik bulu tangkis dunia dan tidak lagi dititikberatkan pada pencarian prestasi meskipun titel All England masih menggoda untuk dimenangi.

Jadi, sebagai pihak yang telah dibuat bangga oleh Taufik, mari lakukan standing ovation kepada pria yang telah berulang kali mengharumkan nama bangsa ini saat Taufik akan melakukan victory lap di waktu beberapa bulan ke depan. Nikmati setiap momen dari Taufik di waktu yang tersisa. Beri apresiasi yang meriah pada Taufik selagi sosoknya masih terlihat di lapangan sebelum akhirnya dirinya perlahan menghilang meninggalkan banyak kenangan dan kemenangan.

Minggu, 05 Agustus 2012

Bulu Tangkis di Olimpiade = Sebuah Turnamen Biasa


Olimpiade, ajang multi event tertinggi di dunia dimana setiap atlet pasti memimpikan bisa tampil di sana. Tidak hanya tampil, angan menjadi juara pun tersemat di dalam dada. Begitu lagu kebangsaan negara berhasil diperdengarkan lantaran kehebatannya, tentu rasa haru dan bangga akan memenuhi lubuk dan jiwa.
Dan cabang olahraga bulu tangkis sudah menjadi bagian di Olimpiade sejak tahun 1992. Sejak tahun itu, para atlet bulu tangkis di seluruh dunia pun punya kesempatan untuk menjadi sebab terdengarnya lagu kebangsaan mereka di seluruh penjuru dunia. Bagi Indonesia sendiri, kesempatan itu sangatlah berharga karena di cabang olahraga lain, Indonesia belum bisa unjuk gigi.

Dalam periode dua puluh tahun usai bulu tangkis dipertandingkan di Olimpiade, dunia kehilangan Indonesia Raya untuk pertama kalinya. Tidak ada atlet bulu tangkis Indonesia yang mampu meraih medali emas, atau bahkan sekedar menjadi penantang dengan masuk ke babak final.

Tragedi besar? Jelas! Kejutan besar? Tidak! 

Bukan, gagalnya atlet bulu tangkis Indonesia di Olimpiade kali ini bukanlah sebuah kejutan besar. Sudah banyak kalangan yang memprediksi bahwa kegagalan bisa jadi salah satu kemungkinan terbesar yang harus dihadapi Indonesia untuk Olimpiade kali ini. Dan sayangnya, kemungkinan itulah yang ternyata terjadi.
Dengan makin rapinya Badminton World Federation (BWF) mengorganisir turnamen dan mengelompokkan turnamen berdasarkan level dan pembagian poin, maka percaturan dan peta persaingan di bulu tangkis pun mudah terbaca. Dengan demikian, maka ajang Olimpiade akan menjadi sekedar turnamen biasa dalam artian jalannya turnamen akan sama pada turnamen-turnamen umumnya.

Bisa dilihat, dari empat nomor minus nomor ganda putri yang tercemar drama diskualifikasi pada penyelenggaraan tahun ini, nama-nama yang lolos ke babak semifinal adalah nama-nama yang memang juga sudah sering menjadi langganan babak akhir turnamen-turnamen super series. Jika ada kejutan, maka kejutan itu mungkin hanya percikan kecil dan tetap saja nama-nama besar yang berkuasa. Dari 16 semifinalis di empat nomor, mungkin hanya Lee Hyun Il dan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong terbilang keberadaannya di babak semifinal berbau kejutan. Selebihnya, adalah nama besar yang sudah sering terdengar kiprahnya.
Indonesia? Sangat wajar jika akhirnya hanya Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang bisa menjejakkan kaki ke babak semifinal karena memang selama ini hanya mereka yang wara-wiri di berbagai turnamen internasional hingga babak akhir dan meraih sukses di beberapa pagelaran turnamen. Simon Santoso memang menjadi juara di Indonesia Terbuka bulan Juni lalu namun itu pengecualian karena di turnamen itu tak hadir nama besar macam Lee Chong Wei dan Lin Dan.

Konsistensi prestasi di berbagai ajang super series inilah yang saat ini tak dipunyai Indonesia. Dengan hanya Tontowi/Liliyana yang bisa berbicara di level super series dan super series premier, maka menjadi wajar ketika akhirnya hanya mereka yang diandalkan. Dan akan sangat wajar pula dengan hanya satu andalan maka kemungkinan kegagalan akan menjadi besar.

