Minggu, 09 Maret 2014

Iverson dan Nomor Tiga Sixers yang Abadi

Allen Iverson tidak pernah membawa gelar juara NBA ke Kota Philadelphia. Dalam 12 musim yang ia habiskan bersama Philadelphia 76ers, prestasi terbaik yang ia berikan kepada Sixers hanyalah finalis NBA pada tahun 2001. Namun hal itu tidak menghalangi Iverson mendapatkan sebuah penghargaan terbaik yang bisa didapat seorang pemain, yaitu berupa pengabadian nomor jersey miliknya.
Iverson memang sudah menjadi pusat perhatian di awal kedatangannya ke Philadelphia. Maklum, statusnya adalah draft pilihan pertama yang pastinya membuat kedatangannya diiringi oleh ekspektasi tinggi tiap pendukung Sixers. Dan hal itu pun seolah dijawab Iverson dengan tanpa halangan berarti.
Gambar
Bermain di 76 pertandingan, Iverson mencatat rata-rata poin per game hingga 23,5 poin per game. Tentu saja hal ini merupakan sebuah pencapaian luar biasa yang tak semua pemain rookie bisa melakukannya. Karena itu tak heran jika akhirnya Iverson menjadi rookie of the year tahun 1997, mengungguli sejumlah nama rookie tenar lainnya macam Ray Allen, Steve Nash, hingga Kobe Bryant.
Berakhirnya era Michael Jordan dan Chicago Bulls di pengujung 1990-an pun membuat Iverson seolah menjadi salah satu bintang baru yang berpotensi besar menggantikan posisi Jordan sebagai magnet utama NBA. Apalagi di musim perdananya, Iverson sudah dikenal publik lewat keberhasilannya melakukan cross over di tengah pengawalan Jordan. Pesaingnya tentu saja Bryant yang merupakan rekan seangkatannya.
Gambar
Musim terus berganti dan Iverson pun terus menjadi bagian penting dari Sixers. Ia selalu mencetak rata-rata poin per game di atas 20 dan akhirnya mendapat kesempatan emas untuk mengantar Sixers juara pada musim 2000-2001. Lawannya di final tak lain adalah Bryant dan Los Angeles Lakers. Keduanya sama-sama menunjukkan perlawanan gigih, namun Bryant yang hadir dengan bantuan Shaquille O’Neal akhirnya sukses membawa Lakers mengalahkan Sixers. Harapan Iverson untuk memakai cincin juara pun menguap.
Gambar
Setelah itu, Iverson terus bermain di level atas. Tubuhnya yang kecil namun tak pernah gentar menghadapi lawan-lawan yang lebih besar membuat dirinya dikagumi oleh banyak orang. Gerakan crossover pun seolah menjadi trade mark dirinya. Gaya rambut Iverson plus cara berpakaiannya pun banyak ditiru oleh penggemar NBA. Dengan demikian, mutlak sudah nama Iverson sebagai pemain NBA paling berpengaruh di awal dekade 2000-an. Berbagai penghargaan individu telah dia raih, mulai dari MVP NBA, MVP All Star, pencetak poin terbanyak selama empat musim, hingga pencetak steals terbanyak selama tiga musim. Namun di balik itu semua, tak ada satu pun gelar NBA yang ia menangi.
Hal itulah yang kemudian membawa Iverson pada keputusan untuk pergi meninggalkan Philadelphia, meninggalkan kota yang begitu ia cintai. Iverson hijrah ke Denver Nuggets dan bergabung dengan Carmelo Anthony sebagai duet maut mesin angka NBA. Harapan Iverson jelas, memenangi trofi NBA untuk pertama kali sepanjang karirnya.
Meski tergolong masih hebat dalam urusan mencetak angka, namun performa Iverson tetap menurun jika dibandingkan saat ia berseragam Sixers. Dua musim perdana di Nuggets ia masih sukses mencetak rata-rata poin di atas 20 poin per game, namun memasuki musim ketiganya di Nuggets, yaitu musim 2008-2009, Iverson untuk pertama kalinya mencatatkan poin per game di bawah 20, yaitu dengan 18,7 poin per game.
Setelah momen itu, performa Iverson terus merosot. Ditambah dengan masalah keluarga yang menghampirinya, Iverson tak pernah lagi tampil 100 persen saat berkostum Detroit Pistons, Memphis Grizzlies, hingga saat ia kembali ke Sixers di musim 2009-2010. Saat mencoba peruntungan di Besiktas, Iverson pun tak pernah kembali ke ritme permainan miliknya. Alhasil, Iverson pun kemudian memutuskan untuk meninggalkan dunia yang sudah membesarkan namanya.
“The passion for basketball is still there, but the desire to play is not.”
Itulah kalimat yang diucapkan oleh Iverson ketika dirinya mengumumkan pengunduran diri dari dunia bola basket pada akhir Oktober tahun lalu. Tempatnya di Wells Fargo Center, markas Sixers yang merupakan taman bermain Iverson sejak dulu kala. Taman bermain yang sempat ia tinggalkan di pertengahan karirnya. Sebuah keputusan yang entah disesalinya atau tidak.
“I’ll always be a Sixer until I die.”
