Selasa, 13 Maret 2012

Tontowi/Liliyana dan Sejarah Tak Menyenangkan Ganda Campuran di All England serta Olimpiade



Sejak ganda campuran resmi dipertandingkan di Olimpiade Atlanta 1996, maka sejak saat itulah para negara papan atas bulu tangkis tak main-main dalam menyiapkan kekuatannya. Jika sebelumnya pemain ganda campuran adalah pemain yang merangkap pada nomor lainnya, maka sejak itu banyak pemain yang memang memiliki spesialisasi nomor ganda campuran.

Mulai tahun 1996 hingga sekarang pula, ada dua nama ganda campuran yang menjadi kekuatan utama Indonesia, yaitu Tri Kusharjanto/Minarti Timur dan kemudian tampuk tersebut diserahkan pada Nova Widianto/Liliyana Natsir.

Ada banyak persamaan dari dua ganda campuran Indonesia tersebut. Sama-sama banyak gelar dan pernah menduduki posisi nomor satu dunia. Negatifnya : keduanya hanya sama-sama menjadi runner up di All England dan Olimpiade.

Tri/Minarti menjadi runner up pada All England 1997 dimana mereka kalah dari Liu Yong/Ge Fei (Cina) dengan skor 10-15, 2-15. Untuk Olimpiade, kepahitan mereka rasakan di Olimpiade Sydney 2000 saat di final mereka kembali bertekuk lutut dari pasangan Cina lainnya, Zhang Jun/Gao Ling, 15-1, 13-15, 11-16.

Berlanjut ke Nova/Liliyana, duet ini bisa dikatakan meraih prestasi yang lebih tinggi dibandingkan Tri/Minarti. Hal ini dibuktikan oleh status juara dunia yang sukses mereka sandang sebanyak dua kali yaitu tahun 2005 dan 2007. Namun sayangnya, torehan lain Nova/Liliyana semakin menegaskan bahwa ganda campuran tak akrab dengan All England dan Olimpiade.

Nova/Liliyana dua kali jadi runner up All England pada tahun 2008, kalah dari Zheng Bo/Gao Ling, 21-18, 14-21, 9-21, dan tahun 2010, menyerah di tangan Zhang Nan/Zhao Yunlei, 18-21, 25-23, 18-21. Untuk Olimpiade, Beijing 2008 menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Nova/Liliyana saat mereka takluk dari ganda Korea, Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung, 11-21, 17-21.

Lalu bagaimana dengan duet Tontowi/Liliyana yang memang sejak tahun 2010 langsung diharapkan bisa tampil sebagai suksesor Tri/Minarti dan Nova/Liliyana ? Duet yang baru berusia dua tahun ini langsung menggebrak dan memutus rantai kutukan ganda campuran di All England yang bahkan sudah dimulai sejak tahun 1979 saat terakhir kali Christian Hadinata/Imelda Wiguna mampu bertahta. Lewat permainan agresif, Tontowi/Liliyana merengkuh juara dengan mengalahkan Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl, 21-17, 21-19.

Dengan keberhasilan ini apakah Tontowi/Liliyana semakin meyakinkan sebagai andalan di Olimpiade London 2012 mendatang sekaligus mengakhiri kutukan ganda campuran di Olimpiade ? Tunggu dulu, selain sejarah kurang menguntungkan untuk ganda campuran Indonesia di Olimpiade, ada satu sejarah lagi yang harus dilawan oleh Tontowi/Liliyana.

Sejarah lain yang harus dilawan adalah sejarah ganda campuran dalam kapasitas keseluruhan, bukan hanya lingkup Indonesia melainkan seluruh dunia. Ya, sejak tahun 1996 dimana ganda campuran mulai dipertandingkan di Olimpiade, tak pernah ada juara All England di tahun Olimpiade yang mampu memenangi Olimpiade.

All England 1996 milik Park Joo-Bong/Ra Kyung-min (Korea), namun emas Olimpiade direbut oleh rekan senegara mereka Kim Dong-moon/Gil Young-Ah. Tahun 2000, All England dimenangi oleh Kim Dong -moon/Ra Kyung-min tetapi Zhang Jun/Gao Ling yang berhak atas emas Olimpiade.

Empat tahun berselang, cerita tahun 2000 kembali terulang. Tahta All England dikuasai oleh Kim Dong-moon/Ra Kyung-min , namun Zhang Jun/Gao Ling sukses mempertahankan emas Olimpiade. Di edisi terakhir pada Beijing 2008, Zheng Bo/Gao Ling jadi juara All England tetapi mereka harus rela Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung (Korea) jadi juara Olimpiade.

Dengan kondisi demikian, jelas rakyat Indonesia sangat berharap bahwa Tontowi/Liliyana mampu kembali mendobrak sejarah tak menyenangkan ganda campuran Indonesia di Olimpiade sekaligus menghapus kutukan juara All England tak mampu memenangi Olimpiade di tahun yang sama.