Bukan salah Tontowi/Liliyana kalau Indonesia gagal melanjutkan tradisi emas. Beban mereka teramat berat sebagai satu-satunya andalan. Mereka sudah memberikan yang terbaik, namun nasib berkata lain. Sebagai perbandingan, jika pada Olimpiade Atlanta 1996 dan Olimpiade Sydney 2000 dimana Indonesia memiliki banyak andalan dan tumpuan namun akhirnya hanya menyudahi Olimpiade dengan raihan satu emas, maka sangat logis jika kali ini Indonesia harus mengakhiri turnamen tanpa emas. Dan bahkan tanpa medali sama sekali karena Tontowi/Liliyana ternyata masih tak bisa melupakan kegagalan mereka di semifinal sebelumnya saat tampil di partai perebutan perunggu.

Setelah pukulan telak ini, seharusnya Indonesia bisa memiliki waktu lebih dalam untuk berpikir. Bahwa kegagalan selama ini jelas lantaran ada yang salah dengan sistem di tubuh PBSI. Bahwa ada yang salah dengan perhatian negara terhadap pembinaan bulu tangkis di negeri ini.

Djoko Santoso adalah sosok yang baik. Dirinya dengan siap menerima permintaan beberapa pihak yang memintanya maju pada pemilihan Ketua Umum PBSI empat tahun lalu. Namun baik saja tidak cukup, sosok Ketua Umum PBSI mestilah harus memahami atmosfer bulu tangkis. Harus mengerti masalah dan persoalan bulu tangkis yang ada. Ini yang tidak dimiliki Djoko dan sudah diakuinya dalam beberapa kesempatan bahwa saat ditunjuk ia adalah orang baru di bulu tangkis.

Karena itu, ketika masa pergantian pengurus PBSI akan datang di akhir tahun ini, maka calon-calon yang maju sudahlah harus paham dan mengerti kondisi bulu tangkis di negeri ini. Sehingga siapapun yang terpilih nantinya adalah orang yang bisa langsung bergerak dan bertindak.

Pemerintah pun harus lebih aktif saat ini. Tak ada medali dari kontingen bulu tangkis jelas merupakan sebuah tamparan besar. Selama ini Pemerintah baru mendukung PBSI jika terkait dengan program-program multi event sedangkan untuk proyek jangka panjang misalkan pengiriman pemain ke turnamen reguler, pemerintah masih belum ambil peran. Tidak hanya itu, Pelatnas Cipayung sendiri perlu peremajaan mengingat sudah lebih 20 tahun bangunan tersebut berdiri dan sarana dan infrastruktur di dalamnya perlu penambahan dan pembenahan agar bisa menunjang para atlet dengan maksimal. Selamat bekerja keras untuk kebangkitan bulu tangkis Indonesia!

-Putra Permata Tegar Idaman-

Kamis, 02 Agustus 2012

Semangat yang Terkikis di Bulu Tangkis




Citius. Altius. Fortius. Lebih Cepat. Lebih Tinggi. Lebih Kuat. Itu adalah moto Olimpiade yang diselenggarakan sejak 1896. Jelas maknanya bahwa siapapun atlet yang bertanding di Olimpiade akan berusaha menjadi yang terbaik, tak peduli bahwa secara kualitas mereka ada di bawah lawan-lawannya yang lebih hebat.

Namun semangat seperti itu agak tercoreng di pertandingan terakhir penyisihan grup bulu tangkis untuk nomor ganda putri. Yang menyedihkan, peristiwa ini melibatkan tiga kekuatan besar sekaligus tiga negara peraih medali emas terbanyak di cabang bulu tangkis, Cina, Korea, dan Indonesia.
Peristiwa bermula dari sebuah kejutan manakala Christina Pedersen/Kamilla Ryter Juhl berhasil mengalahkan Qing Tian/Zhao Yunlei di penyisihan grup D. Hal ini membuat Christina/Juhl menempati posisi juara grup dengan Qing/Zhao berstatus runner up.

Pada awalnya, Cina sendiri jelas menargetkan All Chinese Final karena Wang Xiaoli/Yu Yang merupakan unggulan pertama dan Qing/Zhao merupakan unggulan kedua. Lantaran Qing/Zhao hanya menempati posisi runner up, maka kedua pemain Cina ini bisa bentrok ada Wang/Yu tetap ada di posisi juara grup dan disinilah drama dimulai.

Wang/Yu ternyata benar-benar memainkan perannya. Mereka terlihat enggan menang melawan Jung Kyung Eun/Kim Ha Na yang merupakan duel penentuan juara grup A.  Mulai dari sini pun protes sudah mulai berdatangan baik dari dalam arena maupun lewat komentar di dunia maya. Misi Wang/Yu berhasil. Mereka kalah dan berstatus runner up grup A yang artinya tetap berada di blok yang berbeda dengan Qing/Zhao pada babak perempat final.

