Selasa, 05 April 2011

Djokovic dan Status Tak Terkalahkan


Sejak beberapa tahun lalu, Novak Djokovic, bersama Andy Murray telah disebut-sebut sebagai calon pengganggu keperkasaan rivalitas Roger Federer-Rafael Nadal. Namun tahun berganti tahun, baru pada 2011 inilah Djokovic benar-benar menunjukkan aksinya.
Melihat rekam jejak Djokovic di tahun 2011 ini, siapapun pasti setuju bahwa Djokovic sudah mengalami peningkatan level dari sekedar pengganggu rivalitas Nadal-Federer menjadi perusak. Bagaimana tidak, ia mampu tampil sempurna dengan tidak pernah kalah di tiga bulan pertama di tahun 2011 ini. Dia tak terkalahkan di 26 partai dan merebut Australia Terbuka, ATP Dubai, Indian Wells Masters, dan Miami Masters. Borongan gelar ini sendiri membuat Federer dan Nadal menjadi hampa gelar sepanjang ini.
Dengan kemampuan superiornya, apakah tahun 2011 ini akan menjadi milik Djokovic ? Memang hampir mustahil untuk tidak terkalahkan sepanjang tahun, namun untuk bisa mendominasi tahun 2011 seperti yang dilakukan Nadal di tahun 2008 dan 2010 serta Federer pada 2009, 2007, dan tahun-tahun sebelumnya, peluang Djokovic untuk melakukan itu sangat terbuka.
Namun sebelum Djokovic berpikir mampu untuk melakukannya, ia akan mendapati tantangan berat tak lama lagi. Ya, seri ATP sebentar lagi akan memasuki seri lapangan tanah liat, lapangan yang selama ini identik dengan sosok Nadal.
Djokovic memang memiliki sedikit rekam jejak juara di lapangan tanah liat seperti pada Roma Masters 2008 ini. Namun secara keseluruhan, Djokovic hanyalah ‘batu kerikil’ jika dibandingkan oleh Nadal di lapangan tanah liat. Ya, Djokovic hanya meraih empat titel di lapangan tanah liat dimana tiga lainnya adalah turnamen kelas ATP World Tour 250 Series yang merupakan turnamen kasta keempat.
Bandingkan torehan tersebut dengan rekor Nadal. Tidak perlu mengambil waktu lama, cukup menilik ke rekor tahun lalu, dimana Nadal menyapu bersih gelar di Monte Carlo, Roma, dan Madrid Masters, plus menjadi yang terbaik di grand slam Prancis Terbuka.
Jadi jika memang Djokovic benar-benar menguasai musim ini, indikatornya akan lebih terpenuhi andai dirinya mampu setidaknya mengganggu dominasi Nadal di seri lapangan tanah liat tahun ini. Karena apa yang dilakukan Djokovic di seri lapangan jenis hard court awal tahun ini, bukanlah sesuatu yang begitu istimewa mengingat hard court adalah jenis lapangan yang paling dikuasai oleh Djokovic sejauh ini.

