Minggu, 29 Januari 2012

Mendung Tak Berarti Hujan, Tapi….

Ketika melihat mendung menggelayut di langit, maka otomatis hal yang terlintas di dalam benak adalah mempersiapkan payung ataupun memakai jas hujan. Karena itu tak salah kan jika sejak saat ini kita bersiap dan mencoba lapang dada andai tradisi emas bulu tangkis di ajang Olimpiade tidak berlanjut di London bulan Agustus nanti jika melihat hasil terkini ?

Ada pepatah yang membesarkan hati kita, bahwa mendung tak berarti hujan. Kegagalan dalam beberapa tahun terakhir disambung kegagalan di dua turnamen pembuka tahun 2012, Korea Premier Super Series dan Malaysia Terbuka Super Series tidak menjamin bahwa kita pasti gagal di Olimpiade 2012 mendatang. Pun begitu halnya andai kita terus-menerus gagal di berbagai turnamen berikutnya seperti All England dan Indonesia Terbuka, tidak ada satu pun orang yang berani menjamin seratus persen bahwa kita juga kelak akan gigit jari di London Agustus nanti.

Namun jika berbicara hal yang lazim, maka lebih banyak mendung yang berakhir jadi hujan. Sama halnya dengan lazimnya jika hasil selama persiapan tidak baik, maka hasil pada pertempuran utama pun kemungkinan besar tidak baik.

Dari beberapa nama pebulu tangkis Indonesia yang menyabet emas Olimpiade pun rata-rata adalah nama-nama yang memang sudah dipersiapkan dan sudah diperhitungkan. Mereka layaknya matahari yang diyakini akan memberikan sinar cerah kebahagiaan bagi para rakyat Indonesia.

Di Olimpiade 1992, Susi Susanti sudah diharapkan jadi juara, pun begitu halnya dengan duet Ricky Subagdja/Rexy Mainaky empat tahun kemudian di Atlanta. Candra Wijaya/Tony Gunawan menjadi andalan di Sydney tahun 2000, sama seperti saat Markis Kido/Hendra Setiawan dijagokan di Beijing empat tahun lalu.

Mungkin yang sedikit di luar pakem adalah Alan Budikusuma (medali emas tunggal putra 1992) dan Taufik Hidayat (medali emas tunggal putra 2004). Alan meraih emas saat dirinya menjadi unggulan di luar empat besar sementara Taufik menjadi yang terbaik saat tidak menjadi unggulan delapan besar.

Untuk kasus Alan sendiri, PBSI tak sepenuhnya salah karena Ardi B. Wiranata yang dijagokan untuk tunggal putra saat itu berhasil melaju hingga final sebelum dikalahkan Alan. Jadi yang benar-benar di luar pakem adalah saat Taufik memenangi Olimpiade Athena 2004 dengan status tak masuk daftar unggulan.

Dengan perbandingan 1 : 5 jelas bisa dilihat bahwa mayoritas sukses Indonesia adalah sukses yang terkondisikan alias para pemain yang memenanginya kebanyakan adalah pemain yang memang sejak awal sudah diandalkan.

Pakem seperti itu sejatinya juga masih dianut oleh PBSI saat ini. Hadi Nasri, Kabid Binpres PBSI berkali-kali menyebutkan bahwa yang bisa dan pantas diharapkan meneruskan tradisi medali emas adalah mereka yang duduk di unggulan empat besar. Dan celakanya, saat ini hanya ada Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir untuk posisi tersebut.

Tontowi/Liliyana sendiri kini mulai menunjukkan performa yang labil setelah pada awal 2011 lalu mampu mencuat dan melesat ke posisi nomor dua dunia. Sebabnya mungkin, tidak lain karena mereka terbebani dengan status sebagai satu-satunya harapan dan andalan yang logis untuk memenangi emas.

Jika ditanya, jelas mereka tak mengakui bahwa mereka terbebani dengan status harapan tunggal, namun tak bisa dimungkiri Tontowi khususnya adalah pebulu tangkis yang baru akan menjalani debut Olimpiadenya.

Lalu bagaimana solusinya ? Jangan biarkan Tontowi/Liliyana jadi matahari harapan sendirian. Mohammad Ahsan/Bona Septano pun punya peluang untuk melakukan hal tersebut. Lebih ekstrem lagi, kita berharap Taufik dan Kido/Hendra yang dulu pernah bersinar terang kembali bersinar khusus untuk Olimpiade kali ini.

All England dan Indonesia Terbuka menjadi tes sesuai untuk mengukur kadar sinar para matahari harapan ini. Jika kembali redup di dua ajang tersebut, itu artinya mendung benar-benar menggelayut. Jika mendung benar-benar terus berlanjut hingga sedetik jelang Olimpiade dimulai, maka bersiaplah menerima hujan yang berarti duka nasional karena tak ada kilauan emas untuk kontingen Indonesia.