Fans Sixers pun langsung memberikan standing ovation kepada Iverson. Iverson mungkin memang pernah pergi dari Sixers dan itu menyakitkan, namun cinta pendukung Sixers pada Iverson sudah terlanjur melekat. Iverson selalu disambut bagai pahlawan ketika ia kembali ke Wells Fargo Center.
Gambar
Dan ketika Sixers mengumumkan akan mengabadikan nomor 3 milik Iverson di Wells Fargo Center dan tak akan pernah memberikannya lagi untuk pemain lainnya sampai kapanpun, semua pun mendukung keputusan tersebut. Hal ini terlihat jelas dari seremoni proses pengabadian jersey nomor tiga milik Iverson. Bahkan 12 kekalahan beruntun yang sedang diderita Sixers di NBA saat itu tetap tak menyurutkan fans Sixers untuk memberikan pesta meriah sebagai tanda penghormatan kepada Iverson. Sekitar 20 ribu orang memadati Wells Fargo Center dan tak henti-hentinya memberikan tepuk tangan setiap Iverson selesai berkata-kata.
Gambar
“It feels good, but some part of my heart hurts because I know it’s over.”
Iverson mungkin merasa sedih karena karirnya di NBA kini sudah berakhir. Namun ia pasti bahagia karena aksi-aksinya selama berkostum Sixers akan terus dikenang sepanjang masa. Setiap saat orang yang masuk ke Wells Fargo Center dan melihat kostum nomor 3 milik Iverson tergantung di langit-langitnya, saat itu pula orang akan mengingat bahwa di arena ini pernah ada pemain yang bergerak lincah di lapangan, tak gentar menghadapi lawan, dan tak bosan-bosannya mencetak poin demi poin bagi Sixers. Iverson memang tak memberikan cincin juara, namun hal itu tak menghalangi Sixers dan para pendukungnya memberikan keabadian cinta mereka terhadap dirinya.

Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan Three-Peat All England

Repeat adalah mengulang sedangkan three-peat adalah kembali mengulang apa yang sudah diulang. Jadithree-peat adalah gabungan dari kata three dan repeat.Istilah ini erat kaitannya dengan dunia olahraga dimana ditujukan kepada seseorang  atau tim yang mampu dua kali mengulangi hal yang sama sehingga total ia melakukannya tiga kali secara beruntun, tentu saja berkaitan dengan keberhasilan menjadi juara.
Kata three-peat pertama kali mulai dipopulerkan Pat Riley dan Los Angeles Lakers dimusim 1988-1989 dimana ketika itu Lakers yang menjadi juara NBA di tahun 1987 dan 1988 kembali membidik gelar juara di tahun 1989. Karena mereka sudah melakukan repeat dengan menjadi juara kembali di tahun 1988, maka mereka pun memopulerkan istilah three-peat yang artinya kembali mengulang hal yang pernah mereka ulang. Dengan begitu, maka jika mereka mampu menjadi juara 1989, maka mereka menorehkan three-peat dan frasa ini sendiri sudah mereka populerkan dengan penulisan-penulisan di kaos, jaket, dan topi.
Namun nyatanya, Lakers justru gagal menjadi juara dan istilah three-peat baru benar-benar menjadi populer ketika Michael Jordan dan Chicago Bulls mampu menjadi juara NBA pada musim 1991, 1992, dan 1993 yang disebut three-peat jilid satu karena Bulls kembali mampu memenangi NBA tiga kali beruntun pada tahun 1996, 1997, dan 1998 yang disebut three-peat jilid dua. Setelah itu kata three-peat pun mulai populer ke berbagai cabang olahraga lainnya di dunia ini.
Berkaitan dengan Indonesia dan bulu tangkis, maka kini ada olahragawan Indonesia yang tengah berada di ambang apa yang disebut three-peat. Mereka adalah Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang akan segera terjun di All England tahun ini dengan status sebagai juara tahun 2012 dan 2013. Jika kembali menjadi juara, maka Tontowi/Liliyana akan menorehkan apa yang disebut three-peat.
Gambar
Berkaca pada fakta sejarah yang ada, maka meraih tiga gelar All England secara beruntun tidaklah mudah dilakukan oleh Tontowi/Liliyana. Di nomor ganda campuran, ganda terakhir yang mampu melakukannya adalah Park Joo-Bong/Chung Myung-hee pada tahun1989, 1990, 1991.
Sekedar catatan tambahan, ketika itu nomor ganda campuran masihlah merupakan nomor yang tidak terlalu diperhatikan dan dianggap sebagai nomor anak tiri karena di Olimpiade Barcelona 1992 pun, nomor ini belum dipertandingkan. Dengan demikian, banyak negara yang tidak terlalu memfokuskan diri pada pengembangan nomor ini sehingga tingkat persaingan pun belum seramai dekade saat ini.
Sejatinya pun ada pemain ganda campuran yang sudah melakukan three-peat setelah itu yaitu Gao Ling pada tahun 2006, 2007, dan 2008. Namun saat itu, Gao Ling melakukannya dengan pasangan yang berbeda yaitu Zhang Jun (2006) dan Zheng Bo (2007 dan 2008). Dengan demikian, maka tidak ada satu pun ganda campuran yang mampu mencatat prestasi meraih tiga gelar All England beruntun setelah Joo-Bong/Myung-hee melakukannya pada tahun 1989, padahal setelah itu banyak bermunculan ganda campuran top dunia macam Kim Dong-moon/Ra Kyung-min, Zhang Jun/Gao Ling, Nathan Robertson/Gail Emms atau bahkan dua ganda campuran top Indonesia Tri Kusharjanto/Minarti Timur dan Nova Widianto/Liliyana Natsir yang malah tak mencicipi gelar All England sama sekali.