Minggu, 03 April 2011

Hadi Tak Bisa Langsung Abrakadabra




Setelah lowong selama tiga bulan, posisi Kabid Binpres PBSI akhirnya resmi terisi. PBSI resmi menunjuk Hadi Nasri sebagai Kabid Binpres PBSI di sisa waktu dua tahun masa kepengurusan PBSI era Djoko Santoso. Di samping Ketua Umum, jelas sudah bahwa Kabid Binpres adalah posisi paling rawan disorot, baik oleh media maupun masyarakat.
Karena itu, setibanya Hadi duduk di kursi itu, pastilah tatapan tajam para pencinta bulu tangkis Indonesia menjadi pemandangan yang lumrah bagi Hadi. Dirinya harus bisa segera membangkitkan prestasi bulu tangkis Indonesia di tingkat dunia, itulah yang ada di benak para pengharap.
Ya, Hadi memang sudah berpengalaman. Track record nya bagus jika tidak mau disebut nyaris sempurna. Ia masuk dalam tim Bidang Pembinaan dan Prestasi baik itu sebagai koordinator pelatih maupun Wakabid Binpres  pada era 1989-2002, era dimana bulu tangkis Indonesia disebut sebagai yang terhebat di dunia. Karena itu, wajar jika harapan agar Indonesia bisa kembali jaya tersemat di pundaknya.
Namun satu hal yang pasti, Hadi bukanlah pesulap yang saat ini bisa langsung berucap abrakadabra dan  semua permasalahan bulu tangkis saat ini hilang tak berbekas dan berganti menjadi kejayaan yang disambut oleh tepuk tangan penonton.
Hadi memang diharapkan sebagai pesulap handal oleh PBSI, tetapi pesulap pun butuh materi dan trik untuk mempersiapkan pertunjukannya terlebih dulu. Tidak ada pesulap yang bisa langsung naik panggung dan memunculkan kelinci dari dalam topi jika ia tak mempersiapkan triknya terlebih dulu di belakang panggung.
Inilah yang akan coba dikerjakan oleh Hadi saat ini. Ia berjanji akan mulai bergerak dan bekerja. Mulai dari menganalisa situasi yang ada pada para pemain, pelatih, hingga pengurus, sampai akhirnya nanti mulai merumuskan program berjenjang.
Dalam mempersiapkan materi ‘sulap’ nya ini, jelas Hadi butuh masukan dan kritikan. Ia pun secara terbuka menegaskan hal tersebut. Namun yang pasti, saya harap jangan ada intervensi wewenang atau bahkan ‘kudeta’ dalam upaya Hadi mempersiapkan bahan sulapnya. Biarkan Hadi memiliki otorisasi penuh dimana didalamnya terdapat celah bagi setiap pencinta bulu tangkis Indonesia memiliki tempat untuk memberi masukan.
Selagi Hadi mempersiapkan bahan sulapnya, sudilah kiranya kita sabar menantinya dengan sebuah pengharapan dan tentu doa berisi dukungan. Piala Sudirman tak mungkin jadi panggung utama untuk Hadi beraksi mementaskan sulapnya karena waktunya terlalu singkat. Namun semoga saja dari Kejuaraan Dunia 2011 yang berlanjut pada SEA Games 2011, Piala Thomas/Uber 2012, hingga Olimpiade 2012, Hadi sudah siap beraksi dan memamerkan kebolehannya menyulap prestasi bulu tangkis Indonesia dan mendapat sambutan meriah dari para penonton yang selama jantungnya terus berdegup kencang.

