Selasa, 13 September 2011

Federer, Selalu Ada yang Pertama Untuk Segala Hal…



Novak Djokovic berteriak gembira usai pukulan Roger Federer terlalu melebar yang membuatnya akhirnya memenangkan pertandingan dengan skor 6-7(7-9), 4-6, 6-3, 6-2, 7-5. Federer kemudian menghampiri net dan menyalami sang rival dengan penuh sportivitas. Meski demikian, dari matanya terlihat jelas bahwa Federer tengah mengalami kekecewaan luar biasa di pertandingan tersebut.


Ya, dengan kegagalan ini, maka sirnalah sudah harapan Federer untuk meneruskan rekor bagusnya untuk selalu meraih minimal satu gelar grand slam tiap tahunnya yang sudah dilakukannya sejak 2003. Itu artinya, Federer hanya mampu delapan tahun beruntun melakukannya, sama halnya dengan Pete Sampras (1993-2000) dan Bjorn Borg (1974-1981), alias gagal mengukir rekor baru sembilan tahun beruntun selalu memenangkan minimal satu gelar grand slam setiap tahunnya.


Bukan rekor yang gagal ditorehkan Federer yang sebenarnya jadi masalah, melainkan kelanjutan nasib Federer setelah ini. Maklum, tahun 2003 lalu adalah saat dimana dirinya meraih titel grand slam perdananya dan sejak itulah koleksi grand slam Federer terus bertambah hingga kini akhirnya berjumlah 16 gelar yang membuatnya menjadi pengumpul grand slam terbanyak sepanjang masa.


Karena itu wajar jika akhirnya ada pertanyaan tentang kapasitas Federer setelah tahun 2011 ini dia gagal mengisinya dengan gelar grand slam. Lebih dari itu. Sudah tujuh grand slam yang dilalui Federer tanpa gelar juara (Federer terakhir juara di Australia Terbuka 2010), dan hanya sekali saja ia berhasil menembus babak final (Prancis Terbuka 2011, kalah dari Rafael Nadal). Selebihnya, Federer gagal meraih tiket menuju partai puncak.


Kekalahan Federer dari Djokovic setelah unggul 2-0 itu sendiri seolah mengemukakan pertanyaan bahwa Federer sepertinya tidak belajar dari kesalahan di babak perempat final Wimbledon 2011 beberapa bulan sebelumnya saat dirinya tumbang di hadapan Jo-Wilfried Tsonga meskipun sudah unggul 2-0. Dua kekalahan ini mencoreng Federer karena ini adalah kekalahan pertama dan kedua bagi Federer dalam partai dimana ia sudah unggul 2-0 terlebih dulu di ajang grand slam.


Pertanyaan mengenai penurunan performa Federer memang langsung dihubungkan fakta bahwa pada 8 Agustus lalu usianya sudah menginjak 30 tahun, usia yang sering disebut tak kompetitif lagi bagi seorang petenis. Memasuki usia tersebut, petenis biasanya memilih untuk mengundurkan diri atau tetap bermain namun dengan menerima bahwa dirinya tak bisa seperti dulu lagi.


“Saya melakukan banyak hal bagus di sepanjang turnamen ini dan begitu pula di pertandingan melawan Djokovic pada babak semifinal. Sayang, saya tidak mengakhirinya dengan baik,” ucap Federer seusai pertandingan.


Memang, Federer seharusnya tidak usah berkecil hati atas kegagalan ini. Meskipun ini adalah kali pertama ia gagal memenangi gelar grand slam dalam sebuah tahun sejak ia mulai mengoleksinya, namun secara kualitas permainan di lapangan Federer masih memiliki kemampuan untuk bersaing.