Betapa sulitnya melakukan three-peat juga bisa dilihat dari sejarah panjang para pebulu tangkis Indonesia di All England. Dalam catatan sejarah, hanya Rudy Hartono (tujuh kali beruntun) dan Tjun Tjun/Johan Wahjudi (empat kali beruntun) yang mampu menjadi juara All England tiga kali beruntun atau lebih. Di luar itu, tak ada lagi legenda Indonesia yang mampu melakukannya. Susi Susanti juara All England empat kali namun tak pernah mencatat tiga gelar beruntun, sedangkan Liem Swie King juara All England tiga kali namun tidak mampu melakukannya secara berurutan. Di luar itu, bahkan tak ada legenda bulu tangkis Indonesia yang mampu menjadi juara All England hingga tiga kali.
Dengan fakta tersebut, maka jelas andai Tontowi/Liliyana mampu mencatatkan three-peat tahun ini, maka hal itu akan menjadi jaminan bahwa kelak mereka akan menjadi salah satu legenda yang tidak akan kalah pamor dari deretan legenda-legenda bulu tangkis Indonesia lainnya. Mereka punya three-peat All England dan mereka tak akan minder berdiri berjajaran dengan para pengharum nama Indonesia di kancah bulu tangkis dunia.
Gambar
Betapa luar biasanya Tontowi/Liliyana andai mampu melakukan three-peat juga bisa dilihat dari persaingan bulu tangkis dunia secara keseluruhan. Sejak Cina aktif ambil bagian dari kompetisi bulu tangkis dunia, hanya Ye Zhaoying (1997, 1998, 1999), Xie Xingfang (2005, 2006, 2007), Ge Fei/Gu Jun (1996, 1997, 1998) Gao Ling/Huang Sui (2001, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006), dan Park Joo-Bong/Chung Myung-hee (1989, 1990, 1991) yang mampu meraih tiga gelar All England atau lebih secara beruntun. Ini artinya hanya sedikit dari bintang-bintang bulu tangkis dunia yang mampu menampilkan konsistensi, fokus, dan determinasi di All England secara kontinyu dan konsisten selama tiga tahun beruntun.
Persiapan yang dilakukan Tontowi/Liliyana sudah matang. Motivasi mereka untuk menjadi juara pun tetap tinggi. Kini tinggal menunggu bagaimana performa mereka di lapangan. Banyak yang menyebut bahwa persaingan ganda campuran saat ini dikontrol oleh empat besar yaitu Zhang Nan/Zhao Yunlei, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, Xu Chen/Ma Jin, dan Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen. Kemampuan empat ganda ini sejajar dan pertarungan sengit yang sulit diprediksi pasti terjadi ketika mereka bentrok di lapangan. Jika sudah begitu, tinggal berharap bahwa Minggu 9 Maret mendatang adalah memang Minggu untuk Tontowi/Liliyana berbahagia di podium teratas National Indoor Arena.
-Putra Permata Tegar Idaman-

All England dan Indonesia

Siang sudah berganti malam tatkala para pemuda mulai keluar dari rumah mereka. Tak lupa senter menjadi barang andalan yang mereka bawa di tangan. Setelah semua kawanan lengkap, mereka pun bergegas melangkah ke tempat tujuan. Setibanya di sana, mereka merasa lega karena belum banyak orang yang datang sehingga mereka pun bisa mendapat tempat yang lebih dalam.
Waktu yang mereka tunggu akhirnya tiba. Acara pun dimulai. Sorak-sorai tak tertahankan seiring memanasnya pertunjukkan yang mereka tonton. Beruntung bagi mereka yang datang lebih dulu dan berada lebih dekat dengan objek tontonan utama yang ada di ruangan itu. Jika datang telat, maka harus menerima nasib berada di tempat yang lebih jauh dari objek tontonan utama di ruangan tersebut.
Deskripsi di atas adalah sebuah gambaran bagaimana pemuda hingga orang dewasa menghabiskan waktunya di era 70-an. Ketika itu televisi masihlah merupakan barang mewah dan bulu tangkis tengah meroket popularitasnya di Indonesia. Jadilah akhirnya setiap Final All England digelar, maka Kelurahan yang bisa jadi menjadi tempat satu-satunya yang memiliki televisi di desa-desa diserbu warga untuk melakukan ritual nonton bareng All England. Tokoh utamanya siapa lagi kalo bukan Sang Maestro Rudy Hartono.
Gambar
All England memang begitu lekat dengan bulu tangkis dan juga dengan mulai mengangkasanya kejayaan Indonesia di olahraga ini. Bersama dengan kejayaan di Piala Thomas, nama Indonesia mulai disegani oleh negara-negara lainnya di persaingan bulu tangkis dunia berkat torehan prestasi para pemain Indonesia di All England. Bukan hanya bagi Indonesia, turnamen ini sendiri juga memegang prestise tertinggi bagi tiap negara yang berlomba-lomba ingin menjadi yang terbaik di olahraga ini.