Bekasi, 5 April 2011

Baggio dan Cinta Pertama Saya Kepada Sepakbola


Tak mungkin bisa dilupakan, hari itu pagi di rumah suasana sudah ceria. Saya yang saat itu masih kelas 4 SD melihat Bapak begitu antusias memandangi layar kaca. Ya, saat itu di layar kaca memang World Cup 94 sedang ditayangkan secara langsung. Saya sendiri bukanlah anak yang awam dengan sepak bola. Sejak kecil, Bapak selalu mendekatkan saya dengan sepakbola, mulai dari memberikan kaos Maradona saat masih balita, memperkenalkan Sampdoria sebagai klub favoritnya, hingga mengidolakan Brasil sebagai juara Piala Dunia 1994.
Namun ternyata semua godaan yang Bapak berikan tak membuat saya jatuh cinta. Saya lebih suka memilih cinta pertama saya pada sepakbola dengan mandiri. Satu persatu pemain hebat saya amati, mulai dari Romario, Juergen Klinsmann, Hristo Stoickhov, Tomas Brolin, hingga Maradona yang saat itu berada di penghujung karirnya.
Tidak, tak satupun yang membuat hati ini tergoda. Hati ini baru berdegup kencang saat melihat tim Italia bertanding. Saya tahu Maldini, saya tahu Franco Baresi, dan saya tahu Roberto Baggio, karena dia adalah pemain terbaik setahun sebelumnya, itu yang saya baca di Koran keesokan harinya. Ya, keesokan harinya karena sehari sebelumnya saya begitu terkesima melihat sosoknya. Rambut ekor kuda jelas menjadi daya tarik paling besar dari dirinya, karena secara teknis permainan, sebagai anak delapan tahun saya pun belum tahu apa-apa.
Piala Dunia 1994 pun menjadi semakin menarik seusai saya menemukan sosok dan tim favorit yang tentu saja jatuh pada Italia. Pertandingan yang berlangsung pada Subuh atau pagi hari semakin memudahkan saya untuk mendalami kehebatan Baggio.
Bak cerita sinetron, kehebatan Baggio pun semakin meningkat seiring terus melajunya Italia. Saya semakin tergila-gila dan tak ragu untuk memilih namanya sebagai pemain favorit dalam dunia sepakbola.
Namun ternyata, apa yang diharapkan tidak selalu menjadi kenyataan. Italia yang melaju ke final dengan Baggio sebagai aktor utama gagal merengkuh trofi Piala Dunia untuk keempat kalinya dimana Baggio juga dianggap sebagai aktor utama kegagalan tersebut. Semua mencaci Baggio saat itu, tapi pendirian saya tak goyah. Dia memang tertunduk lesu usai tendangannya melayang di atas mistar, namun sosok itu justru terlihat gagah di mata saya. Meski Italia gagal juara dunia, ‘cinta’ saya terhadap Baggio justru mencapai klimaks dan mempengaruhi sikap saya terhadap dunia sepakbola di tahun-tahun berikutnya.

Djoko Santoso dan Dua Kuarter Tersisa

Bulu tangkis memang dimainkan dalam dua set/game dan terkadang berlanjut ke rubber set/game jika kedudukan masih sama kuat. Namun untuk periode kepengurusan, periode kepengurusan PBSI lebih mirip sistem pertandingan bola basket dimana terbagi dari empat kuarter dimana tiap kuarter berdurasi selama satu tahun.
Kepengurusan PBSI era Djoko Santoso memang berlabel 2008-2012, namun sejatinya, PBSI era Djoko ini baru resmi bertugas pada awal tahun 2009. Artinya, periode kepengurusan mereka dibagi menjadi empat kuarter, 2009, 2010, 2011, dan 2012.