Federer pun harus menyadari bahwa sebelumnya ia pun pernah merasakan untuk pertama kalinya turun ke posisi kedua setelah bertahan di singgasana nomor satu dunia selama 237 minggu beruntun dan sempat diprediksi telah tenggelam oleh dominasi Nadal pada tahun 2008 lalu. Tidak hanya itu, torehan 12 grand slam nya pun diyakini bakal sulit bertambah dan melewati rekor 14 grand slam milik Sampras saat itu.
Namun apa yang terjadi ? Federer mampu menata ulang kekuatannya dan sukses merebut grand slam AS Terbuka sebulan setelah peringkat nomor satu dunianya direbut Nadal. Lalu ia menyamai rekor Sampras dengan memenangi grand slam ke-14 di Prancis Terbuka 2009, turnamen yang belum pernah dimenanginya pada tahun-tahun sebelumnya. Puncaknya, ia kemudian memecahkan rekor Sampras pada Wimbledon 2009 dan mempertajamnya di Australia Terbuka 2010.


“Seorang juara sejati bukan hanya orang yang mampu terus memenangkan pertandingan, melainkan juga orang yang mampu bangkit dari keterpurukan,” begitulah kalimat yang sering kita dengar. Karena itu menarik melihat bagaimana Federer bereaksi setelah ia mengalami keterpurukan dengan tidak meraih satu pun gelar grand slam tahun ini. Apakah ia akan kembali bangkit atau ini adalah awal dari berakhirnya sebuah kejayaan.

Kamis, 08 September 2011

Italia dan 17 Tahun




Tahun ini, genap sudah 17 tahun saya menjadikan Italia sebagai negara favorit saya jika berbicara tentang sepak bola. Banyak generasi berganti namun Italia selalu dihati. Tak minat rasanya mendukung negara lain meskipun banyak negara yang menawarkan magnet permainan yang menawan, berbeda dari Italia yang secara umum justru sering tampil monoton dan menjemukan. Berikut rekap saya terhadap performa Italia dalam 17 tahun terakhir :

World Cup 94 (Arrigo Sacchi)
Liga Italia tengah berada dalam masa keemasan karena itu tak heran banyak pemain bintang bertaburan di skuat Italia. Karena itulah, Italia jelas menjadi salah satu favorit juara dalam turnamen ini. Selain peragaan catenaccio yang dikomandoi Franco Baresi dan Paolo Maldini, Italia berharap pada Roberto Baggio yang saat itu berstatus sebagai pemain terbaik dunia. Tampil buruk di penyisihan grup, Italia menggebrak ketika masuk selanjutnya. Sayang, Italia kalah beruntung dari Brasil di final dan kalah lewat adu penalti.

Euro 96 (Arrigo Sachi)
Italia melakukan penyegaran tim meskipun masih banyak nama alumnus World Cup 94 yang tampil di Euro 96. Ajang ini juga memunculkan nama Alessandro Del Piero sebagai harapan baru Italia bersamaan dengan tak lagi dipanggilnya Baggio. Sayang, Italia gagal lolos dari putaran grup setelah hanya main imbang 0-0 lawan Jerman di partai terakhir dimana Zola gagal mengeksekusi penalti ketika itu.

World Cup 98 (Cesare Maldini)
Italia masih menjadi favorit juara. Nama-nama besar masih berhamburan di Azzuri. Fabio Cannavaro dan Alessandro Nesta mulai mengambil peran sebagai kunci pertahanan kokoh menemani Paolo Maldini di lini belakang. Alessandro Del Piero masuk tim, begitu juga dengan Roberto Baggio, dua pemain yang dikatakan memiliki rivalitas meskipun keduanya menampik hal tersebut. Namun Del Piero gagal bersinar dan justru Christian Vieri, topskor Liga Spanyol musim itu bersama Atletico Madrid yang berhasil jadi bintang dengan torehan lima gol. Baggio juga mencatat sejarah sebagai satu-satunya pemain Italia yang mencetak gol di tiga penyelenggaraan Piala Dunia. Langkah Italia sendiri akhirnya terhenti di tangan sang juara Prancis lewat adu penalti.

Euro 2000 (Dino Zoff)
Cederanya Gianluigi Buffon membuat Francesco Toldo tampil sebagai benteng pertahanan Italia dan sukses menjadi bintang di turnamen ini. Bintang lainnya adalah Francesco Totti yang menjalani debut gemilang dalam sebuah turnamen besar dengan menjadi roh permainan Italia bersama Stefano Fiore dan Alessandro Del Piero. Taktik counter attack berjalan baik hingga final dan unggul 1-0 atas Prancis di partai puncak tersebut sebelum akhirnya Sylvain Wiltord dan David Trezeguet memupus harapan Italia.

