Ya! Bulu tangkis Indonesia gagal dan
itulah yang kemudian menjadi perhatian banyak orang. Mengapa tim Thomas
dan Uber Indonesia hanya bisa bertahan hingga perempat final terus menjadi
pertanyaan. Yang paling disorot tentu performa Tim Thomas yang benar-benar buat
semua orang cemas. Berhenti untuk pertama kalinya di babak perempat final,
apalagi di tangan Jepang, jelas membuat semua orang terheran-heran.
Inilah gambaran utama di negeri ini.
Bulu tangkis Indonesia memang terlalu hebat di masa lalu, sehingga semua
kejayaan menjadi sebuah kebiasaan. Ketika Indonesia mulai terpuruk ke jurang
hampa prestasi, barulah semua orang ramai-ramai bertanya apa yang terjadi saat
ini?
Banyak masalah yang bisa ditunjuk
sebagai sebab kegagalan Indonesia sehingga bisa sampai seperti ini. Semua pihak
yang terkait bertanggung jawab untuk menyelesaikan urusan dan kewenangan mereka
masing-masing.
Yang pertama, PBSI butuh sadar diri
bahwa banyak luka dalam tubuh mereka. Contoh sederhananya saja, mereka tak
mampu menjaga kekompakan tim Thomas dengan membiarkan Markis Kido pergi ke
Papua untuk eksebisi seminggu jelang pertandingan. Sementara untuk tim Uber,
polemik soal siapa yang berangkat ke Olimpiade London 2012 antara Maria Febe
atau Adriyanti Firdasari jelas sedikit merusak konsentrasi mereka berdua di
ajang ini.
Hal itu sendiri hanya sebagian kecil
dari kontroversi yang ada di PBSI. Soal pemilihan pemain dan pencoretan pemain,
peran pelatih asing, dan ketiadaan kontrak pelatih lokal belum dibahas detil di
sini.
Yang kedua, Pemerintah harus
membantu PBSI berbenah diri dari segi fasilitas penunjang. Tak bisa lagi
omongan bahwa di jaman dulu, dengan semangat nasionalisme di tangan semua bisa
berjalan dan kemenangan diraih di tangan. Di jaman maju seperti sekarang,
pengaplikasian teknologi yang berkembang jelas menjadi suatu keharusan.
Berkunjung ke Cipayung, jelas sentra
pembinaan pebulu tangkis Indonesia itu sudah mulai terlihat kelelahan mengejar
jaman. Tak ada jogging track, alat fitness yang kurang menjadi sebuah
pemandangan memprihatinkan. Belum lagi soal penanganan cedera yang tentunya
tidak semaju di negara-negara saingan.
Selama ini, untuk pemberangkatan
atlet, PBSI menggunakan dana dari sponsor. Pemerintah hanya turun tangan ketika
pertandingan tersebut dekat dengan ajang multi event seperti
Olimpiade, Asian Games, dan SEA Games. Itu pun hanya untuk beberapa
pertandingan sementara pemain harus rutin mengikuti pertandingan selama satu
tahun penuh. Dengan kondisi demikian, maka saat terpuruk inilah
Pemerintah mengambil peran. Jika tak bisa rutin menggelontorkan dana
pengiriman, maka buatlah fasilitas bantuan yang diperlukan di pelatnas
Cipayung. Dananya akan lebih besar namun keuntungannya jelas bisa dipetik dalam
jangka panjang.
Yang ketiga, untuk para pemain,
kembali harus disadarkan bahwa menjadi atlet bukan hanya sekedar bahwa mereka
adalah harapan rakyat untuk mengharumkan nama bangsa. Lebih dari itu semua,
atlet adalah profesi dan mereka harus bisa bertanggung jawab pada diri sendiri.
Secara materi dan ekonomi, generasi saat ini mendapatkan hal yang lebih baik
dibandingkan para senior mereka dulu kala. Jadikanlah hal itu untuk semakin
termotivasi untuk berprestasi, jangan malah hal tersebut membuat mereka lebih
mudah berpuas diri. Jika semua sudah berjalan signifikan, maka keberhasilan
kemungkinan besar akan kembali menjadi sebuah kebiasaan.