Lebih menariknya lagi, kepengurusan PBSI ini sepertinya tetap akan berjalan sampai terakhir apapun hasil yang telah mereka capai sejauh ini. Sama halnya dengan olahraga basket, dimana tiap tim akan terus melanjutkan pertandingan meski telah tertinggal 50 angka sekalipun. Dengan kenyataan demikian, PBSI era Djoko ini masih memiliki peluang untuk menutupi hasil buruk di dua kuarter awal, dengan torehan baik yang mungkin terjadi di dua kuarter tersisa. Seperti halnya basket, yang dilihat nantinya adalah hasil akhir setelah empat kuarter (tahun), bukan hanya penampilan per kuarter saja.
Dua kuarter yang telah dilalui, performa ‘pasukan’ Djoko memang kurang bagus. Di tahun 2009, Indonesia hanya meraih lima gelar super series (dari kemungkinan maksimal 60 gelar). Pada tahun ini pula, Piala Sudirman kembali gagal direbut dan tak ada juara dunia dari Indonesia. Di ajang SEA Games, PBSI memang sukses mencapai target empat emas dan itulah salah satu keberhasilan mereka di kuarter pertama. Namun jika dibandingkan dengan hasil SEA Games 2007 dimana Indonesia memboyong tujuh emas, jelas ini merupakan sedikit kemunduran.
Performa PBSI di kuarter kedua (2010) juga belum membaik malah bisa dibilang memburuk. Indonesia hanya meraih dua gelar super series dimana satu gelar didapat oleh Taufik Hidayat, yang artinya hanya ada satu gelar yang diboyong pelatnas dari kemungkinan 60 gelar yang tersedia. Kejuaraan dunia pun bagai angin lalu bagi Indonesia lantaran tak ada gelar yang dibawa pulang. Piala Thomas/Uber pun juga tak dapat digaet oleh Indonesia. Keberhasilan di kuarter ini adalah mempertahankan tradisi emas di Asian Games lewat Markis Kido/Hendra Setiawan. Masuknya Markis/Hendra ke tim Asian Games 2010 sendiri tak lepas dari kebesaran hati para pengurus PBSI memanggil pemain di luar pelatnas dan keberanian ini patut diberi apresiasi.
Dari gambaran di atas, performa PBSI pimpinan Djoko jelas kurang menggigit di dua kuarter awal. Wajar jika akhirnya para penonton alias pecinta bulu tangkis Indonesia bersorak penuh kekecewaan. Namun tenang, kekecewaan itu masih bisa dihapus dan diganti senyum kegembiraan andai tim PBSI mampu tampil baik di dua kuarter tersisa.
Di dua kuarter tersisa ini, ada sejumlah agenda penting yang bisa dimanfaatkan untuk meraih simpati penonton. Ada Piala Sudirman, Kejuaraan Dunia, dan SEA Games di kuarter ketiga (2011), sementara di kuarter terakhir ada Piala Thomas/Uber dan juga Olimpiade London 2012. Agenda di atas tentunya dilengkapi oleh deretan turnamen Premier Super Series dan Super Series yang tetap menjadi patokan konsistensi pemain.
Meraih hasil bagus di momen-momen vital tersebut, jelas senyum penonton akan mengembang. Mereka akan lupa hasil buruk di dua kuarter awal dan tim PBSI yang dinahkodai Djoko ini pasti akan dielu-elukan di akhir pertandingan alias saat era Kepengurusan Djoko ini berakhir di 2012.
Namun kuarter ketiga sudah berjalan, kita masih harus menahan nafas apakah bakal terjadi perubahan permainan tim PBSI di dua kuarter terakhir ? Harusnya ada lantaran tim PBSI terus berujar evaluasi selalu dilakukan tiap turnamen berakhir sepanjang tahun. Ibarat permainan basket, PBSI terus meminta time out untuk mengatur strategi. Selain time out, PBSI pun punya jeda di tiap kuarter (tahun) yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membenahi diri. Semoga hasilnya bisa terlihat sebentar lagi.