Tontowi/Liliyana terbukti memiliki kapasitas dan kualitas. Tinggal kini mereka dan pihak-pihak di sekitar mereka seperti pelatih maupun PBSI pintar-pintar menjaga ritme permainan menuju pertandingan Olimpiade yang semakin dekat. Yang patut diingat, ganda campuran saat ini menjadi salah satu nomor dimana persaingan amat ketat dan berat. Kepercayaan diri Tontowi/Liliyana bertambah setelah jadi juara All England itu pasti, tetapi jangan lengah, karena rival-rival berat mereka akan terus mengamati dan menyimpan dendam di dalam hati.

Rabu, 07 Maret 2012

Berharap Berakhirnya Kutukan ‘All End-Land’




Tidak. Tak ada yang salah dari judul yang ditulis di atas.  Event All England yang berlangsung pada 6-11 Maret untuk edisi 2012 ini memang sepertinya telah berubah nama menjadi ‘All End-Land’ atau saya artikan sebagai negeri dimana semua pemain Indonesia gugur, dalam beberapa tahun terakhir. Sejak Candra Wijaya/Sigit Budiarto menggenggam mahkota pada tahun 2003, tak ada lagi ksatria-ksatria Indonesia yang sukses menggapai tahta pada tahun-tahun berikutnya. Total sudah delapan tahun Indonesia tak memiliki juara All England, sebuah ironi jika kita masih menganggap Indonesia sebagai negara bulu tangkis.

Celakanya, jika pada 3 tahun lalu dan sebelumnya kita masih bisa berharap banyak lantaran memiliki pemain-pemain mumpuni, maka untuk dua  tahun belakangan termasuk tahun ini kita pun sudah dihitung kalah sejak catatan di atas kertas. Dari daftar unggulan yang ada, hanya Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (unggulan keempat ganda campuran) dan Mohammad Ahsan/Bona Septano (unggulan ketujuh ganda putra) yang masuk dalam daftar unggulan, di luar itu tak ada lagi para pemain Indonesia.

Dengan kondisi demikian, maka praktis hanya Tontowi/Liliyana yang benar-benar dihitung memiliki kapasitas untuk bisa menjadi juara. Itupun tidak mudah karena duo ganda Cina Zhao Yunlei/Zhang Nan dan Xu Chen Ma Jin siap menjadi penjegal utama. Belum lagi tantangan lain dari pemain macam Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen (Denmark).

Perjuangan lebih berat ada di tangan Ahsan/Bona. Jelas masih berat untuk Ahsan/Bona diharapkan mampu meruntuhkan dominasi ganda papan atas macam Cai Yun/Fu Haifeng (Cina), Jung Jae Sung/Lee Yong Dae (Korea), dan Mathias Boe/Carsten Mogensen (Denmark).

Bagaimana dengan Taufik Hidayat dan Markis Kido/Hendra Setiawan ? Menilik ambisi, jelas mereka masih memiliki gairah besar terhadap turnamen ini lantaran belum pernah memenanginya. Koleksi emas Olimpiade, status juara dunia belum mereka lengkapi dengan mahkota juara All England. Namun jika melihat kemampuan, Taufik dan Kido/Hendra pun memilih bersikap realistis terhadap situasi yang ada sekarang.
Taufik kesulitan masuk dalam rivalitas Lee Chong Wei dan Lin Dan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, sementara Kido/Hendra terus menunjukkan grafik menurun sejak memenangi medali emas Asian Games 2010 lalu.

Realita berubahnya All England menjadi ‘All End-Land’ bagi para pemain Indonesia pun bisa dilihat dari kekhawatiran masyarakat pencinta bulu tangkis Indonesia. Andai pada dekade 1990-an mungkin masyarakat Indonesia berbicara tentang peluang final yang mungkin bisa mempertemukan sesama pemain Indonesia, maka untuk tahun-tahun belakangan ini, kita pun sudah disibukkan oleh pertanyaan mampukah wakil-wakil Indonesia melewati babak-babak awal.

PBSI sebagai induk organisasi bulu tangkis di Indonesia pun tak berani memberikan angin surga bagi para penikmat bulu tangkis di Indonesia. Mereka memilih sikap realistis seraya berharap agar pemain bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Memang, jika secara teknis dan kualitas kita kalah dalam hitung-hitungan di atas kertas, mari berharap bahwa All England tetap memegang sifat khas sebuah olahraga, yaitu menang-kalah tak bisa ditentukan sebelum pertandingan berakhir. Selalu ada peluang untuk Indonesia bisa tersenyum di All England tahun ini, termasuk dengan bantuan dewi fortuna yang sepertinya sudah lama tak hinggap di kubu Indonesia. Dengan begitu, All England akan kembali menjadi turnamen All England, turnamen dimana nama-nama seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, Ade Chandra/Christian Hadinata, Susi Susanti, dan Ricky Subagdja/Rexy Mainaky pernah berkuasa, bukan berubah nama menjadi ‘All End-Land’, dimana Inggris berubah menjadi tanah petaka bagi para pebulu tangkis Indonesia.


-Putra Permata Tegar Idaman-