Sebelum Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis resmi bergulir pada 1977, All England sering disebut-sebut sebagai Kejuaraan Dunia Tak Resmi. Yang memenangi All England boleh dibilang sudah layak menyandang status sebagai pemain terbaik dunia ketika itu. Pun begitu halnya ketika Kejuaraan Dunia sudah resmi bergulir, All England tetap menjadi salah satu cita-cita dan titel yang ingin diraih oleh para pebulu tangkis di dunia ini semasa dirinya aktif bermain.
Status All England sebagai turnamen bergengsi pun tak jua lekang ketika Badminton World Federation mengelompokkan level turnamen ke golongan super series dan kemudian menjadi super series premier pada 2011 bersama empat turnamen lainnya. Meski All England menghadirkan hadiah lebih kecil dibandingkan beberapa turnamen super series premier lainnya, All England tetap memiliki magnet dan daya tarik tersendiri bagi tiap pebulu tangkis di negeri ini. Sisi historis panjang yang melekat di turnamen ini membuat pesona mereka sulit untuk disaingi oleh turnamen super series premier lainnya. Rasanya hanya Kejuaraan Dunia dan Olimpiade yang mampu menyaingi reputasi All England sebagai sebuah turnamen.
Berbicara masa lalu dan berbicara kenyataan saat ini, Indonesia sendiri sepertinya sedang tidak akrab dengan All England. Sebelum Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir keluar sebagai penyelamat dengan meraih gelar dua tahun terakhir (2012 dan 2013), Indonesia sempat hampa gelar sepanjang delapan tahun penyelenggaraan All England. Sebuah hal yang tentunya ironis mengingat All England adalah salah satu pijakan Indonesia memegang status sebagai negara kuat di dunia bulu tangkis pada masa silam.
Gambar
Gambar
Untuk tahun ini PBSI berharap bisa meraih dua gelar di All England. Harapan ini tentunya merupakan sebuah target yang terbilang berani di tengah minimnya andalan yang mumpuni untuk meraih gelar juara di berbagai turnamen internasional.
Kapan terakhir kali Indonesia meraih lebih satu gelar di All England? Ternyata tepat 20 tahun lalu. Bukan hanya dua gelar, melainkan tiga gelar juara yang dipersembahkan oleh Hariyanto Arbi, Susi Susanti, dan Gunawan/Bambang Suprianto.
Setelah itu momen itu,  hanya ganda putra yang masih rutin menyumbangkan gelar juaranya. Torehan ganda putra itu pun akhirnya benar-benar terhenti setelah kemenangan Candra Wijaya/Sigit Budiarto pada tahun 2003. Dengan demikian maka sudah 10 tahun penyelenggaraan para ganda putra Indonesia tak lagi mampu menjadi juara di All England. Nasib tunggal putra dan tunggal putri lebih miris karena nyatanya Hariyanto Arbi dan Susi Susanti menjadi orang terakhir yang terakhir kali berjaya di nomor mereka masing-masing.
Lalu bagaimana peluang untuk memenangkan lebih dari satu gelar tahun ini? Seperti sudah bisa ditebak banyak orang, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir kembali diandalkan sebagai pasukan terdepan ketika berbicara peluang meraih gelar juara. Mundur ke belakang sedikit, ada Tommy Sugiarto yang tahun ini juga diberi sedikit beban dan harapan lantaran statusnya sebagai unggulan ketiga di nomor tunggal putra.
Hal ini terasa wajar lantaran dalam lima tahun terakhir penyelenggaraan All England yang artinya total ada 25 gelar juara, 15 gelar diantaranya alias 60 persen direbut oleh pemain dengan posisi unggulan empat besar. Dengan demikian, maka mayoritas memang para unggulan empat besar yang berpeluang besar untuk meraih gelar juara.
Gambar
Gambar
Di luar Ahsan/Hendra, Tontowi/Liliyana, dan Tommy, Indonesia masih punya tiga pemain lagi yang menempati daftar unggulan yaitu Angga Pratama/Rian Agung (unggulan keenam ganda putra), Pia Zebadiah/Rizki Amelia (unggulan ketujuh ganda putri), dan Markis Kido/Pia Zebadiah (unggulan keenam ganda campuran).
Peluang para pemain ini untuk menjadi juara pun tidak sepenuhnya tertutup. Dalam lima tahun terakhir, ada empat pemain unggulan namun di luar unggulan empat besar yang mampu menjadi juara yaitu Tine Baun (unggulan ketujuh) di 2013, Li Xuerui (unggulan ketujuh) di 2012, Cai Yun/Fu Haifeng (unggulan ketujuh) di 2009, dan Zhang Yawen/Zhao Tingting (unggulan ketujuh) di 2009.
Lalu bagaimana peluang pemain yang tidak masuk dalam daftar unggulan untuk bisa menjadi juara? Fakta di lima tahun terakhir, justru ada enam pemain non unggulan yang mampu menjadi juara All England yaitu Liu Xiaolong/Qiu Zihan (2013), Xu Chen/Ma Jin (2011), Tine Baun (2010), Lars Paaske/Jonas Rasmussen (2010), Zhang Nan/Zhao Yunlei (2010), dan Wang Yihan (2009).
Dengan gambaran kekuatan seperti itu, bagaimana kira-kira gambaran pujian yang layak disematkan bagi pebulu tangkis Indonesia nantinya? 1 gelar = hebat. 2 gelar = luar biasa. 3 gelar atau lebih = fantastis!