Bekasi, 23 Maret 2011

Situasi Terburuk Jelang Olimpiade

All England telah usai. Indonesia kembali harus tertunduk lesu lantaran tidak kebagian jatah gelar juara. Semakin tertunduk lesu lantaran ini adalah tahun kedelapan dimana Indonesia tidak mendapat gelar juara di turnamen yang sering disebut sebagai parameter kehebatan seorang pebulu tangkis.
Mari lupakan kegagalan di All England, karena turnamen tersebut berlangsung setiap tahun dan masih banyak kesempatan untuk memperbaiki prestasi buruk yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Alangkah baiknya jika PBSI mulai sekarang telah meletakkan fokus pada Olimpiade, pesta olahraga antar bangsa di dunia ini yang hanya berlangsung empat tahun sekali dan bakal dilaksanakan di London tahun depan.
Semua tahu bahwa di era modern seperti ini, Olimpiade merupakan ‘ajang’ pengganti perang. Harga diri bangsa dipertaruhkan di pagelaran ini. Atlet tak ubahnya seperti prajurit dan tentara yang siap mempertahankan kedaulatan masing-masing Negara. Untuk Indonesia sendiri, sejauh ini baru ‘pasukan’ bulu tangkis yang bisa memberikan kemenangan (emas) dalam sejarah Olimpiade.
Sayangnya, kondisi satuan tempur bulu tangkis saat ini sendiri tidaklah dalam kondisi siaga penuh saat ini. Dibandingkan dengan kondisi sebelum Olimpiade pada gelaran-gelaran sebelumnya, patutlah kita mawas diri.
Mari kita tilik sejenak ke belakang bagaimana rekam jejak atlet-atlet Indonesia dalam masa persiapan menuju Olimpiade. Pada tahun 1992, Indonesia langsung optimistis bahwa emas Olimpiade pertama bagi Indonesia akan segera lahir setelah bulu tangkis dipertandingkan. Pasalnya pada tahun 1992, Indonesia memiliki pemain jempolan macam Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata di tunggal putra, Susi Susanti dan Eddy Hartono/Rudy Gunawan di ganda putra. Hasilnya, dua emas perdana berhasil diboyong Indonesia lewat Alan-Susi.
Situasi sama juga terjadi di Olimpiade Atlanta 1996. Indonesia memiliki Joko Suprianto dan Hariyanto Arbi (tunggal putra), Mia Audina dan Susi (tunggal putri), Ricky Subagdja/Rexy Mainaky dan Antonius/Denny Kantono(ganda putra). Meski hanya menyabet satu emas lewat Ricky/Rexy, tradisi emas dimulai sejak saat ini.
Pada tiga helatan selanjutnya, Indonesia pun selalu memiliki pemain andalan meskipun pada akhirnya Indonesia harus puas dengan raihan satu emas saja lewat Candra Wijaya/Tony Gunawan (2000), Taufik Hidayat (2004), dan Markis Kido/Hendra Setiawan (2008). Di Sydney 2000, Indonesia memiliki pemain andalan pada nama Hendrawan, Candra/Tony, dan Tri Kusharjanto/Minarti Timur. Empat tahun kemudian di Athena, Taufik, Sony Dwi Kuncoro, Flandy Limpele/Eng Hian jadi ujung tombak. Sementara di Cina tiga tahun lalu, Markis/Hendra, plus Nova Widianto/Liliyana Natsir jadi harapan meraih emas.
Dalam rangkuman di atas, terlihat jelas bahwa pada kondisi terbaik dimana pemain Indonesia banyak menempati daftar unggulan saja, Indonesia tidak lantas mendominasi perolehan emas di cabang bulu tangkis pada Olimpide. Lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini ? Saat dimana prestasi pemain Indonesia tengah dipertanyakan ?
Kita sudah tak memiliki pemain nomor satu dunia saat ini. Status juara dunia pun tidak ada yang mampir di pundak pemain Indonesia dalam dua penyelenggaraan terakhir. Pemain senior macam Taufik dan Markis/Hendra yang saat ini berkarir profesional masih menjadi yang terbaik dibandingkan juniornya. Sementara pelatnas sendiri belum mampu memproduksi ‘back up’ pemain muda yang diharapkan bisa muncul mendukung mereka. Posisi 10 besar dunia di lima nomor yang ada sepi pemain Indonesia. (hanya enam pemain dari 50 tempat yang tersedia, dan hanya dua yang berasal dari pelatnas).
Situasi ini jelas harus mendapat respon tanggap dari PBSI. Dengan sistem Olimpiade 2012 yang rencananya akan berganti menjadi sistem setengah kompetisi dimana ada babak penyisihan grup terlebih dulu, bakal lebih sulit untuk atlet Indonesia yang saat ini bukanlah unggulan untuk membuat kejutan. Tradisi emas pun kini berada di tepi jurang kegagalan.
Kualifikasi Olimpiade akan mulai berlangsung pada bulan Mei 2011-April 2012. Pemain-pemain yang diharapkan lolos ke Olimpiade semestinya sudah diberi perhatian khusus oleh PBSI. Namun bagaimana mungkin PBSI bisa fokus pada hal tersebut jika posisi Kabid Binpres masih lowong hingga saat ini ? Padahal jelas, bahwa Kabid Binpres adalah orang yang berwenang mengatur program pelatnas termasuk proyeksi atlet ke berbagai turnamen di luar negeri.
Olimpiade 2012 adalah pertaruhan terakhir bagi Kepengurusan era Djoko Santoso setelah mereka juga gagal membawa pulang Piala Thomas/Uber dan Piala Sudirman sejauh ini. Jika gagal membawa emas Olimpiade ? Siap-siap saja menjadi era Kepengurusan PBSI yang diingat oleh banyak orang, meskipun dalam konteks negatif.


Bekasi, 14 Maret 2011