World Cup 2002 (Giovanni Trapattoni)
Italia kembali jadi favorit turnamen lantaran bintang-bintang serie A masih hadir dan jadi kekuatan utama tim ini. Christian Vieri sukses membuktikan bahwa dirinya tetap bisa jadi ujung tombak bagi Italia. Sayang, secara keseluruhan penampilan Italia mengecewakan dan hanya lolos dengan status runner up grup. Merasa beruntung lantaran bertemu tuan rumah Korea, Italia malah tertimpa sial lantaran kalah 1-2 yang diwarnai dengan pengusiran Ahn Jung Hwan, sang penentu kemenangan Korea dari Perugia.

Euro 2004 (Giovanni Trapattoni)
Salah satu turnamen tragis bagi Italia. Italia tidak pernah kalah di turnamen ini namun harus terhenti langkahnya di penyisihan grup lantaran kalah dalam adu tie break melawan Swedia dan Denmark yang sama-sama mengoleksi lima poin. Italia bermain 0-0 melawan Denmark di laga pertama dan 1-1 versus Swedia di laga kedua.
Meski ada di urutan ketiga dengan koleksi dua poin di bawah Swedia dan Denmark yang mengoleksi empat poin, Italia tetap optimis lolos karena mereka hanya menghadapi Bulgaria sementara Swedia dan Denmark akan saling bunuh. Italia menang 2-1 atas Bulgaria, namun di waktu bersamaan Swedia dan Denmark ‘berhasil’ meraih hasil imbang 2-2. Hasil yang aneh jika dikatakan bukan skenario dari negeri skandinavia!

World Cup 2006 (Marcello Lippi)
Italia masuk ke turnamen ini dengan status yang tidak terlalu difavoritkan. Brasil, Inggris, tuan rumah Jerman dan Argentina lebih dikedepankan bisa menjadi juara turnamen. Namun berkat kehebatan lini belakang Italia yang mengandalkan Gianluigi Buffon dan Fabio Cannavaro, Italia terus melangkah. Tercatat, Italia hanya kebobolan dua gol selama turnamen dan keduanya bukan berasal dari open play (bunuh diri Christian Zaccardo dan penaltI Zinedine Zidane).
Di lini tengah Gennaro Gattuso dan Andrea Pirlo mampu menjadi roh permainan tim. Italia pun tak punya bomber hebat di turnamen ini dan gol demi gol yang mengantar mereka juara dipersembahkan oleh banyak pemain hingga akhirnya mereka sukses menjadi juara dunia lewat kemenangan adu penalti atas Prancis di partai puncak. Di turnamen ini juga Italia menghapus tragedi kalah adu penalti yang sebelumnya menimpa mereka di dua kesempatan sebelumnya (vs Brasil di Final 94 dan vs Prancis di QF 98)

Euro 2008 (Roberto Donadoni)
Mundurnya Lippi dari tim nasional usai World Cup 2006 membuat Italia menggantungkan harapan mereka pada Roberto Donadoni. Debut Italia di turnamen tersebut diwarnai dengan kekalahan 0-3 dari Belanda meski akhirnya lolos dari grup dengan status runner up. Pada babak 16 besar, Italia bertemu Spanyol dan kalah dari adu penalti. Menariknya, Italia jadi satu-satunya tim yang gagal dikalahkan Spanyol dalam waktu 90 menit di turnamen ini hingga akhirnya mereka menjadi juara.

World Cup 2010 (Marcello Lippi)
Lippi kembali namun tak ada lagi fantasista macam Alessandro del Piero dan Francesco Totti. Parahnya, dua bintang tim, Buffon dan Pirlo justru mengalami cedera dan tak tampil maksimal di turnamen ini. Dengan mengandalkan pemain ‘kelas dua’ macam Antonio Di Natale dan Fabio Quagliarella, Italia akhirnya hanya meraup dua poin dan jadi juru kunci grup.