Selamat berjuang!!
-Putra Permata Tegar Idaman-

Hendra Setiawan dan Obrolan di Pengujung 2013

Recent update BBM milik saya pada Rabu (19/2) jelang siang dihiasi oleh foto sepasang bayi kembar. Di sebelahnya, tertulis nama Hendra Setiawan. Ternyata, Hendra dan istrinya, Sandiani Arief baru saja dianugerahi sepasang bayi kembar laki-laki dan perempuan.
Peristiwa ini pun kemudian membawa ingatan ke waktu beberapa bulan sebelumnya di pengujung 2013. Ketika itu, selepas sesi latihan pagi di GOR Pelatnas Cipayung, Hendra sempat berbincang-bincang mengenai target di tahun 2014 dan harapan-harapan besarnya.
Meski sudah meraih banyak gelar bergengsi, mulai dari medali emas Olimpiade, juara dunia (dua kali dengan pasangan yang berbeda), Asian Games, SEA Games, hingga sederet titel BWF  super series/premier, namun Hendra seperti belum puas dengan koleksi gelar yang dimilikinya. Maklum saja, gelar All England masih menari-nari menggoda untuk dimiliki.
Karena itulah, Hendra pun tak ragu untuk menyebut All England sebagai buruan utamanya di tahun 2014, selain tentunya ingin mempertahankan gelar juara dunia dan merebut kembali medali emas Asian Games, plus menjadi tulang punggung Indonesia untuk meraih Piala Thomas untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir.
Gambar
All England memang masih menjadi mimpi besar Hendra. Meski sudah mulai jadi ganda yang diperhitungkan di level dunia sejak bertahun-tahun silam saat berpasangan dengan Kido, Hendra belum pernah sekalipun merasakan nikmatnya mengangkat trofi All England. Karena itulah, tahun 2014 ini dianggap sebagai kesempatan terbaik untuk Hendra meraih gelar All England.
Pasalnya duet Ahsan/Hendra yang baru berusia satu tahun lebih tengah menjadi mata badai di persaingan nomor ganda putra dunia. Mereka tengah berada di performa terbaik dan memiliki kesempatan besar merebut gelar All England.
Berbicara panjang lebar soal target dan harapan, kemudian pembicaraan pun berlanjut pada fakta bahwa Ahsan dan Hendra akan menyandang status Ayah pada tahun 2014 ini. Di sinilah kemudian sisi menariknya, jika Ahsan diprediksi akan menjadi Ayah pada bulan Januari, maka Hendra justru diprediksi kemungkinan akan menjadi Ayah pada Februari hingga awal Maret.
Awal Maret adalah waktu pelaksanaan All England tahun ini, yaitu tepatnya pada 4-9 Maret. Pertanyaan selanjutnya di penghujung tahun 2013 itu pun kemudian bisa ditebak, adakah nantinya proses menunggu anak pertama ini akan mengganggu persiapan menuju All England atau bahkan membatalkan keikutsertaan Hendra ke All England jika waktu kelahirannya ternyata benar-benar bersamaan? Bagaimanapun, Hendra yang telah mengikat janji suci dengan sang istri di tahun 2011, kelahiran anak ini jelas merupakan ‘prestasi’ yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama.
Saat itu Hendra tidak menampilkan keterkejutan dalam raut wajahnya menghadapi pertanyaan ini. seolah-olah jawaban dari pertanyaan ini memang telah dia pikirkan dan pertimbangkan sebelumnya. Hendra pun menyebut bahwa dirinya akan tetap berangkat ke All England meskipun itu berarti dia tak menunggu proses kelahiran anaknya. Semua demi tanggung jawabnya mengharumkan nama bangsa Indonesia di mata dunia.
Gambar
Namun akhirnya Hendra pun tidak dihadapkan pada pilihan sulit itu. Hendra masih ada di Indonesia ketika sepasang putra-putri nya dilahirkan ke dunia ini.  Hendra masih memiliki waktu untuk bercengkrama dengan putra-putrinya sebelum bertolak ke Birmingham untuk All England. Mungkin Richard dan Richelle, nama putra dan putri Hendra,  sendiri juga sudah tak sabar untuk menyaksikan kesuksesan sang Ayah di turnamen bulu tangkis tertua di dunia itu. Yang pasti, bertambah lagi satu motivasi Hendra untuk menjadi juara, apalagi kalau bukan untuk memberikan kado bagi keluarga kecilnya. Semoga! Semoga Ahsan/Hendra bisa juara!

Kapan Kembali, Lin Dan ?

Akhir Januari lalu, Lin Dan diberitakan sudah kembali berlatih intensif dan siap untuk kembali terjun ke persaingan kompetitif bulu tangkis dunia. Namun, nyatanya, dalam daftar nama atlet yang ikut All England, nama Lin Dan belum ada. Pun begitu halnya ketika daftar nama Swiss Grand Prix Gold di-publish pada Jumat (14/2), nama Lin Dan masih tidak terlihat dari daftar nama yang terlampir. Sejatinya bagaimana Lin Dan memandang bulu tangkis sebagai bagian dari hidupnya saat ini? Hal tersebut sendiri sangatlah menarik untuk dicermati dan didiskusikan.