Efek domino kemudian menjalar dari fakta bahwa Wang/Yu hanya berstatus runner up grup A yang artinya bakal menantang juara grup C di babak perempat final. Ganda Korea, Ha Jung Eun/Kim Min Jung dan ganda Indonesia, Greysia Polii/Meiliana Jauhari, entah karena terbawa suasana di lapangan atau entah karena terpengaruh dengan sikap tidak sportif Wang/Yu malah melakukan hal yang sama. Kedua ganda ini seolah engga menjadi juara grup C yang artinya hal itu akan menghadapkan mereka pada sosok Wang/Yu yang merupakan ganda terkuat di dunia saat ini. Tak pelak, pemandangan ini pun menjadi bahan makian penonton yang ada di Wembley Arena. Wasit kehormatan BWF pun sampai mengeluarkan kartu hitam pertanda diskualifikasi sebelum akhirnya keputusan itu dianulir.

Langkah Cepat BWF untuk Eksistensi Bulu Tangkis

BWF, sebagai induk organisasi bulu tangkis dunia tentu mendapat malu dengan kejadian ini. Sejatinya, protes tentang pilih-pilih hasil pertandingan sering bergema di turnamen biasa. Cina menjadi pelaku utama pada era ini mengingat mereka memiliki lapisan pemain yang tebal. Walkover sesama pemain Cina menjadi pemandangan biasa tetapi BWF tidak banyak bertindak karena mengaku hal itu sulit dibuktikan.
Namun tidak untuk kali ini. Mata dunia tengah tertuju pada Olimpiade dan Wembley Arena pun menjadi bagian dari Olimpiade. Tak pelak, BWF pun harus bersikap tegas.

Sikap tegas BWF mutlak diperlukan oleh mereka karena mereka jelas ingin bulu tangkis tetap eksis di Olimpiade. Jika mengulur waktu, makian dan kecaman terhadap mereka akan semakin kuat terdengar dan pastinya itu berarti peluang memperpanjang eksistensi bulu tangkis di Olimpiade selepas 2016. Karena itu, tak sampai 24 jam selepas drama tersiar, maka empat pasang yang terlibat didiskualifikasi dari Olimpiade dan kehilangan harapannya untuk meraih medali.

Format penyisihan grup yang diterapkan oleh BWF pada Olimpiade kali ini dihadirkan bukan tanpa alasan. Format ini diharapkan bisa membawa penyegaran dan terciptanya pertandingan yang lebih kompetitif dengan durasi yang lebih panjang. Selain itu, untuk para atlet yang tergolong bukan atlet elit, mereka setidaknya punya kesempatan bertanding lebih banyak yang artinya kesempatan untuk mempopulerkan bulu tangkis lebih besar. Kesemua hal itu jelas tujuannya untuk memperpanjang nafas bulu tangkis di kancah Olimpiade yang kontraknya saat ini masih tersisa di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.

Namun BWF sendiri seolah lupa. Mereka belum terbiasa dengan sistem penyisihan grup dimana hal itu bukan sesuatu hal yang lumrah dalam sistem turnamen mereka. Seluruh seri turnamen premier super series, super series, grand prix gold, hingga turnamen di bawahnya plus kejuaraan dunia selalu memakai format sistem gugur. Satu-satunya turnamen yang memakai sistem penyisihan grup ada final super series yang diadakan di penghujung tahun.

Lantaran tidak biasa, maka banyak celah di format baru ini. Pertandingan penentuan tidak dilaksanakan bersamaan karena memang akan sangat sulit untuk menentukan pertandingan mana yang bakal menjadi penentuan. Alhasil, munculnya skenario seperti yang sudah terjadi kemarin adalah sebuah resiko dari sistem yang memiliki celah.

Sebaiknya untuk format penyisihan grup, BWF cukup mengistimewakan unggulan pada babak penyisihan saja, tidak sampai detil hingga masuk ke fase knock out. Setelah penyisihan grup selesai, maka drawing dilakukan kembali dengan pembedaan antara juara grup dan runner up grup diletakkan di dua pot yang berbeda layaknya tata cara pengundian Liga Champions di sepak bola. Dengan begini, peluang main mata dan bersandiwara akan lebih kecil terjadi karena semua akan bergantung pada hasil undian nantinya. Semoga hal ini jadi pelajaran bagi semua pihak yang terkait di masa depan.