Kesimpulan : Kekuatan bertabur bintang pun tak menjamin Italia bisa sukses di World Cup maupun Euro, terbukti di dekade 90-an dimana mereka banjir pemain bintang sampai-sampai pemain sekelas Zola, Totti, Baggio, Signori, Vialli pernah disingkirkan dari tim, tapi mereka tak mampu meraih gelar juara. Namun minim andalan seperti layaknya di World Cup 2010 juga membuat Italia tetap harus menyadari bahwa setiap tim butuh bintang, yang bisa mengubah hasil akhir lewat kemampuannya sendiri saat kolektivitas tim tak lagi bekerja sempurna.
Tim World Cup 2006 memang bukan yang terbaik jika dilihat dari materi pemain dalam 17 tahun terakhir, namun tim ini membuktikan bahwa merekalah yang sukses meraih hasil terbaik. Kuncinya, kolektivitas tim yang sempurna ditambah pesona bintang yang memancar dari beberapa pemainnya.



Senin, 05 September 2011

Cinta Tak Harus Memiliki




Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cinta memiliki definisi yang berarti suka sekali, sayang benar, terpikat, ingin sekali, dan rindu. Jika kata tersebut dimasukkan dalam kalimat apa olahraga yang paling dicintai di Republik ini ? Jelas jawabannya adalah sepak bola.
Entah itu sebagai penikmat maupun sebagai pelaku, sepak bola sudah memainkan peranan vital dalam kehidupan mayoritas rakyat Indonesia. Sebagai penikmat, contoh mudahnya, banyak televisi yang dengan sukarela memberikan tayangan sepak bola gratis kepada rakyatnya. Selain karena mereka sebagai institusi cinta sepak bola, mereka juga yakin rating penonton akan tinggi sehingga banyak iklan yang masuk dan bisa mendatangkan keuntungan bagi mereka.
Selain itu, tak terhitung betapa derasnya dukungan yang mengalir kala tim nasional bertanding. Andai kapasitas stadion Gelora Bung Karno dua atau bahkan tiga kali lipat dari kapasitas sekarang, rasanya kita boleh tetap optimistis bahwa stadion tetap bakal terisi penuh oleh para pendukung Merah-Putih.
Itu dari sisi rakyat Indonesia sebagai penikmat, dari sisi pelaku, Indonesia pun selalu menempatkan sepak bola sebagai olah raga nomor satu. Tak terhitung berapa banyak anak yang masuk ke dalam SSB (Sekolah Sepak Bola) atau sekedar klub di tingkat kelurahan saat masa kecilnya dengan harapan bisa menjadi pemain sepak bola saat besar nanti. Waktu tidur para anak Indonesia pun diiringi dengan bayangan dan harapan bahwa mereka bisa berdiri di atas lapangan berbalutkan kostum Merah-Putih kebesaran Indonesia.
Dua sisi tersebut pun didukung oleh Pemerintah dengan memberikan sepak bola dana yang lebih besar dibandingkan cabang olahraga lainnya. Dari beberapa poin di atas, sah rasanya untuk mendaulat sepak bola memang olah raga nomor satu di negeri ini.
Namun apa yang terjadi ? Cinta Indonesia kepada sepak bola ternyata tak berbalas prestasi dari olahraga sepak bola itu sendiri. Padahal jumlah Sumber Daya Manusia yang lebih dari 200 juta jiwa jelas bahan mentah untuk setidaknya memunculkan satu pesepak bola kelas dunia.
Secara tim pun sama saja. Tim nasional Indonesia maupun klub-klub Indonesia yang berlaga di kompetisi internasional tak bergigi. Mereka kalah bersaing dengan kompetitor dari negara lainnya. Andai Indonesia baru mengenal sepak bola, jelas hal ini bisa diterima, namun faktanya, Indonesia dan rakyatnya sudah menaruh cinta sejak zaman dulu kala.
Apakah ini berarti Indonesia sudah saatnya menyadari bahwa Cinta Memang Tak Harus Memiliki ? Rakyat Indonesia tulus mencintai sepak bola dan tulus menerima apapun hasil yang diberikan sepak bola ini kepada mereka ? Atau memang prestasi sepak bola itu faktor genetika sehingga tiap negara tak bisa begitu saja mencapai prestasi tingkat dunia ?