Banyak orang yang sangat yakin bahwa bab penutup karir Lin Dan sebagai seorang pebulu tangkis ada di Olimpiade London 2012. Saat itu, Lin Dan sudah secara sah dan diakui banyak orang sebagai pebulu tangkis terhebat di dekade ini, atau bahkan mungkin bisa diperdebatkan sebagai pebulu tangkis tunggal putra terhebat sepanjang masa, bersaing dengan nama legendaris lainnya. Menjaga konsistensi di papan atas selama bertahun-tahun plus meraih dua medali emas Olimpiade yang rentang jaraknya empat tahun, jelas butuh usaha yang luar biasa untuk mewujudkan hal tersebut.
Tapi ternyata, usai meraih medali emas Olimpiade London 2012, sama sekali tidak ada pernyataan bahwa Lin Dan akan gantung raket. Yang ada hanya pernyataan bahwa ia akan rehat sejenak dari kompetisi untuk kemudian kembali lagi. Dan janji Lin Dan itu diakhiri dengan manis tatkala ia sukses menjadi juara dunia 2013 dengan fakta bahwa ia vakum dari kompetisi level dunia untuk beberapa bulan lamanya.
Namun nyatanya usai menjadi juara dunia, Lin Dan seolah kembali meninggalkan misteri manakala ia kembali memutuskan untuk beristirahat dari kompetisi seri BWF meski untuk liga lokal atau partai eksebisi dirinya masih tampil. Pasca juara Olimpiade, memang rasanya wajar jika Lin Dan berkata bahwa ia jenuh dan ingin rehat dari kompetisi. Namun, begitu kembali bermain di kompetisi dan menjadi juara dunia, adalah hal yang mengherankan jika Lin Dan kembali memutuskan untuk kembali beristirahat dari kompetisi.
Lin Dan sudah meraih semua yang diinginkan pebulu tangkis di dunia ini. Dari gelar perorangan seperti Olimpiade, Kejuaraan Dunia, All England, Asian Games, dan berbagai titel super series lainnya, hingga gelar di turnamen beregu seperti Piala Thomas dan Piala Sudirman, semua sudah dimenangi Lin Dan. Lalu apalagi yang masih harus dibuktikan Lin Dan ?
Gambar
Sebelum meraih periode emas dalam karirnya, Lin Dan pernah mengalami masa mengesalkan dalam hidupnya sebagai seorang pebulu tangkis. Periode 2004-2006 boleh jadi merupakan salah satu masa yang diingat Lin Dan. Terlepas dari banyak gelar yang ia raih di tahun itu, Lin Dan gagal memenangi tiga turnamen besar dalam tiga tahun beruntun pada 2004-2006 yaitu Olimpiade Athena 2004, Kejuaraan Dunia 2005, dan Asian Games 2006. Padahal di tiga ajang itu, Lin Dan selalu berstatus sebagai unggulan pertama. Malah di Kejuaraan Dunia 2006 saat Lin Dan menjadi unggulan kedua Lin Dan berhasil menjadi juara.
Dan menariknya, pemenang dari Olimpiade 2004, Kejuaraan Dunia 2005, dan Asian Games 2006 berujung pada satu nama, Taufik Hidayat. Ditelisik lebih lanjut, Taufik memenangi tiga turnamen itu dengan status sebagai pemain yang tidak diunggulkan di posisi unggulan lima besar.
Mungkinkah hal ini yang juga ingin ditunjukkan Lin Dan saat ini? Bahwa ia juga bisa tetap menjadi juara meski tidak berada dalam posisi yang diunggulkan? Bahwa ia juga bisa tetap juara meskipun lama vakum dari kompetisi dan pertandingan? Lin Dan mampu membuktikan hal itu di Kejuaraan Dunia 2013 di usia yang sudah mencapai 30 tahun dan banyak puji-puji yang langsung mengalir kepadanya. Andai ia kembali mampu melakukannya saat ini, yaitu kembali dari masa vakum dan langsung memenangkan banyak gelar bergengsi, maka pujian dan pengakuan akan kehebatannya pun makin deras mengalir kepadanya.
Selain itu bisa jadi Lin Dan benar-benar jenuh terhadap persaingan di dunia bulu tangkis namun dirinya belum bisa sepenuhnya lepas dari olahraga ini dan memutuskan untuk gantung raket. Bisa saja Lin Dan merasa dirinya terlalu superior dalam keadaan normal sehingga kompetisi bulu tangkis tak akan menarik lagi baginya. Karena itu, dia menciptakan handicap dan tantangan bagi dirinya sendiri agar bulu tangkis masih menyisakan hal mendebarkan bagi dirinya.
Karena itu, Lin Dan sejauh ini belum menyatakan mundur secara resmi. Entah apa yang ada dalam benaknya. Apakah dirinya masih menyimpan hasrat untuk tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, hanya dirinya yang tahu. Namun yang jelas, sikap menggantung Lin Dan saat ini adalah semacam seruan tantangan dan pernyataan perang  bagi seluruh pebulu tangkis tunggal putra di dunia untuk berada dalam kondisi siap saat Lin Dan kembali menjejakkan kaki ke arena persaingan.
-Putra Permata Tegar Idaman-

Lavillenie, 1 cm, dan Bubka

Seberapa besar arti perbedaan 1 cm itu ? Tergantung pada siapa pertanyaan itu diajukan. Jika pertanyaan itu diajukan kepada Renaud Lavillenie, maka 1 cm itu boleh dibilang merupakan perbedaan yang sangat besar. Perbedaan yang memerlukan perjuangan sekuat tenaga sepanjang hidupnya dan perbedaan yang membuat dirinya pun kini akan dikenang dalam beberapa tahun atau mungkin dekade mendatang.
Ya, Lavillenie baru saja sukses melakukan lompatan setinggi 6,16 m di ajang Donetsk Meeting di Donetsk pada Sabtu, 15 Februari kemarin. Sebuah rekor dunia baru memecahkan rekor dunia lompat galah atas nama Sergey Bubka dengan selisih 1 cm lebih tinggi.
Gambar
Renaud Lavillenie
Meski hanya perbedaan 1 cm, butuh 21 tahun untuk bisa memecahkan rekor itu karena Bubka sendiri menorehkan rekor sebelumnya pada 21 Februari tahun 1993. Dari panjangnya rentang waktu tersebut, jelas sudah sangat banyak atlet lompat galah yang terus berjuang namun gagal untuk sekedar lebih unggul 1cm saja dari Bubka.
Namun Lavillenie sukses membuat rekor dengan cara yang sangat luar biasa. Tidak hanya soal catatan angka, namun Lavillenie melakukannya di tempat Bubka menorehkan rekor sebelumnya plus di Negara tempat Bubka berasal. Tidak sampai di situ saja, Bubka sendiri menjadi satu dari sekian pasang mata yang menjadi saksi peristiwa bersejarah ini.
“Saya rasa, saya butuh waktu sesaat lagi untuk bisa kembali sadar dan menjejakkan kaki ke bumi karena perasaan saya saat ini sangatlah gembira sekali. Saya hanya berpikir bahwa tempat ini adalah tempat terbaik untuk coba memecahkan rekor dan saya berhasil melakukannya. Ini gila.”
Begitulah komentar Lavillenie setelah pertandingan berakhir. Nampak ia masih tak percaya bahwa ia kini sudah memegang rekor dunia lompat galah baik untuk indoor maupun keseluruhan (rekor outdoor juga atas nama Bubka dengan 6,14 m). Lompatannya adalah lompatan tertinggi sepanjang sejarah lompat galah sejauh ini.
Namun, keberhasilan Lavillenie sendiri tidak datang dengan serta merta begitu saja. Atletik berbeda dengan olahraga permainan yang faktor kejutannya lebih mungkin kerap terjadi. Atletik adalah olahraga terukur yang performa tiap atletnya bisa dihitung dan dicatat sebagai statistik. Faktor kejutan sangatlah minim kemungkinannya bisa hadir sebagai kenyataan.
Sebelum memecahkan rekor ini sendiri, Lavillenie adalah juara Olimpiade London 2012. Ia sudah resmi tercatat sebagai salah satu atlet lompat galah terhebat dengan torehannya tersebut meskipun untuk urusan Kejuaraan Dunia, ia harus puas dengan torehan 1 perak plus 2 perunggu sepanjang keikutsertaannya.
Namun Lavillenie sadar bahwa dirinya tidak akan dikenang oleh banyak orang jika tak bisa melewati Bubka meskipun medali emas Olimpiade sudah di tangan. Sejak tiga dasawarsa terakhir, lompat galah putra adalah Bubka dan Bubka adalah lompat galah putra. Demikian analoginya lantaran begitu dominannya Bubka semasa ia aktif menjadi atlet dan rekornya pun tak bisa dipecahkan setelah ia lama pensiun.
Karena itulah ia terus terobsesi untuk bisa melewati capaian Bubka yang sudah bertahan 21 tahun. Optimisme Lavillenie mulai menemui titik terang manakala ia mampu memperbaiki catatan terbaik dirinya sendiri pada bulan Januari lalu dengan tinggi lompatan 6,04 meter di Rouen. Tak lama berselang, Lavillenie pun kembali mempertajam catatan miliknya menjadi 6,08 meter di Bydgoszcz pada akhir Januari. Pada dua kesempatan itu, Lavillenie sendiri mengganti panjang galah yang biasa dia gunakan sebagai salah satu upaya mencari cara meningkatkan performanya.
“Pada awalnya saya hanya berharap bisa terus konsisten melompat di atas 6 meter pada tiap perlombaan tahun ini. Namun ternyata saya bisa mulus melewati dua ketinggian itu tanpa kesulitan berarti. Inilah yang membuat saya optimistis bisa memecahkan rekor dunia.”
Kalimat inilah yang diucapkan oleh Lavillenie pada bulan lalu. Sebuah optimisme memancar jelas dari pernyataannya dan nyatanya tidak butuh satu bulan dari ucapan tersebut terlontar, Lavillenie sudah benar-benar ada di puncak dunia dan mengalahkan rekor milik Bubka. Selain butuh kemampuan, kepercayaan diri jelas menjadi modal penting di balik sebuah keberhasilan.
Lalu bagaimana dengan Bubka? Adakah dirinya terluka dan merasa dipermalukan oleh peristiwa yang berlangsung di negaranya sendiri? Ternyata tidak. Bubka tetap bersikap ksatria dan memegang prinsip seorang juara.  Dia sangat sadar bahwa hari dimana rekor miliknya akan dipecahkan oleh orang lain pasti akan datang, entah itu cepat atau lambat. Karena itu pelukan hangat pun langsung diberikan Bubka kepada Lavillenie di tengah gemuruh publik Ukraina yang juga tetap menyambut hangat peristiwa bersejarah di dunia olahraga ini meski itu berarti satu catatan rekor atlet legendaris mereka terhapus.
Gambar
Bubka dan Lavillenie
“Saya tidak terkejut dengan hasil ini. Lavillenie adalah atlet yang hebat dan saya harap dirinya terus mencatat hasil spektakuler setelah ini,” kata Bubka tanpa sedikit pun nada penyesalan.
Dan Bubka memang tak perlu menyesali apa yang terjadi.  Lavillenie pun bisa melompat dengan begitu hebat tidak lain karena Bubka. Ya, karena Bubka telah menetapkan standar yang tinggi di masa silam sehingga para atlet di generasi setelahnya semakin terpacu dan berlomba untuk melampaui garis batas yang telah ditetapkan oleh Bubka.
-Putra Permata Tegar Idaman-

Gugur Satu, Tumbuh atau Tunggu Seribu ?

Gugur Satu Tumbuh Seribu. Peribahasa Indonesia lawas yang bernuansa positif. Artinya segala sesuatu yang telah hilang akan ada penggantinya. Namun jelas, tidak semuanya bakal berjalan sebagaimana yang direncanakan dan diharapkan.
Contoh sederhananya peribahasa Gugur Satu Tumbuh Seribu yang belum terwujud adalah munculnya sosok pengganti dari Susi Susanti, pebulu tangkis tunggal putri terbaik di Indonesia yang pernah ada sejak dirinya memutuskan gantung raket. Sudah lebih dari satu dekade Indonesia menantikan munculnya pengganti Susi, namun hingga Susi berusia 43 tahun hari ini, 11 Februari, sosok yang dinanti belum juga ada. Jangankan seribu seperti halnya peribahasa, satu pun Indonesia belum punya.
Gambar
copyright : BBC
Susi memang istimewa. Semua aksi yang pernah dilakukannya di lapangan masih terbayang jelas di benak bangsa Indonesia, mulai dari mereka yang sudah dewasa hingga anak-anak yang belum paham sepenuhnya tentang permainan bulu tangkis ketika Susi sedang berjaya. Mulai dari gaya servis, foot work, hingga aksi split untuk menjangkau shuttlecock pun tak pernah bisa lepas seluruhnya dari ingatan di dalam kepala.
Gambar
copyright : The Star
Susi memang istimewa. Mental bertandingnya begitu luar biasa. Membaca ulasan-ulasan dan tulisan yang ada, Susi memang tak akan mau menyerah jika pertandingan belum benar-benar berakhir meski dirinya sudah tertinggal dengan skor yang sangat jauh. Selain medali emas Asian Games, seluruh gelar bergengsi di turnamen bulu tangkis sudah semuanya dimiliki oleh Susi. Susi pun bisa tersenyum karena untuk urusan nomor beregu pun, tangannya pernah mengangkat Piala Sudirman dan Piala Uber.
Dan tak perlu diperdebatkan lagi, sosok Susi lah yang kemudian mendorong banyak putri-putri di Indonesia untuk menggemari permainan bulu tangkis. Semuanya ingin menjadi seperti Susi. Semua ingin nantinya bisa berada di posisi Susi, di podium tertinggi untuk mengharumkan nama Indonesia.
Boleh dibilang, para pebulu tangkis Indonesia yang mulai berkarir di era 2000-an, setelah Susi pensiun di penghujung dekade 1990-an,  pun banyak yang menganggap Susi sebagai idola dan panutan mereka dalam berkarir bulu tangkis. Namun hingga kini, 20 tahun setelah Susi memimpin Tim Indonesia menjuarai Piala Uber untuk yang kedua kalinya pada 1994, belum ada pemain yang benar-benar sukses mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Susi sebagai andalan Indonesia di nomor tunggal putri.
Susi sendiri pun mungkin sudah bosan setiap mendengar pertanyaan tentang kondisi tunggal putri Indonesia saat ini dan terus dibanding-bandingkan dengan kehebatan dirinya di masa lalu. Jawaban Susi pastinya akan tetap sama,.
Seperti masyarakat Indonesia lainnya, dirinya juga terus menantikan pebulu tangkis tunggal putri Indonesia yang mampu menjelma menjadi pemain papan atas dunia dan untuk kemudian mendominasi permainan dunia.
Seperti masyarakat Indonesia lainnya, Susi pun harus terus bersabar dan mengelus dada ketika putri-putri Cina telah sukses mengembalikan dominasi mereka di persaingan bulu tangkis tunggal putri dunia seperti halnya tahun 1980-an ketika dirinya masih pemula. Seperti masyarakat Indonesia lainnya, Susi pun mungkin iri dengan keberhasilan Thailand dan India untuk maju beberapa langkah dibandingkan Indonesia saat ini untuk urusan tunggal putri.
Gambar
Selamat ulang tahun Susi Susanti. Semoga peribahasa Gugur Satu Tumbuh Seribu untuk dirimu dan tunggal putri Indonesia segera terwujud, dan bukannya Gugur Satu Tunggu Seribu (Atlet) seperti yang sedang terjadi saat ini.
-Putra Permata Tegar Idaman-